Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al Hujuurat : 6 )

Senin, 18 Juni 2012

Serial kajian tentang takfir muayyan #3: Kebodohan sebagai udzur dalam pengkafiran (1)?

(Arrahmah.com) – Salah satu udzur dalam pengkafiran yang mendapat bahasan luas dari para ulama Islam adalah kebodohan. Apakah yang dimaksud dengan kebodohan dalam masalah pengkafiran? Bagaimanakah kedudukannya dalam syariat? Adakah klasifikasi dan tingkatannya? Adakah dalil-dalil syar’i atas hal itu? Bagaimana contoh penerapan ulama terhadapnya?
Beberapa permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam artikel kali ini dan artikel-artikel selanjutnya, insya Allah.
***
Definisi Kebodohan (Al-Jahlu)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan memiliki beberapa pengertian:
a. Tidak mengetahui sesuatu hal, disebut juga al-jahl al-basith (kebodohan sederhana). Contoh: seseorang tidak mengetahui hukum shalat tarawih.
b. Meyakini dan memahami sesuatu hal yang bertolak belakang dengan realita sebenarnya, disebut juga al-jahl al-murakkab (kebodohan ganda). Contoh: seseorang meyakini hukum shalat tarawih adalah farhu ‘ain.
c. Mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya diucapkan atau dilakukan, meskipun ia mengetahui kekeliruannya. Contoh: Seseorang sudah mengetahui shalat lima waktu itu wajib, namun ia tidak melaksanakannya dengan alasan malas atau sibuk. Atau seseorang sudah tahu berzina itu haram, namun ia masih juga berzina. Orang seperti ini disebut orang bodoh, meskipun ia seorang ulama atau profesor doktor yang mumpuni ilmunya.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Kebodohan itu ada dua macam: (1) tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat dan (2) tidak mengamalkan tuntutan dari kebenaran yang bermanfaat. Keduanya adalah kebodohan menurut tinjauan bahasa, syariat, dan realita (hakekat). Nabi Musa AS berkata,
{أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ}
 “Aku berlindung kepada Allah dari termasuk golongan orang-orang bodoh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 67) Maksudnya adalah berlindung dari termasuk golongan orang-orang yang mengolok-olok. Beliau mengucapkan hal ini sebagai jawaban dari perkataan kaumnya,
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
“Apakah engkau menjadikan kami sebagai bahan olok-olokan?”(QS. Al-Baqarah [2]: 67)
Nabi yang Shiddiq (terpercaya) Yusuf AS berkata,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku (untuk berzina).  Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka berzina) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf [12]: 33) Maksudnya tentulah aku termasuk golongan orang-orang yang melanggar apa yang Engkau haramkan.
Allah SWT berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, (QS. An-Nisa’ [4]: 17)
Imam Qatadah berkata, “Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa segala hal yang dengannya Allah dimaksiati adalah sebuah kebodohan.”
Ulama lain berkata, “Seluruh shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat bahwa siapa pun yang melakukan kemaksiatan kepada Allah adalah orang yang bodoh.” (Madarijus Salikin Syarh Manazilus Sairin, 1/467 karya imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Dalam bahasa Arab dan syariat Islam, kebodohan (al-jahlu) adalah lawan kata dari pengetahuan (al-ilmu), juga lawan kata dari sifat santun dan kemampuan mengendalikan diri (al-hilmu). Orang yang mudah marah, tidak sabaran, gegabah, tidak bijaksana dan emosional dalam bahasa Arab dan syariat Islam juga disebut orang bodoh, meskipun ia adalah seorang ulama atau professor doktor yang mumpuni ilmunya. Pengertian ini antara lain disebutkan dalam firman Allah SWT,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS. Al-Furqan [25]: 63)
Dan dalam sabda Rasulullah SAW,
إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
Jika salah seorang di antara kalian melakukan shaum pada suatu hari, maka janganlah ia berkata jorok dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencaci maki dirinya atau mengganggunua, hendaklah ia menjawab, “Aku sedang shaum, aku sedang shaum.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini melarang dari ar-rafats yaitu perkataan yang kotor dan perkataan yang keji, (dan melarang dari al-jahl). Al-Jahl memiliki makna yang dekat dengan ar-rafats, yaitu tidak bijaksana dan tidak tepat dalam berbicara atau berbuat.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8/28, karya imam An-Nawawi)
***
Definisi Kebodohan terhadap perkara-perkara akidah
Yang dimaksud dengan kebodohan terhadap perkara-perkara akidah adalah:
a. Seorang mukallaf tidak mengetahui sebuah perkara akidah yang merupakan pokok urusan dalam agama Islam, seperti tidak mengenal Allah, atau tidak mengetahui Allah semata Tuhan Yang berhak diibadahi.
b. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian rincian ibadah sehingga ia menujukan sebagian rincian ibadah tersebut kepada selain Allah.
c. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian nama Allah atau sebagian sifat-Nya.
d. Atau seorang mukallaf tidak mengetahui sebagian permasalahan lain yang berkaitan dengan keimanan. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I’tiqad Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 18 karya syaikh Muhammad bin Abdullah Mukhtar)
***
Antara Jahl Ikhtiyari dan Jahl Idhtirari
Para ulama menyebutkan bahwa kebodohan bisa dikelompokkan menjadi dua:
Pertama, al-jahl al-ikhtiyari
Al-Jahl Al-Ikhtiyari adalah kebodohan yang terjadi karena keteledoran, kemalasan, dan keengganan seorang mukallaf untuk mencari ilmu. Mukallaf dalam hal ini melakukan kesalahan, yaitu malas dan tidak bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang akidah dan tauhid. Ia dianggap berpaling dari dalil kebenaran (hujah), sehingga ulama sepakat bahwa ia tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Kebodohan ini disebut ikhtiari (atas pilihan dan kehendak sendiri), karena mukallaf memiliki kemampuan untuk menghilangkan kebodohan dirinya dengan cara menuntut ilmu. Sikap dirinya yang tidak menuntut ilmu merupakan pilihan sikapnya sendiri, seakan-akan ia memilih kebodohan dengan tetap mempertahankan kebodohannya dan tidak hendak menghilangkannya. (Kasyrul Asrar, 4/533 karya Al-Bazdawi dan Al-Furuq, 2/149-150 karya Al-Qarafi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya udzur dalam masalah keyakinan maksudnya bukanlah untuk dipertahankan, justru wajib untuk menghilangkannya sesuai kemampuan. Kalau tidak begitu, tentulah tidak wajib menerangkan (mengajarkan) ilmu dan  tentulah lebih baik membiarkan manusia di atas kebodohan mereka, serta tentulah tidak mengungkapkan dalil-dalil dalam perkara-perkara yang samar lebih baik daripada menjelaskannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/279-280)
Kedua, al-jahl al-idhtirari
Al-jahl al-idhtirari adalah kebodohan yang dialami oleh seorang mukallaf, sementara ia memiliki keinginan kuat untuk mencari ilmu dan petunjuk kebenaran. Kebodohan jenis ini terjadi karena tidak adanya kemampuan dan kemudahan untuk mencari ilmu. Kebodohan seperti ini memiliki pengaruh terhadap hukum dengan menggugurkan hukuman atas orang yang keliru. Allah SWT berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah [2]: 286)
Allah SWT telah mengangkat dari seorang muslim (dosa dan hukuman) yang terjadi karena kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. (At-Tasyri’ Al-Jinai Al-Islami, 1/431 karya syaikh Abdul Qadir Audah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang mulia yang bersungguh-sungguh (ulama mujtahid) dalam mencari ilmu sesuai apa yang ia dapatkan pada zaman dan pada tempat ia hidup, jika tujuannya adalah mengikuti Rasulullah SAW sesuai kemampuannya, adalah lebih layak jika Allah menerima kebaikan-kebaikannya, memberinya pahala atas kesungguhannya dan tidak menghukumnya atas kekeliruannya, sebagai realisasi dari firman-Nya,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
(Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. (QS. Al-Baqarah [2]: 286) (Majmu’ Fatawa, 20/165-166 dan Dar’u Ta’arudh Al-Aql wan Naql, 2/315)
Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan:
a. Jika kebodohan terjadi karena adanya unsur keteledoran dan tiadanya kesungguhan untuk menuntut ilmu padahal ada kemampuan mencari ilmu, maka kebodohan tersebut tidak menjadi udzur.
 b. Adapun jika kebodohan terjadi meski telah ada kemauan dan usaha sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, maka kebodohan tersebut menjadi udzur.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata, “Ulama umat Islam telah sepakat bahwa kebodohan terhadap perkara-perkara agama yang bersifat qath’i dan telah menjadi ijma’ serta merupakan perkara yang telah pasti sebagian bagian ajaran dien Islam (ma’lum minad dien bi dharurah, perkara agama yang telah diketahui oleh semua umat Islam baik ulama maupun orang awam), seperti tauhid, kebangkitan, rukun Islam, haramnya zina dan khamr, bukanlah menjadi udzur bagi orang yang teledor (tidak sungguh-sungguh) dalam mencarinya (mempelajarinya) padahal faktor-faktor pendukung mencari ilmu terpenuhi. Adapun orang yang tidak teledor, seperti orang yang belum lama masuk Islam, atau orang yang hidup di puncak gunung ---misalnya--- di mana ia tidak menemukan ulama sebagai tempat belajar, maka ia mendapat udzur.” (Majmu’ Bidh’i Rasail Diniyah fil Aqaid Al-Islamiyah, hlm. 41 pada bagian footnote)
Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi Al-Yamani berkata, “Demikian pula barangsiapa mengucapkan dua kalimat syahadat dan berkomitmen dengan Islam, namun ia tidak mengetahui makna kedua kalimat syahadat secara terperinci, maka keislamannya diteriman. Namun ia tidak diberi udzur jika ia melakukan hal yang membatalkan syahadat. Kecuali jika ia belum lama masuk Islam dan belum memiliki kemampuan untuk belajar, dan ketika dijelaskan kepadanya bahwa ucapannya atau perbuatannya menyelisihi syahadat sehingga ia berhenti darinya…Dan ketahuilah bahwasanya ‘baru masuk Islam’ itu tidak memiliki batasan tertentu, tetapi standar penilaiannya adalah teledor (tidak sungguh-sungguh) atau tidak teledor dalam mencari ilmu. Barangsiapa tidak teledor dari mencari ilmu, maka ia diberi udzur. Adapun barangsiapa teledor, maka ia tidak diberi udzur.” (Raf’ul Isytibah ‘an Ma’nal Ibadah wal Ilah, hlm. 52 karya Imam Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi Al-Yamani)
Imam Al-Qarafi Al-Maliki berkata, ”Kaedah syariat menunjukkan bahwa setiap kebodohan yang bisa ditolak maka tidak menjadi alasan bagi orang yang bodoh. Karena sesungguhnya Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada makhluk-Nya dengan risalah-risalah-Nya, dan Allah mewajibkan mereka semua untuk mempelajari risalah-risalah-Nya tersebut, kemudian (Allah mewajibkan mereka semua untuk) mengamalkannya. Mengilmui dan mengamalkannya adalah dua kewajiban. Maka barangsiapa tidak belajar dan tidak mengamalkan serta ia tetap berada dalam kebodohannya, niscaya ia telah melakukan dua kemaksiatan karena ia meninggalkan dua kewajiban.” (Al-Furuq, 4/264 karya imam Al-Qarafi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun masalah pengkafiran, pendapat yang benar adalah (pendapat yang menyatakan bahwa) barangsiapa dari umat nabi Muhammad SAW yang berijtihad dan menginginkan kebenaran lalu ia keliru, maka ia tidak menjadi kafir, bahkan kekeliruannya dimaafkan. Dan barangsiapa telah jelas baginya ajaran Rasulullah SAW kemudian ia menentang Rasulullah SAW setelah jelas baginya petunjuk dan ia mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, maka ia adalah orang yang kafir. Adapun barangsiapa mengikuti hawa nafsunya dan teledor dalam mencari ilmu serta berbicara tanpa landasan ilmu, maka ia adalah pelaku kemaksiatan dan orang yang berdosa. Kemudian, terkadang ia menjadi orang fasik. Dan terkadang ia memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih unggul daripada keburukan-keburukannya.”(Majmu’ Fatawa, 12/180)
Imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali berkata, “Orang yang bodoh terhadap sebuah hukum hanya diudzur apabila ia tidak teledor dan tidak meremehkan upaya mempelajari hukum tersebut. Adapun jika ia teledor atau meremehkan, maka secara pasti ia tidak diudzur.”(Al-Qawa’id wal Fawaid Al-Ushuliyah, hlm. 58 karya imam Ibnu Al-Lahham Al-Hambali)
Inilah sebagian perkataan para ulama tentang pembagian kebodohan kepada kebodohan yang diberi udzur dan kebodohan yang tidak diberi udzur. Dari uraian mereka menjadi jelas bahwa standar penilaian sebuah kebodohan sebagai udzur atau bukan udzur adalah:
a. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan ada kemampuan untuk belajar: bukanlah udzur.
b. Setiap kebodohan yang bisa dihilangkan dengan belajar dan tidak ada kemampuan untuk belajar: adalah udzur.
***
Kedudukan masalah ini dalam agama Islam
Masalah kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur merupakan permasalahan fiqih, bukan termasuk pokok-pokok masalah akidah. Permasalahan kebodohan terhadap perkara akidah apakah menjadi udzur atau tidak menjadi udzur dibahas dalam bab kemurtadan (ar-riddah) pada buku-buku fiqih. Sebab tujuan pembahasan tersebut adalah mencari kepastian apakah hujah telah tegak atau belum tegak atas diri mukallaf yang bodoh terhadap sebuah permasalahan tertentu dalam bidang akidah. Barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut dan ia bukan orang yang teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap memiliki udzur. Sebaliknya, barangsiapa tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut karena ia teledor atau lalai dalam menuntut ilmu, maka ia dianggap tidak memiliki udzur.
Hal yang lain yang menunjukkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan cabang fiqih, bukan permasalahan pokok-pokok akidah adalah permasalahan ini adalah cara dan sarana untuk mengetahui nama-nama dalam agama (al-asma’, seperti nama: muslim, mukmin, fasik, musyrik, kafir, atau murtad--pent) dan hukum-hukum dalam agama (al-ahkam, seperti: terjaganya nyawa, harta dan kehormatan atau halalnya nyawa, harta, dan kehormatan; bisa mewarisi dan diwarisi atau tidak bisa mewarisi dan diwarisi; boleh menikahi dan dinikahi atau tidak boleh menikahi dan dinikahi---pent).
Karena memvonis seorang muslim dengan vonis kafir, misalnya, karena ia melakukan sebuah kekufuran, menuntut penelitian dan pengkajian tentang kondisi muslim tersebut. Apakah ia memiliki udzur kebodohan karena ia telah berusaha mencari ilmu kebenaran namun tidak mendapatkannya, dan ia bukan orang yang teledor atau meremehkan kewajiban menuntut ilmu? Ataukah ia tidak memiliki udzur kebodohan karena ia meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu, padahal ia memiliki kesempatan dan kemampuan? Apakah ia memiliki udzur dipaksa yang disertai siksaan keras (al-ikrah) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur salah memahami dalil (at-ta’wil) ataukah tidak? Apakah ia memiliki udzur kekeliruan dan tiadanya maksud (al-khatha’ atau intifa’ al-qasd) ataukah tidak?
Dengan demikian, permasalahan ini termasuk permasalahan sarana (al-wasail), bukan termasuk permasalahan tujuan dan pokok urusan akidah (al-maqashid dan al-ushul) sehingga orang yang berbeda pendapat tidak divonis sesat, ahli bid’ah, fasik atau kafir. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil I’tiqad Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 22-23)
Dengan demikian, permasalahan ini juga termasuk perkara ijtihadiyah, karena permasalahan meremekan atau tidak meremehkan, teledor atau tidak teledor, tidaklah memiliki batasan yang tegas dan baku untuk setiap individu mukallaf. Ia bisa berbeda-beda sesuai perbedaan individu, tempat, dan zaman, sehingga pendapat para ulama pun bisa berbeda-beda dalam menentukannya. (Lihat Naqdhu Asas At-Taqdis hlm. 5 dan Bughyatul Murtaad hlm. 311, keduanya karya Ibnu Taimiyah Al-Harrani dan Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain, hlm. 611-612 karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
Oleh karenanya, syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan syaikh Athiyatullah Al-Libi menegaskan bahwa masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata,
“Perbedaan pendapat dalam masalah udzur dengan kebodohan adalah seperti perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih ijtihadiyah lainnya. Dan terkadang perbedaan tersebut hanya berupa perbedaan lafal dalam sebagian kesempatan guna menerapkan hukum atas seorang individu tertentu. Maksudnya, semua pihak sepakat bahwa perkataan (keyakinan) ini adalah kekafiran, atau perbuatan ini adalah kekafiran, atau meninggalkan perkara ini adalah kekafiran. Namun apakah hukum (vonis kafir) ini telah sesuai untuk seorang individu tertentu karena telah terpenuhinya faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya dan tiadanya penghalang pada dirinya; ataukah hukum tersebut tidak sesuai sesuai untuk seorang individu tertentu tersebut karena belum terpenuhinya beberapa faktor penentu (terpenuhinya syarat pengkafiran, pent) pada dirinya atau adanya beberapa penghalang pada dirinya?” (Syarhu Kasyfi Syubuhat, hlm. 37 karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Saat membahas beberapa catatan penting seputar permasalahan udzur dengan kebodohan, syaikh Athiyatullah Al-Libi berkata, “Pertama, ketahuilah bahwa masalah ini termasulah masalah ijtihad yang caranya adalah istinbath (penyimpulan hukum) dan cara mengetahuinya adalah penggalian makna dalil, karena ia bukanlah masalah yang telah disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat. Wallahu a’lam.
Perkataan kami bahwa permasalahan ini tidak disebutkan dalilnya secara nash dalam syariat bermakna tidak ada nash terhadap masalah ini secara umum dan sebagai sebuah kaedah, misalnya. Hal ini tidak menegasikan bahwa di dalam nash-nash firman Allah dan sabda Rasulullah SAW terdapat hal yang menunjukkan udzur bagi seseorang tertentu pada suatu keadaan tertentu atau keadaan-keadaan lain. Kemudian nash-nash tersebut yang menuat penunjukan-penunjukan tersebut dipakai dan dijadikan dalil oleh para ulama fiqih, dan dalam mengambil kesimpulan hukum (istimbath) dari keseluruhan (penujukan-penunjukan nash tersebut) terjadilah perbedaan pendapat.
Kedua, oleh karena itu berbeda-berbeda pemahaman para ulama dan beragam ijtihad mereka, dan dalam masalah tersebut muncul pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda yang insya Allah akan kami isyaratkan, seperti halnya masalah-masalah ijtihad dan perbedaan pendapat lainnya.
Kelima, Ketahuilah bahwa masalah ini termasuk masalah fiqih (dengan pengertiannya secara istilah yaitu mengetahui hukum-hukum syariat dalam perkara-perkara ‘amaliyah yang disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci). Hal itu karena masalah ini adalah ‘amaliyah dan cara mengetahuinya adalah dengan menggali penunjukan dalil (istidlal) dan menggali kesimpulan hukum (istinbath) seperti yang tadi kami sebutkan.
Ia berupa fatwa atau keputusan hakim, dan menurut para ulama masalah ia masuk dalam masalah kemurtadan (ar-ridah), yaitu sebuah bab dalam ilmu fikih. Hal ini tidak berarti masalah ini tidak disebutkan dalam pembahasan ilmu akidah dan tauhid, karena tidak samar lagi bahwa masalah ini memiliki kaitan yang erat dengan akidah dan tauhid. Hal ini termasuk bagian dari masuknya satu permasalahan ke dalam beberapa cabang ilmu. Selain itu, setiap hukum syar’i ‘amali memiliki kaitan dengan akidah, yaitu meyakini hukum tersebut. Namun masalah ini lebih spesifik dengan bab fiqih seperti telah saya sebutkan. Baik anda menganggapnya sebagai bagian dari ilmu ini (fiqih) atau ilmu itu (akidah dan tauhid), ia tetap saja termasuk masalah ijtihad.” (Fatwa syaikh Athiyatullah Al-Libi, dimuat dalam situs ana al-muslim)
***
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur
Kebodohan terhadap tauhid dan masalah-masalah akidah tidaklah satu tingkatan, melainkan bertingkat-tingkat. Oleh karenanya ia terbagi menjadi tiga bagian:
a. kebodohan yang disepakati oleh ulama sebagai udzur.
b. kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur.
c. kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama sebagai udzur atau bukan udzur.
Pembagian ini disebabkan karena sebagian kebodohan terjadi karena ada unsur keteledoran atau meremehkan dari mencari ilmu sehingga ia disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur. Sebagian kebodohan terjadi meskipun mukallaf telah berusaha untuk mencari ilmu, sehingga ia disepakati oleh ulama sebagai udzur. Ada juga sebagian kebodohan yang berada di antara kedua keadaan tersebut, sehingga diperselisihkan oleh para ulama menjadi udzur atau bukan udzur. (Masalatul Udzri bil Jahli fi Masailil Aqidah Dirasah Nazhariyah Ta’shiliyah, hlm. 26)
Kebodohan terhadap masalah akidah yang disepakati oleh ulama bukan menjadi udzur adalah kebodohan yang kembalinya kepada tidak mengetahui secara global (al-ilmu al-ijmali) makna syahadat Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah SAW, karena pengetahuan secara global terhadap makna dua kalimat syahadat adalah syarat sah syahadat.
Kebodohan seperti itu hanya terjadi karena adanya unsure meremehkan atau teledor dari kewajiban menuntut ilmu. Sebagian ulama bahkan berpendapat kebodohan seperti itu tidak ada sama sekali, karena hujah (bukti-bukti dan dakwah kebenaran) atas masalah tersebut telah tegak atas setiap individu.
Para ulama menyebutkan di antara bentuk-bentuk kebodohan yang disepakati tidak menjadi   udzur adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui hakekat dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Maka ia memperbolehkan beribadah kepada selain Allah atau ia meyakini ada sesuatu makhluk selain Allah yang berhak diibadahi, atau meyakini dan menamakan sesuatu makhluk sebagai Allah (Tuhan) yang berhak diibadahi. Kebodohan seperti ini menurut kesepakatan ulama tidak menjadi udzur. Pelakunya menurut kesepakatan ulama adalah orang kafir murtad dan tidak diberi udzur atas kebodohannya.
Contoh:
  •  Seorang muslim yang terkena virus sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) sehingga ia meyakini semua agama baik dan benar. Keyakinan ini berarti mengakui adanya makhluk selain Allah yang berhak diibadahi. Sebab agama selain Islam beribadah kepada selain Allah dan menuhankkan selain Allah. Orang Hindu beribadah kepada para dewa. Orang Budha beribadah kepada manusia (Sidharta Gautama), orang Sinto beribadah kepada matahari. Orang Kristen beribadah kepada Isa bin Maryam, Maria, dan Roh Kudus Yesus. Orang Konghucu beribadah kepada patung-patung dewa. Dan seterusnya. Meyakini semua agama baik dan benar berarti membenarkan peribadatan orang-orang kafir tersebut kepada makhluk selain Allah. Maka ia telah murtad menurut kesepakatan ulama dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
     
  • Para filosof yang meyakini makhluk selain Allah boleh diibadahi. Seperti Fakhruddin Ar-Razi, seorang filosof, ulama tafsir dan fiqih yang mengarang buku As-Sirru Al-Maktum fis Sihri wa Mukhathabatin Nujum, di mana ia membolehkan bahkan menganggap baik peribadatan kepada matahari, bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya. Buku tersebut ia tulis sebagai hadiah bagi ibu dari penguasa Daulah Syiah Khawarizm Syah, sultan Alauddin Muhammad bin Laksy bin Jalaluddin Khawarizm Syah. Para ulama sepakat memvonis dirinya murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi dirinya (Majmu’ Fatawa, 13/180-181 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
     
  • Kelompok Babiyah, sempalan dari Syi'ah Rafidhah. Pengikut aliran ini meyakini bahwa Mirza Ali Muhammad Ridha asy-Syirazi yang berjuluk al-Bab adalah pencipta segala sesuatu dengan kalimatnya, dialah awal dari segala sesuatu. Mereka meyakini Budha adalah agama yang benar, Konghucu adalah agama langit, Zeroaster adalah agama yang lurus, para tokoh India, Cina dan Persia adalah para nabi.
     
  • Kelompok Syi’ah Saba’iyah menurut kesepakatan ulama adalah orang-orang murtad karena mereka dengan terang-terangan meyakini dan mengakui khalifah Ali bin Abi Thalib RA adalah Rabb yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Ali bin Abi Thalib RA  telah memerintahkan mereka untuk bertobat, namun mereka tetap bersikeras di atas keyakinan mereka. Maka Ali bin Abi Thalib menghukum mati mereka dengan dibakar di gerbang masuk kota Kindah, Irak pada masa kekhalifahannya. Hadits tentang peristiwa tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Thahir Al-Mukhlis dari Syarik Al-Amiri dengan sanad hasan (Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 12/270 karya imam Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Jika seorang muslim meyakini seorang makhluk sebagai Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, mengatur alam semesta, menghidupkan atau mematikan maka berarti ia mengakui adanya Ilah dan Rabb selain Allah. Ulama sepakat menyatakan orang seperti ini kafir murtad dan tidak berlaku udzur kebodohan bagi dirinya.
  • Kelompok Syi’ah Isma’iliyah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang tidak memiliki sifat kesempurnaan apapun. Mereka meyakini bahwa Allah menciptakan makhluk pertama yang memiliki sifat kesempurnaan, yaitu Al-‘Aql Al-Awwal atau Al-‘Aql Al-Kulli (akal pertama atau akal yang menyeluruh). Mereka meyakini Al-Aql Al-Awwal adalah Maha Esa, Maha Kekal, dan Maha menciptakan seluruh makhluk lainya. Mereka juga meyakini bahwa para imam kelompok Syi’ah Isma’iliyah adalah cahaya Allah, wajah Allah, pinggang Allah, dzat yang akan melakukan perhitungan amal manusia pada hari kiamat dan memasukkan manusia ke surga atau neraka, Dzat Yang Maha Esa, Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba, jalan yang lurus, Al-Qur’an yang mulia, dan sifat-sifat ke-Tuhanan lainnya. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki kedudukan di atas seluruh nabi dan wali, sebab Ali bin Abi Thalib adalah Dzat Yang Maha Esa (Al-Fardhu Al-Ahad), Maha memenuhi seluruh kebutuhan hamba (Ash-Shamad), tiada sekutu baginya dan tiada seorang makhluk pun yang setara dengannya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 86-89 dan 102-105 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Kelompok Syiah Isma’iliyah berhasil mendirikan sebuah negara di Maghrib (Tunisia) kemudian menaklukkan Mesir. Mereka menamakan negaranya secara palsu Daulah Fathimiyah, sedangkan para ulama Islam menamakannya Daulah Ubaidiyah. Para ulama Islam telah sepakat para penguasa Daulah Ubaidiyah adalah orang-orang kafir murtad. (Siyar A’lam An-Nubala’, 15/154-156 karya imam Adz-Dzahabi, Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/30 karya qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahsibi, dan Majmu’ Fatawa, 35/138-139 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
  • Kelompok Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syi’ah Isma’iliyah, memiliki keyakinan yang sama dengan Syi’ah Isma’iliyah. Perbedaannya, kelompok Qaramithah secara terang-terangan menerapkan akidah dan agama Syi’ah Isma’iliyah di negara yang mereka kuasai yaitu Bahrain pada abad 3 dan 4 Hijriyah. Sementara Daulah Ubaidiyah tidak bisa sepenuhnya menerapkan akidah dan agama Syi’ah Ismailiyah di wilayah kekuasaannya, Mesir, karena mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah yang memusuhi Syi’ah Ismailiyah. Sesuai arahan dari raja Daulah Ubaidiyah, Ubaidullah Al-Mahdi kepada raja Qaramithah, Sulaiman bin Said Al-Janabi (Abu Sa’id Al-Janabi), kelompok Qaramithah menerapkan agama Syi’ah Isma’iliyah secara terang-terangan karena kekuatan yang mereka miliki.
Kepada masyarakat, Qaramithah menerapkan doktrin bahwa Al-Aql Al-Awwal atau Al-Aql Al-Kulli adalah Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha menciptakan seluruh makhluk. Mereka meyakini Imam (pemimpin kelompok Qaramithah) adalah penampakan dari Tuhan. Oleh karena itu kelompok Qaramtihah meyakini segala bentuk ibadah dan sifat kesempurnaan harus ditujukan kepada Imam, sebagai hijab dan bab (penghubung dan perantara) dengan Tuhan Yang di langit. ((Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 159-161 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib).
Para ulama Islam sepakat bahwa kelompok Qaramithah adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
  • Kelompok Nushairiyah, sebuah kelompok sempalan dari Syi’ah Isma’iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu mereka beribadah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka juga meyakini ketuhanan tiga unsur; Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Abdillah SAW, dan Salman Al-Farisi.
Mereka meyakini Allah secara berturut-turut menampakkan diri-Nya dalam wujud manusia agar dikenali dan diibadahi oleh umat manusia. Menurut keyakinan mereka, Allah menampakkan diri-Nya dalam wujud; Habil putra Adam, kemudian pada diri Syits, kemudian pada diri Sam putra Nuh, kemudian pada diri Ismail putra Ibrahim, kemudian pada diri Harun saudara Musa, kemudian pada diri Sham’un Ash-Shafa yang di kalangan umat Nasrani disebut Petrus, dan terakhir pada diri Ali bin Abi Thalib.
Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib secara batin adalah Tuhan yang berhak disembah (Ilah) dan secara lahir adalah imam, ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, kekal selamanya tidak pernah mati dan tidak pernah dibunuh, tidak makan dan tidak minum, dan ia mengangkat Muhammad bin Abdullah SAW sebagai juru bicara. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 341-354 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.
  • Kelompok Druz, sebuah kelompok sempalan dari Syi’ah Isma’iliyah, meyakini bahwa Tuhan Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan adalah Al-Hakim bi Amrillah (Abu Ali Al-Manshur bin Nizar Al-Aziz billah Al-Ubaidi, 375-411 H), raja ketiga Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari penguasaan Mesir dan raja keenam Daulah Ubaidiyah jika dihitung dari pendirian negara di Tunisia. Mereka meyakini Al-Hakim bi Amrillah adalah Rabb dan Ilah (Tuhan Yang berhak untuk diibadahi). Mereka meyakini Allah mengambil jasad manusia sebagai penampakan di muka bumi, yaitu Allah menampakkan dirinya di dunia dalam jasad Al-Hakim bi Amrillah agar seluruh umat manusia mengenal dan beribadah kepadanya. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Islami Aqaiduha wa Hukmul Islam Fiha, hlm. 223-238 karya syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Khathib)
Al-Hakim bi Amrillah sendiri juga mengklaim dirinya adalah Tuhan yang berhak diibadahi, walaupun akhirnya ia mencabut klaimnya atas saran para penasehatnya karena khawatir pemberontakan rakyat Mesir terhadapnya. (At-Tarikh Al-Islami, 28/283 dan Siyar A’lam An-Nubala’, 15/173-177 keduanya karya imam Adz-Dzahabi)
Maka ulama Islam sepakat bahwa mereka adalah orang-orang murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku bagi mereka.

2. Meyakini ada sebagian manusia yang tidak wajib beribadah kepada Allah. Seorang yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib beribadah kepada Allah atau tidak memiliki kewajiban melaksanakan perintah syariat Islam dan meninggalkan larangan syariat Islam, maka para ulama telah sepakat bahwa ia kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku baginya. Contoh:
  • Kelompok sufi ekstrim yang berpendapat bahwa seorang sufi yang telah menggapai tingkatan (maqam) ma’rifah telah gugur atasnya kewajiban-kewajiban agama, sehingga ia tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Seperti kelompok Hululiyah, Ittihadiyah, dan Wihdatul Wujud dengan tokohnya seperti Al-Hallaj, Muhyiddin Ibnul Arabi, Ibnu Faridh, At-Tilmisani, Ash-Shadr Al-Qaunawi, Ibnu Sab’in, Syamsuddin At-Tibrizi, syaikh Siti Jenar, dan lain-lain.
     
  • Kelompok Nushairiyah yang meyakini bahwa para imam dan pemimpin kelompok mereka telah gugur atas diri mereka kewajiban-kewajiban agama, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka.
     
  • Kelompok Druz yang meyakini bahwa rukun Islam yang lima telah gugur atas diri para imam dan anggota kelompok mereka, sehingga mereka tidak wajib beribadah kepada Allah SWT. Menurut keyakinan mereka, semua larangan Islam (seperti berzina, homoseksual, lesbian, minuman keras, dan lain-lain) telah halal bagi mereka dan semua perintah Islam (dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan lain-lain) telah gugur atas diri mereka. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 276-284)

3. Tidak mengetahui bahwa Allah dan Rasulullah SAW itu dua hal yang berbeda karena nama keduanya disejajarkan dalam dua kalimat syahadat.
Imam Abu Abdillah Mayarah Muhammad bin Ahmad Al-Maliki (wafat  1072 H) dalam bukunya Ad-Durru Ats-Tsamin fi Syarh Al-Mursyid Al-Mu’in menyebutkan bahwa para ulama Bijayah di Magrib (Tunisia) pada abad 11 Hijriyah berkumpul dan melakukan kajian. Di antara permasalahan yang mereka kaji adalah bagaimana pendapat para ulama tentang seseorang yang melakukan amalan-amalan kebaikan bersama masyarakat, namun ia tidak mengetahui benar atau salahnya amalan tersebut, ia tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illa Allah, ia tidak membedakan antara Allah dan Rasul-Nya SAW karena (lafal Allah dan Rasulullah SAW, pent) disejajarkan dalam dua kalimat syahadat?
Para ulama Bijayah menjawab, “Hal ini tidak terjadi kecuali pada penduduk pedalaman (badui) di mana tidak ada ilmu pada mereka.” Sebagian ulama saat itu bertanya, “Jika demikian keadaannya, apakah ia memiliki bagian dalam Islam?” Para ulama yang hadir semuanya menjawab bahwa orang itu dan orang yang sepertinya tidak memiliki bagian apapun dalam Islam.”
Imam Muhammad bin Ismail bin Al-Amir Ash-Shan’ani mengomentari, “Jawaban yang mereka fatwakan tersebut sangat jelas, tidak mungkin ada dua orang yang berselisih pendapat tentangnya.” (Tathirul I’tiqad ‘an Adranil Ilhad, hlm. 74 karya imam Ash-Shan’ani dan Taisirul ’Azizil Hamid Syarh Kitab Tauhid, hlm. 60 karya syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab)

4. Tidak mengetahui bahwa Dzat Allah dan sifat-Nya berbeda dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersatu dengan dzat makhluk-Nya atau meyakini Dzat Allah bersemayam dalam dzat makhluk-Nya. Ulama sepakat menyatakan muslim yang memiliki keyakinan seperti ini telah murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku untuk dirinya.
Contoh:
  • Kelompok Nushairiyah yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri Ali bin Abi Thalib RA. Mereka meyakini bahwa setelah Ali bin Abi Thalib meninggalkan jasad manusianya, ia bersemayam pada bulan atau matahari. Oleh karena itu sebagian kelompok Nushairiyah beribadah kepada bulan (disebut juga kelompok Shimaliyah), dan sebagian kelompok Nushairiyah lainnya beribadah kepada matahari (disebut juga kelompok Kalaziyah). (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
     
  • Kelompok Druz yang meyakini Dzat Allah bersemayam dalam diri raja daulah Ubaidiyah Mesir, Al-Hakim bi Amrillah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 323)
     
  • Kelompok Satria Piningit Weteng Buwono yang meyakini manunggaling wujud (Allah menitis pada jasad pemimpin kelompok ini, yaitu Agus Imam Sholichin) sehingga meyakini tidak ada kewajiban shalat kepada Allah SWT.
     
  • Kelompok sufi ekstrim yang meyakini Allah bersatu dengan jasad makhluk, seperti aliran Ittihadiyah, Al-Hululiyah, dan Wihdatul Wujud. Kelompok  Ittihadiyah meyakini ada dua Dzat yang bersatu yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk. Kelompok Hululiyah meyakini ada dua dzat, yaitu Dzat Allah dan dzat makhluk, lalu Dzat Allah menempati jasad makhluk-Nya sehingga kedua dzat itu menyatu, namun kedua dzat itu bisa berpisah kembali. Kelompok Wihdatul Wujud meyakini bahwa hanya ada satu dzat, Dzat Allah adalah juga dzat makhluk, sehingga semua makhluk di alam semesta ini adalah Dzat Allah itu sendiri. (At-Takfir wa Dhawabituhu, hlm. 57-58 karya syaikh Safar Al-Hawali)
Qadhi Abu Yusuf meriwayatkan bahwa imam Abu Hanifah berkata, “Tidak ada udzur bagi seorang pun atas kebodohannya (ketidak tahuannya) tentang Sang Penciptanya, karena kewajiban seluruh makhluk adalah mengenal Rabb SWT dan mengesakan-Nya, berdasar apa yang ia lihat berupa penciptaan langit dan bumi, penciptaan dirinya, dan penciptaan seluruh makhluk Allah yang lain. Adapun perintah-perintah agama, maka barangsiapa belum mengetahuinya dan ilmunya belum sampai kepada dirinya, maka hujah secara hukum belum tegak atas dirinya.” (Badai’u ash-Shanai’ fi Tartibis Syarai’, 9/521 karya imam ‘Alauddin Al-Kasani Al-Hanafi)
Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri berkata, “Adapun orang yang mengatakan bahwa Allah adalah si fulan yaitu seseorang tertentu, atau ia menyatakan bahwa Allah bersemayam (menyatu) dengan jasad seorang makhluk-Nya, atau ia menyatakan sepeninggal Nabi Muhammad SAW ada seorang nabi selain Isa bin Maryam, niscaya tidak ada dua orang pun yang berselisih dalam mengkafirkan orang tersebut, karena secara sah hujah atas setiap masalah tersebut telah tegak atas setiap orang.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/293 karya Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri)
Imam Al-Anshari Muhammad bin Nizhamuddin Al-Hindi Al-Hanafi saat menjelaskan tentang kebodohan yang bisa menjadi udzur dan kebodohan yang tidak biisa menjadi udzur, mengatakan, “Kebodohan yang tidak bisa menjadi udzur dalam keadaan apapun, tidak di dunia tidak pula di akhirat, dan tidak menjadi syubhat pula, adalah seperti kebodohan orang kafir terhadap Dzat Allah dan Rasul-Nya, karena bukti-bukti yang menunjukkan atas keesaan (Allah), sifat-sifat (Allah), dan kerasulan baik berupa alam semesta maupun mu’jizat (para nabi dan rasul, pent) sangat jelas. Sehingga ia telah termasuk perkara dharuriyat (kepastian) yang sangat terang, maka mengingkari perkara-perkara yang telah pasti (dharuriyat) adalah kesombongan, sehingga tidak diperhitungkan dan tidak dijadikan udzur.”(Fawatihur Rahmaut Syarh Musallam Ats-Tsubut karya imam Al-Anshari Al-Hanafi, dalam catatan pinggir Al-Musthasfa fi Ushulil Fiqh, 2/387)

5. Tidak mengetahui bahwa nabi Muhammad bin Abdullah SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul, dan syariat beliau adalah syariat terakhir untuk seluruh manusia dan jin sampai hari kiamat. Ulama sepakat bahwa seorang muslim yang mengklaim dirinya sebagai nabi sepeninggal Rasulullah SAW atau ia membenarkan klaim kenabian seseorang sepeninggal Rasulullah SAW, maka orang tersebut telah kafir murtad dan udzur kebodohan tidak berlaku atas dirinya.
Contoh:
  • Pengikut agama Salamullah yang membenarkan klaim Lia ‘Eden’ Aminuddin bahwa malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadanya.
     
  • Pengikut agama Ahmadiyah atau Qadiyaniyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah dan memiliki kitab suci tersendiri yaitu At-Tadzkirah.
     
  • Kelompok Nushairiyah meyakini pendiri kelompok mereka, Muhammad bin Nushair An-Numairi (mati tahun 270 H), adalah nabi yang menerima wahyu Allah. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
     
  • Kelompok Druz yang meyakini tokoh kelompok mereka Hamzah bin Ali bin Ahmad Az-Zuzuni (mati tahun 431 H) adalah nabi yang menunjukkan umat manusia untuk beribadah kepada Al-Hakim bi Amrillah, sekaligus sebagai malaikat yang menurunkan wahyu Al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW, penghapus syariat seluruh nabi, yang mematikan dan membangkitkan seluruh manusia, bahkan Tuhan sebab ia adalah Al-Aql Al-Kulli. (Al-Harakat Al-Bathiniyah fil ‘Alam Al-Islami, hlm. 261-266)
     
  • Ahmad Mushaddiq yang mengklaim dirinya adalah nabi yang menerima wahyu dari Allah setelah bertapa di gunung Bunder dan para pengikutnya yang membenarkan ajarannya.
     
  • Mirza Ali Mohammad Ridha Ash-Shirazi. Pendiri agama Babisme dan penganut Syiah yang mengklaim sebagai nabi, dihukum mati oleh pemerintah Iran tahun 1843.
     
  • Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme (pengganti Babisme) dan penganut Syiah. Mengaku Nabi tahun 1862 dan mati tahun 1892, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Abbas Efendy yang berpusat di Chicago.
 ***
Inilah sebagian bentuk kebodohan yang disepakati oleh ulama tidak menjadi udzur bagi seorang muslim. Dalil-dalil dari Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ atas hal-hal di atas sudah sangat terkenal dan dipaparkan panjang lebar oleh para ulama dalam buku-buku akidah.
Insya Allah pada kajian selanjutnya kita akan membahas kebodohan yang disepakati oleh ulama menjadi udzur bagi seorang muslim dan kebodohan yang diperselisihkan oleh para ulama apakah menjadi udzur atau bukan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Serial kajian tentang takfir muayyan #2: Mengenal kaedah umum takfir mu’ayyan

(Arrahmah.com) - Apabila seseorang secara sah telah masuk Islam dan memiliki komitmen global kepada Islam, kemudian ia mengucapkan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan yang membatalkan keislamannya ---bisa berupa syirik akbar, kufur akbar, atau sebab lainnya--- maka ia divonis kafir alias murtad apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan tiada penghalang-penghalang pengkafiran (mawani’ takfir).
Masalah mengkafirkan seseorang yang secara sah telah masuk Islam karena melakukan salah satu pembatal keislaman, pada dasarnya mencakup dua aspek. Pertama, aspek akidah berkenaan dengan dalil-dalil syar’i yang menyatakan sebuah keyakinan, ucapan, atau perbuatan sebagai pembatal keislaman. Hal ini dibahas dalam buku-buku akidah pada bab pembatal-pembatal keislaman (nawaqidhul Islam).
Kedua, aspek fiqih berkenaan dengan proses pengadilan (al-qadha’) yang mengkaji realita pelaku ucapan atau perbuatan yang membatalkan keislaman tersebut. Hal ini dibahas dalam buku-buku fiqih pada bab kemurtadan (ar-riddah) dan peradilan (al-qadha’).
 ***
Dua Macam Pengkafiran
Oleh karenanya di kalangan ulama dikenal dua istilah pengkafiran; takfir ‘am atau takfir nau’ dan takfir ‘ain atau takfir mu’ayyan.
(1) Takfir ‘Am atau Takfir Nau’ atau Takfir Muthlaq
Takfir ‘am atau takfir’ nau’ atau Takfir Muthlaq adalah menilai sebuah keyakinan (amalan hati), ucapan (amalan lisan), atau perbuatan (amalan anggota badan) sebagai pembatal keislaman. Hal yang dihukumi adalah ucapan atau perbuatan yang nampak, sehingga pengkafiran diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lepas tanpa memerlukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan penghalang-penghalang pengkafiran (mawani’ takfir).
Contoh dari takfir ‘am atau takfir nau’ adalah ucapan para ulama: “Barangsiapa mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir”, atau “Barangsiapa menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati atau mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati maka ia telah kafir”, atau “Barangsiapa melakukan perbuatan sihir maka ia telah kafir”, atau ‘Barangsiapa meninggalkan shalat wajib sampai keluar waktunya secara sengaja, maka ia telah kafir”.
(2) Takfir ‘Ain atau Takfir Mu’ayyan
Adapun takfir ‘ain atau takfir mu’ayyan adalah menjatuhkan vonis kafir murtad terhadap seorang muslim yang terbukti secara sah mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang membatalkan keislaman. Hal yang dihukumi adalah sosok muslim tertentu, bukan semata ucapan atau perbuatan yang ia lakukan. Dalam hal ini, dilakukan kajian tentang syarat-syarat pengkafiran (syurut takfir) dan penghalang-penghalang pengkafiran (mawani’ takfir).
a. Jika syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi sementara penghalang-penghalang kekafiran tidak ada, maka muslim tersebut divonis kafir alias murtad. Kepadanya diminta untuk bertaubat. Jika ia mau bertaubat, maka ia menjadi seorang muslim kembali. Namun apabila ia tidak mau bertaubat, niscaya kepadanya diterapkan hukum-hukum Islam atas diri orang murtad.
b. Jika syarat-syarat pengkafiran belum terpenuhi atau terdapat penghalang-penghalang pengkafiran, maka muslim tersebut tidak divonis kafir alias murtad. Apabila telah ditegakkan hujah kepadanya, dihilangkan syubhat yang ada pada dirinya, dan seluruh penghalang pengkafiran tidak ada pada dirinya namun ia tetap melakukan kekufuran tersebut, maka ia harus divonis murtad.
Contoh takfir ‘ain atau takfir mu’ayyan adalah pernyataan para ulama: “Lia Aminuddin telah murtad karena mengklaim sebagai nabi dan menerima wahyu dari malaikat Jibril”, atau “Nashr Hamid Abu Zaid telah murtad karena menyatakan Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) bukan wahyu Allah!”, atau “Ulil Abshar Abdalla telah murtad karena menyatakan semua agama baik dan benar”, atau “Musdah Mulia telah murtad karena menghalalkan homoseksual dan lesbian”dan lain-lain.
***
Takfir ‘am tidak selalu berkonskuensi takfir mu’ayyan
Dari dalil-dalil syar’i dan praktek para ulama salaf, para ulama ahlus sunnah wal jama’ah kemudian menyimpulkan sebuah kaedah: Takfir ‘am atau takfir nau’ tidak selalu berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir mu’ayyan. Takfir ‘am atau takfir nau’ baru berkonskuensi takfir ‘ain atau takfir mu’ayyan ketika telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada penghalang-penghalang pengkafiran pada diri seorang muslim yang mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Di antara dalil Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama yang menjadi landasan kaedah ini adalah:
(1). Firman Allah SWT,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (niscaya dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Ammar bin Yasir RA yang disiksa dengan sadis oleh kaum musyrik Quraisy. Dalam penyiksaan yang biadab itu, bapaknya yang bernama Yasir RA dan ibunya yang bernama Sumayyah RA gugur sebagai syahid. Karena tidak kuat lagi menanggung beratnya siksaan, akhirnya Ammar bin Yasir menuruti paksaan orang-orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan perkataan kekafiran, yaitu mengakui berhala-berhala Quraisy sebagai Tuhan yang berhak disembah dan mendustakan kenabian Nabi Muhammad SAW. Setelah menuruti paksaan tersebut, kaum musyrik Quraisy menghentikan siksaan dan melepaskan Ammar.
Ammar menyesali peristiwa itu dan mengadukannya kepada Nabi SAW sembari menangis. Nabi SAW bertanya kepada Ammar, “Bagaimana dengan perasaan hatimu?” Ammar menjawab, “Tetap tentram dalam keimanan.” Nabi SAW bersabda, “Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukan seperti yang kau lakukan sebelumnya (menuruti paksaan mereka)!” (Lihat: Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an (Tafsir Ath-Thabari) 17/304-305, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir) 4/605, Ma’alim At-Tanzil (Tafsir Al-Baghawi) 5/45-46, Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an (Tafsir Al-Qurthubi) 10/180-181, Fathul Qadir (Tafsir Asy-Syaukani) 3/235 dan Mahasinut Ta’wil (Tafsir Al-Qasimi), 6/412) 
Imam Al-Qurthubi berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk melakukan kekafiran sampai ia mengkhawatirkan akan dibunuh, maka ia tidak berdosa jika melakukan kekafiran selama hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka istrinya tidak diceraikan dari dirinya dan ia tidak divonis kafir.” (Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an, 10/182 dan Fathul Qadir, 3/235)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa seseorang yang dipaksa untuk melakukan kekafiran, maka ia boleh menuruti paksaan itu demi mempertahankan nyawanya, dan boleh juga baginya menolak meskipun berakibat ia dibunuh seperti Bilal RA yang menolak paksaan mereka, meskipun mereka menimpakan siksaan apapun kepadanya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 4/606 dan Mahasinut Ta’wil, 6/413)

(2) Firman Allah SWT,
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru (khilaf) padanya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 5)
Dan hadits shahih,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Dari Anas bin Malik Ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh Allah lebih senang dengan taubat seorang hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada Allah, daripada kegembiraan salah seorang di antara kalian yang mengendarai untanya di sebuah padang pasir, tiba-tiba untanya terlepas darinya dengan membawa lari makanan dan minumannya. Ia putus asa dari untanya, maka ia mendatangi sebatang pohon dan berbaring di bawah naungannya dalam keadaan putus asa dari untanya. Ketika ia dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba untanya berada di hadapannya, berdiri di sisinya, maka ia segera memegang tali kekang untanya. Ia begitu gembira sampai mengucapkan, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.” Ia keliru mengucapkan kalimat karena terlalu gembira. (HR. Muslim no. 2747)
Perkataan ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu’ merupakan syirik akbar. Namun orang tersebut tidak dikafirkan karena pada dirinya terdapat penghalang kekafiran, yaitu kekeliruan atau keseleo lidah, mengucapkan perkataan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh hatinya (al-khatha’).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:
“Allah SWT telah memberi udzur kepada orang yang terlalu larut dalam kegembiraan karena mendapatkan kembali untanya yang terlepas di daerah yang bisa membinasakan dirinya (padang pasir tanpa makanan dan minuman, pent) setelah ia putus asa darinya. Ia sampai mengatakan, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.” Allah tidak menjadikan orang tersebut kafir, karena ia keliru mengucapkan kalimat oleh faktor kegembiraan yang sangat.” (Syifa’ul ‘Alil fi Masailil Qadha’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’lil, 1/138)
Beliau juga berkata:
“Di antara kaedah ilmu yang terdapat dalam hadits ini adalah sebuah lafal yang terucap melalui lisan seorang hamba secara keliru karena kegembiraan yang sangat, atau kemarahan yang sangat, dan lain sebagainya, niscaya ia tidak dihukum karena ucapan tersebut. Oleh karena itu, orang tersebut tidak menjadi kafir dengan perkataannya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.” (Madarijus Salikin Syarh Manazilis Sairin, 1/226)

(3) Hadits tentang Qudamah bin Mazh’un RA yang menghalalkan khamr karena salah memahami dalil (salah ta’wil).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah bahwa khalifah Umar bin Khatab mengangkat seorang veteran perang Badar, Qudamah bin Mazh’un RA yang juga paman Abdullah bin Umar RA dan Hafshah bin Umar RA (dari jalur ibu) sebagai gubernur Bahrain. Qudamah bin Mazh’un meminum khamr sampai mabuk. Ia dilaporkan kepada khalifah Umar bin Khathab, dan terdapat tiga orang saksi atas hal itu yaitu Jarud kepala suku Abdul Qais, Abu Hurairah RA dan Hindun binti Walid istri Qudamah bin Mazh’un.
Ketika disidang, Qudamah bin Mazh’un mengakui telah meminum khamr. Namun Qudamah bin Mazh’un menganggap khamr halal baginya, dengan dalil firman Allah SWT,
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)  
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Maka Umar bin Khathab berkata:
أَخْطَأْتَ التَّأْوِيلَ , إِنِ اتَّقَيْتَ اللهَ اجْتَنَبْتَ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْكَ
Engkau telah keliru memahami ayat (ta’wil). Jika engkau bertakwa kepada Allah, niscaya engkau menjauhi apa yang Allah haramkan kepadamu.”
Dengan kesepakatan sahabat, Qudamah bin Mazh’un RA akhirnya dijatuhi hukuman cambuk.
(HR. Abdur Razzaq no. 17076, Al-Baihaqi no. 17516 dan Ibnu Syabah dalam Tarikh al-Madinah)
Qudamah bin Mazh’un RA adalah seorang sahabat senior dari kalangan muhajirin dan termasuk veteran Badar. Ia bukan orang yang baru saja masuk Islam. Ia tidak hidup di daerah pelosok pedalaman yang jauh dari ilmu dan para ulama, justru ia hidup di negara Islam, bahkan di salah satu kota besar dalam wilayah khilafah Islamiyah rasyidah. Ia bukan orang bodoh dan awam, karena ia adalah seorang gubernur, dan Umar bin Khathab mengedepankan orang-orang berilmu sebagai para pejabat negara. Di zaman ia hidup terdapat ribuan ulama, baik dari kalangan sahabat senior, sahabat junior, maupun tabi’in senior.
Qudamah bin Mazh’un RA meminum khamr dan menganggap khamr itu halal baginya. Ia tahu dalil keharaman khamr yaitu QS. Al-Maidah [5]: 90-91, namun ia meyakini dirinya dikecualikan dari keharaman tersebut karena salah memahami QS. Al-Maidah [5]: 93. Menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar yang membatalkan keislaman. Untuk itu, ia diadili oleh Umar bin Khathab. Umar menjelaskan kepadanya kekeliruannya dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93. Karena ia mengakui perbuatannya meminum khamr dan ada beberapa saksi yang bersaksi di pengadilan Umar, maka ia pun dihukum cambuk.
Seandainya setelah proses pengadilan dan penegakan hujah yang membantah kekeliruannya dalam memahami QS. Al-Maidah [5]: 93 tersebut, Qudamah masih meyakini kehalalan khamr, tentulah para sahabat bersepakat atas kemurtadan Qudamah, karena syarat-syarat pengkafiran telah terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada lagi pada dirinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Demikian pula orang yang mengingkari pengharaman sesuatu hal dari hal-hal yang keharamannya telah sangat jelas (zhahirah) lagi sangat terkenal (mutawatirah) seperti perbuatan-perbuatan keji, kezaliman, ucapan dusta, khamr dan lain sebagainya, atau ia keliru sehingga ia meyakini bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr seperti kekeliruan orang-orang yang diminta bertaubat oleh Umar, dan orang-orang yang seperti mereka; maka mereka harus diminta untuk bertaubat dan kepada mereka ditegakkan hujah. Jika setelah itu mereka masih saja terus-menerus (menghalalkan khamr, pent) maka mereka telah kafir pada saat tersebut, adapun sebelum itu mereka tidak divonis kafir. Sebagaimana para sahabat tidak memvonis kafir Qudamah bin Mazh’un dan kawan-kawannya (yang menghalalkan khamr sebelum dihilangkan syubhatnya, pent) saat mereka keliru dalam melakukan ta’wil.” (Majmu’ Fatawa, 7/610)
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa Qudamah bin Mazh’un RA meminum khamr karena menghalalkannya, maka Umar bin Khathab menerapkan hukuman had (cambuk) kepadanya dan tidak mengkafirkannya. Demikian juga Abu Jandal bin Suhail RA dan sekelompok orang yang bersamanya meminum khamr di Syam dan menghalalkannya, mereka berdalil dengan firman Allah,
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]: 93)
Mereka tidak dikafirkan, namun mereka diberi penjelasan tentang keharaman khamr, maka mereka bertaubat, sehingga ditegakkan hukuman had atas mereka. Maka kepada orang-orang yang keadaannya seperti mereka ditetapkan juga hukum yang sama dengan mereka. Demikian juga setiap orang yang tidak mengetahui sesuatu hal yang ia memang mungkin untuk tidak mengetahuinya, maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia diberi penjelasan tentangnya, syubhat hilang dari dirinya, lalu ia menghalalkannya setelah semua (proses penjelasan ilmu dan penghilangan syubhat, pent) tersebut.” (Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi, 9/12)
Seperti dijelaskan dalam kitab-kitab hadits dan sejarah, Abu Jandal bin Suhail RA adalah seorang sahabat muhajirin yang melarikan diri dari kota Makah pada masa berlakunya perjanjian Hudaibiyah. Ia bukan orang yang baru masuk Islam. SeteIah Rasulullah SAW wafat, Abu Jandal tinggal di Syam, salah satu wilayah khilafah Islamiyah rasyidah yang dipenuhi oleh ratusan ulama dari generasi shahabat dan tabi’in.
Ia meminum khamr dan menghalalkan khamr, ini merupakan kekafiran dan pembatal keislaman. Namun karena ia melakukannya atas dasar salah memahami ayat Al-Qur’an (ta’wil), maka ia tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya pemahaman yang benar dan dihilangkan syubhat. Jika setelah proses penjelasan kebenaran dan penghilangan syubhat tersebut ia tetap saja menghalalkan khamr, niscaya ia akan divonis kafir oleh seluruh ulama.
(4)- Hadits tentang Khawarij yang menghalalkan pembunuhan dan perampokan terhadap kaum muslimin karena keliru memahami dalil (salah ta’wil).
Membunuh dan merampok adalah kejahatan yang keharamannya telah disepakati, sangat jelas (zhahirah) dan sangat terkenal (mutawatirah). Semua kaum muslimin, baik ulama maupun awam sudah memahami keharamannya. Menghalalkan pembunuhan dan perampokan adalah sebuah kufur akbar yang membatalkan keislaman. Ini adalah takfir ‘am atau takfir nau’. Meski demikian, tidak serta merta hukum kafir murtad karena melakukan penghalalan membunuh dan merampok ini bisa diterapkan kepada, misalnya, personil-personil kelompok Khawarij karena adanya penghalang kekafiran pada diri mereka yaitu salah ta’wil.
Kelompok Khawarij atau Haruriyah semula adalah anggota pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib RA dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Mereka menuduh Ali bin Abi Thalib dan pasukannya yang setia sebagai orang kafir, karena meminta keputusan perkara kepada manusia pada peristiwa perundingan (tahkim) dengan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Daumatul Jandal. Mereka memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Mereka meyakini Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari RA dan seluruh sahabat dan tabi’in yang terlibat dalam perang Shiffin dan tahkim di Daumatul Jandal telah kafir, karena berhukum kepada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah milik Allah, dan merampas hak menetapkan hukum adalah syirik akbar, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah. (QS. Yusuf [12] 40)
Ali bin Abi Thalib mengomentari cara Khawarij memahami ayat tersebut dengan berkata, “Kalimat kebenaran namun dimaksudkan untuk kebatilan.”
Sebagaimana disebutkan oleh riwayat-riwayat yang sangat terkenal dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab sejarah, Ibnu Abbas RA diutus oleh Ali bin Abi Thalib RA untuk berdialog dengan kelompok Khawarij Haruriyah dan menghilangkan syubhat mereka. Dari 12000 personil Khawarij pimpinan Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Zaid bin Hushain ath-Thai, Syuraih bin Aufa, Harqush bin Zuhair, Abdullah bin Syajarah as-Sulami dan Dzu Tsadyain, sebanyak 8000 orang bertaubat dan keluar dari kelompok Khawarij. Namun 4000 personil lainnya bersama para pemimpinnya tetap memegang teguh prinsip mereka; mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, Aisyah, Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awwam, Amar bin Yasir, dan seluruh sahabat yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Shiffin.
Kelompok Khawarij lantas membunuh Abdullah bin Khabab bin Arts dan istrinya yang sedang hamil, dan merampas hartanya, karena keduanya tidak mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Ali bin Abi Thalib meminta mereka yang terlibat dalam pembunuhan dan perampokan keji itu untuk menyerahkan diri. Namun mereka semua mengaku sebagai pelakunya dan menolak menyerahkan diri. Maka Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin memerangi kelompok Khawarij hingga mereka bisa dikalahkan.
Kelompok Khawarij menghalalkan pembunuhan terhadap umat Islam di luar kelompoknya, bahkan terhadap para sahabat Muhajirin dan Anshar yang telah diridhai Allah. Allah SWT berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah [9]: 100)
Sebagian shahabat bahkan telah dipastikan oleh Nabi SAW sebagai ahli surga, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awwam, dan lain-lain. Khawarij juga menghalalkan perampokan terhadap harta kaum muslimin di luar kelompoknya. Khawarij hidup di negeri Islam, bahkan di ibukota jantung Khilafah Islamiyah Rasyidah yaitu Kufah, bukan di pelosok pedalaman terpencil yang jauh dari ilmu. Khawarij hidup di zaman negeri kaum muslimin dipenuhi oleh ribuan ulama dari generasi sahabat dan tabi’in. Khawarij bukan orang yang baru saja masuk Islam. Mereka tahu pasti dalil keharaman membunuh seorang mukmin dan merampas harta seorang mukmin, karena Khawarij adalah orang-orang yang sangat tekun membaca Al-Qur’an dan mereka paham bahasa Arab, selain juga mereka hidup bersama Ali bin Abi Thalib dan ratusan ulama sahabat dalam barisan Ali.
Kepada 4000 pengikutnya, para pemimpin Khawarij mengajarkan doktrin kehalalan nyawa dan harta Ali bin Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amru bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan ribuan sahabat dan tabi’in yang terlibat perang Jamal, perang Shifin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal. Menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah kufur akbar, dan menaati aturan para pemimpin yang menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati adalah syirik akbar.
Meski demikian, khalifah Ali bin Abi Thalib, ribuan sahabat dan tabi’in yang bersamanya tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang musyrik, kafir, dan murtad. Hal itu karena pada diri mereka terdapat sebuah penghalang pengkafiran, yaitu salah memahami dalil (at-ta’wil). Khawarij memahami dalil secara keliru sehingga meyakini Ali bin Thalib dan seluruh sahabat yang terlibat dalam perang Jamal, perang Siffin, dan perundingan damai di Daumatul Jandal sebagai orang kafir, sehingga nyawa dan hartanya halal.
Di antara dalil tentang hal itu adalah hadits-hadits shahih berikut,
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: " كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ حِينَ فَرَغَ مِنْ قِتَالِ أَهْلِ النَّهْرَوَانِ، فَقِيلَ لَهُ: أَمُشْرَكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا. فَقِيلَ: فَمُنَافِقُونَ ؟ قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا فَقَاتَلْنَاهُمْ ".
Dari Thariq bin Syihab berkata, “Saya menyertai Ali bin Abi Thalib RA setelah usai perang melawan kelompok Khawarij di Nahrawan. Ali bin Abi Thalib ditanya, “Apakah mereka itu orang-orang musyrik?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka justru lari menjauhi syirik.” Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, “Apakah mereka itu orang-orang munafik?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja.” Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, “Kalau begitu, mereka itu apa?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi mereka.” (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat no. 506)
عَنْ حَكِيمِ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: قَالُوا لِعَلِيٍّ حِينَ قَتَلَ أَهْلَ النَّهْرَوَانِ: أَمُشْرِكُونَ هُمْ؟ قَالَ: مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا. قِيلَ: فَمُنَافِقُونَ؟ قَالَ: الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. قِيلَ: فَمَا هُمْ؟ قَالَ: قَوْمٌ حَارَبُونَا فَحَارَبْنَاهُمْ وَقَاتَلُونَا فَقَاتَلْنَاهُمْ
Dari Hakim bin Jabir berkata, “Orang-orang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika ia memerangi kelompok Khawarij di Nahrawan, “Apakah mereka itu orang-orang musyrik?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka justru lari menjauhi syirik.” Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, “Apakah mereka itu orang-orang munafik?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja.” Ali bin Abi Thalib ditanya lagi, “Kalau begitu, mereka itu apa?”  Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka adalah sebuah kaum yang memerangi kita maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka kita pun membunuhi mereka.” (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat no. 508)
عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ ، قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : مَنْ يَتَعَرَّفُ الْبُغَاةَ يَوْمَ قُتِلَ الْمُشْرِكُونَ ؟ يَعْنِي أَهْلَ النَّهْرَوَانِ ، فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ : " مِنَ الشِّرْكِ فَرُّوا ، قَالَ : فَالْمُنَافِقُونَ ؟ قَالَ : الْمُنَافِقُونَ لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا ، قَالَ : فَمَا هُمْ ؟ قَالَ : قَوْمٌ بَغَوْا عَلَيْنَا فَنُصِرْنَا عَلَيْهِمْ .
Dari Syaqiq bin Salamah berkata, “Seorang berkata, “Siapakah yang mencari tahu tentang para pembangkang pada hari kaum musyrikin dibunuh?” Kaum musyrikin yang ia maksudkan adalah kelompok Khawarij di Nahrawan. Maka Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka justru lari menjauhi syirik.” Orang itu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Apakah mereka itu orang-orang munafik?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Orang-orang munafik tidak mengingat Allah kecuali sedikit saja.” Orang itu bertanya lagi kepada Ali bin Abi Thalib lagi, “Kalau begitu, mereka itu apa?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita diberi kemenangan atas mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam as-sunan al-kubra no. 25213)
Setelah menyebutkan hadits Thariq bin Syihab dan Hakim bin Jabir di atas, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Hadits yang pertama dan hadits ini sangat tegas bahwa Ali bin Abi Thalib mengucapkan perkataan tersebut berkenaan dengan Khawarij Haruriyah penduduk Nahrawan, dimana telah sangat masyhur hadits-hadits shahih dari Nabi SAW yang mencela mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Mereka mengkafirkan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan orang-orang yang memberikan loyalitas kepada keduanya (mengakui kekhilafahan keduanya). Siapa saja yang tidak bersama mereka, niscaya menurut mereka adalah orang kafir, negerinya dianggap sebagai negeri kafir, karena negeri Islam menurut mereka hanyalah negeri yang mereka tempati.
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan lainnya berkata: “Khawarij telah bersepakat dalam mengkafirkan Ali bin Abi Thalib RA.”Meski demikian, Ali bin Abi Thalib baru memerangi mereka ketika mereka telah memulai peperangan, di mana mereka membunuh Abdullah bin Khabab. Ali meminta mereka untuk menyerahkan kepadanya pembunuhnya, namun mereka menjawab, “Kami semua yang telah membunuhnya.” Mereka juga merampok hewan gembalaan masyarakat. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib berkomentar tentang mereka, “Mereka adalah sebuah kaum yang memerangi kita maka kita pun memerangi mereka, dan mereka membunuhi kita maka kita pun membunuhi mereka.” Ali juga berkomentar, “Mereka adalah sebuah kaum yang bertindak aniaya kepada kita, maka kita memerangi mereka.
Para sahabat dan ulama setelah generasi mereka telah bersepakat untuk memerangi mereka (Khawarij), karena mereka bertindak aniaya terhadap seluruh kaum muslimin yang tidak menyetujui pendapat (keyakinan) mereka. Mereka memulai peperangan terhadap kaum muslimin, dan kejahatan mereka tidak bisa ditolak kecuali dengan memerangi mereka. Maka mereka lebih berbahaya terhadap kaum muslimin daripada para pembegal (perampok), karena tujuan para pembegal adalah harta, jika mereka diberi harta maka mereka tidak akan memerangi. Lagipula, para pembegal hanya mengincar sebagian orang saja.
Adapun Khawarij memerangi masyarakat atas dasar agama sampai masyarakat meninggalkan ajaran yang telah tetap berdasar Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ shahabat, kepada bid’ah yang diada-adakan oleh Khawarij dengan ta’wil mereka yang batil dan pemahaman mereka yang rusak terhadap Al-Qur’an. Meski demikian, Ali RA menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin, bukan orang-orang kafir, bukan pula orang-orang munafik.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/243-244)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib dan para sahabat lainnya tentang kelompok Khawarij mengindikasikan bahwa Khawarij bukanlah orang-orang kafir seperti orang-orang yang keluar dari pokok Islam. Pendapat inilah yang diriwayatkan dengan tegas dari para ulama seperti imam Ahmad dan lainnya.” (Majmu’ Fatawa, 28/516)
Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata:
“Sudah dikenal luas bahwa termasuk akidah Khawarij adalah mengkafirkan banyak para shahabat RA dan generasi sesudah mereka, menghalalkan darah (nyawa) mereka dan harta mereka, dan Khawarij meyakini membunuh mereka adalah amalan shalih untuk mendekatkan diri kepada Rabb mereka. Meski demikian, para ulama fiqih (fuqaha’) tidak memvonis Khawarij sebagai orang-orang kafir, karena mereka melakukan ta’wil.” (Al-Mughni Syarh Mukhtashar Al-Khiraqi, 9/12)

(5) Dalil dari ijma’ shahabat dan tabi’in
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Hakekat perkara dalam hal itu adalah terkadang sebuah pendapat (keyakinan) merupakan sebuah kekafiran, maka disebutkan secara lepas (muthlaq) tentang kekafiran orangnya, dengan mengatakan: Barangsiapa mengatakan begini, maka dia telah kafir. Namun individu tertentu yang mengucapkan perkataan (kekafiran) tersebut tidaklah divonis telah kafir sampai tegak atasnya hujah yang telah kafir orang yang meninggalkan hujah tersebut…
Pendapat-pendapat yang menyebabkan pelakunya telah kafir, terkadang seseorang belum sampai kepadanya nash-nash (dalil-dalil syar’i) yang menyebabkannya mengetahui kebenaran; terkadang nash-nash itu sudah sampai kepadanya namun menurutnya nash-nash tersebut tidak shahih, atau juga ia belum mampu memahami nash-nash tersebut, atau terkadang ia mendapati syubhat-syubhat yang dengannya Allah memberinya udzur.
Maka barangsiapa dari golongan kaum beriman, ia berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mencari kebenaran dan ia keliru, niscaya Allah mengampuni kekeliruannya siapapun ia, baik dalam perkara-perkara ilmu maupun perkara-perkara amal. Inilah yang diyakini oleh para shahabat Nabi SAW dan seluruh ulama Islam, mereka tidak membagi-bagi perkara-perkara agama menjadi perkara-perkara pokok (ushul) yang mengingkarinya menyebabkan kekafiran dan perkara-perkara cabang (furu’) yang mengingkarinya tidak menyebabkan kekafiran.
Celaan secara lepas tidak mesti berkonskuensi celaan terhadap orang tertentu yang memiliki penghalang berlakunya celaan tersebut atas dirinya. Demikian pula dengan pengkafiran secara lepas (takfir muthlaq) dan ancaman secara lepas. Oleh karena itu, celaan secara lepas di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah bersyarat dengan terpenuhinya syarat-syarat dan tiadanya penghalang-penghalang…
Saya telah menjelaskan kepada mereka bahwa telah diriwayatkan dari para ulama salaf dan para imam tentang pengkafiran secara lepas terhadap orang yang mengatakan begini dan begitu. Riwayat tersebut benar, namun ada perbedaan antara (pengkafiran) secara lepas dan (pengkafiran) terhadap individu tertentu; barangsiapa mengatakan begini maka baginya begini. Hal itu seperti perkataan para ulama salaf: barangsiapa mengatakan begini maka ia telah begini. Kemudian individu tertentu (yang mengatakan hal tersebut) bisa saja terbebas dari ancaman tersebut; dengan bertaubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapus keburukan-keburukan, atau musibah-musibah yang menggugurkan dosa-dosa, atau syafa’at yang diterima.” (Majmu’ Fatawa, 3/230, 10/329, dan 23/41) 
***
Kaedah Umum Takfir Mu’ayyan
Berdasar dalil-dalil Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ salaf; secara umum para ulama merumuskan kaedah-kaedah umum takfir mu’ayyan sebagai berikut:
1. Bersikap hati-hati dan teliti sebelum mengkafirkan seorang individu tertentu (mu’ayyan)
2. Telah terpenuhi syarat pengkafiran pada perbuatan individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Ucapan dan perbuatan yang dilakukan individu tertentu tersebut jelas-jelas menunjukkan sebuah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam dan tidak mengandung kemungkinan lain, misalnya kemungkinan ‘sekedar’ bid’ah, dosa besar, atau kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.
  • Dalil-dalil syar’i secara tegas telah menunjukkan kekafiran ucapan atau perbuatan tersebut.
3. Telah terpenuhi syarat pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Pelaku adalah seorang mukallaf, yaitu berusia baligh dan berakal sehat.
     
  • Telah tegak hujah (sampainya ilmu atau dakwah kebenaran) kepadanya dan tidak ada lagi syubhat yang menimpanya.
     
  • Pelaku melakukannya secara sadar dan sengaja, bukan karena ketidak sengajaan dan ketiadaan niat.
     
  • Pelaku melakukannya secara sukarela dan atas keinginannya sendiri, bukan karena paksaan yang disertai siksaan keji yang diluar batas kemampuannya.
4. Tidak ada penghalang-penghalang pengkafiran pada diri individu tertentu tersebut, yaitu:
  • Kebodohan (al-jahlu)
     
  • Kekeliruan atau ketidak sengajaan (al-khatha’ atau intifa’ al-qasdi)
     
  • Salah memahami dalil (at-ta’wilu)
     
  • Paksaan yang disertai siksaan (al-ikrahu)
     
  • Ijtihad
5. Kekafiran individu tertentu tersebut telah terbukti secara sah, dengan adanya bukti-bukti atau kesaksian dua orang saksi yang adil.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut secara luas dapat kita temukan dalam buku-buku tulisan para ulama. Insya Allah pada kajian berikutnya akan diberikan penjelasan yang lebih memadai tentang kaedah-kaedah di atas. Wallahu a’lam bish-shawab.

Bersambung, insya Allah...

13 FAKTA TENTANG YAHUDI ISRAEL

1. Tahukah anda bahwa Israel meledakan tempat kediaman Diplomat Amerika dan menyerang kapal perang Amerika Liberty di perairan internasional pada tahun 1967? Walaupun serangan itu menewaskan 33 tentara Amerika dan melukai 177 lainnya, tetapi Amerika sama sekali tidak melakukan tindakan apapun terhadap Israel? Hanya dengan alasan bahwa tentara Israel salah sasaran? Bayangkan kalau serangan itu dilakukan oleh Negara Islam?

2. Tahukah anda bahwa setiap ras yahudi yang ada di setiap Negara di seluruh dunia menjadi warga Negara Israel secara otomatis? Sementara warga Palestina yang terlahir di tanah negerinya sendiri sejak puluhan abad yang lalu terus diusir ke luar Palestina?

3. Tahukah anda bahwa penduduk Palestina yang menetap di kawasan Israel harus menggunakan kendaraan dengan cat dan warna khusus untuk membedakan antara ras yahudi dan non yahudi?

4. Tahukah anda bahwa Yerusalem bagian timur, Tepi Barat, Gaza dan dataran tinggi Golan dianggap oleh masyarakat internasional khususnya barat dan Amerika sebagai kawasan yang dijajah Israel dan bukan merupakan bagian dari Israel?

5. Tahukah anda bahwa Israel mengalokasikan 85% air bersih hanya untuk ras yahudi dan membagikan 15% sisanya untuk seluruh penduduk Palestina yang menetap di kawasan Israel? Secara realitas, Israel mengalokasikan 85% air bersih hanya untuk 400 penduduk yahudi di Hebron, sementara 15% sisanya alokasikan kepada 120 ribu penduduk Palestina di daerah itu?

6. Tahukah anda bahwa Amerika mengalolasikan 5 milyad US$ dari penghasilan pajaknya setiap tahunnya untuk menyumbang Israel?

7. Tahukah anda bahwa Amerika terus memberikan bantuan militer kepada Israel sebesar 1,8 milyard US$ setiap tahunnnya? Dan tahukah anda bahwa jumlah sebesar itu sama dengan sumbangan Amerika kepada seluruh Negara di benua benua Afrika?

8. Tahukah anda bahwa Israel juga menunggu bantuan perang tambahan sebesar 4 milyard US$ dari Amerika yang terdiri dari pesawat tempur F 16, Apache dan Blackhawk? Dan karena Amerika merupakan Negara koalisi utama bagi Israel, maka ia wajib memberikan semua fasilitas yang diminta Israel untuk menjamin eksistensinya.

9. Tahukah anda bahwa pemerintah Amerika telah menekan Konggres tentang pelanggaran Israel dalam penggunaan senjata yang mereka sumbangkan?Khususny a pada tahun 1978, 1979 dan tahun 1982 pada perang di Lebanon dan penggunaan senjata nuklir pada tahun 1981.

10. Tahukah anda bahwa Israel adalah satu-satunya Negara di Timur Tengah yang menolak menandatangani larangan pengembangan senjata nuklir? Dan menolak Tim Investigasi PBB untuk memeriksa tempat persembunyian nuklirnya?

11. Tahukah anda bahwa sebelum berdirinya Israel pada tahun 1948, sudah memiliki pabrik pengembangan senjata nuklir?

12. Tahukah anda bahwa Perwira Tinggi Israel di Departemen Perang mengakui secara terang-terangan bahwa militer Israel membunuh semua tahanan perang Palestina tanpa proses pengadilan?

13. Tahukah anda bahwa selain ras yahudi, dilarang membeli atau menyewa tanah di Israel?

Senin, 11 Juni 2012

Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Mulai Meresahkan Warga

Maraknya orang asing terutama dari kawasan timur tengah di kawasan Cipanas dan Puncak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat mulai mendapatkan pengawasan ekstra. Disinyalir pula, para imigran gelap yang melarikan diri pada minggu lalu dari tahanan imigrasi Sukabumi, lari ke kawasan ini. Namun, untuk pengawasan orang asing Pemda Cianjur mendapatkan banyak kendala.

“Beberapa kendala di antaranya menyangkut aturan penertiban. Para orang asing tidak bisa ditertibkan begitu saja, karena ada aturan internasional. Namun, jika tidak ditertibkan keberadaanya bisa meresahkan masyarakat setempat terutama sistem sosial,” ungkap Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Gatot Subroto, saat dihubungi VIVAnews, 9 Juni lalu.

Gatot menjelaskan, langkah sementara yang dilakukan Pemda Cianjur adalah pembentukan tim pengawasan orang asing yang berada di kawasan Kabupaten Cianjur. Saat ini, draf pembentukan tim sedang dalam tahap penyusunan. Pembuatan draf ini sebagai kepanjangan akan diaktifkannya kembali lembaga pengawasan orang asing oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam waktu dekat.

“Orang-orang Timur Tengah yang berada di Cipanas dan Puncak mulai bertambah banyak jumlahnya. Bahkan, mulai membentuk komunitas sendiri. Kala malam minggu kami bisa melihat mereka berkeliaran di sepanjang jalan atau mereka yang sedang asik kongkow di kedai-kedai Arab yang kian marak di kawasan Puncak dan Cipanas,” jelasnya.

Gatot menjelaskan, dari sisi ekonomi mikro, ada hal positif keberadaan mereka. Di antaranya, banyak kedai bergaya Arab yang menjual berbagai makanan dan keperluan seperti di Arab. Tapi, secara makro ekonomi, tidak jelas keberadaan mereka dengan pemasukan PAD Pemda Cianjur.

“Yang paling ditakutkan adalah daerah ini mulai masuk wacana politik lain. Isu teroris bukan mustahil ada di kawasan ini. Saya juga dapat kabar banyak imigran yang gagal menyeberang dan tertangkap aparat lari dan bersembunyi di kawasan ini,” tuturnya.

Yang paling Gatot takutkan adalah maraknya kawin kontrak. Ini pelecehan dan akan menjadi beban panjang baik pemerintah daerah maupun pusat. “Mereka enak saja menikah dalam waktu tertentu. Setelah selesai kontrak dan punya anak bisa pergi dengan santai. Tanggung jawab anaknya siapa? Kondisi ini sudah terjadi,” keluhnya.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Tom Dani Garniat mengatakan, payung hukum berbentuk SK Bupati itu nantinya akan mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi tim pengawasan terhadap orang asing di Kabupaten Cianjur.

Aturan ini akan tidak jauh berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 49/2010 dan Permendagri Nomor 50/2010 tentang Pedoman Tata Kerja Tim Pengawasan Orang Asing.

“Nantinya kinerja atau tupoksi tim pengawasan orang asing ini diatur melalui SK bupati yang saat ini drafnya masih disusun. Kami koordinasi dengan berbagai instansi terkait, semisal dari kejaksaan dan aparat kepolisian, termasuk NGO,” ungkapnya.

Tom mengharapkan, terbitnya SK bupati menyangkut tim pengawasan orang asing ini bisa menjadi suatu upaya antisipasi menyusul maraknya kasus warga asing ilegal di berbagai di daerah. Di Kabupaten Cianjur pun, tak menutup kemungkinan banyak warga asing yang belum terdata.

“Apalagi, saat ini di Cianjur sudah mulai banyak berdiri perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mempekerjakan tenaga asing. Tentunya ini harus diawasi agar mereka terdata. Bukan hanya tenaga asing, termasuk juga peneliti maupun turis, karena dikhawatirkan izin tinggal mereka habis,” ucapnya(fq/viva)

Serial kajian tentang takfir muayyan #1: Antara orang kafir asli dan muslim yang melakukan syirik

Salah satu perkara penting yang harus dicamkan sebelum kita membahas permasalahan takfir (mengkafirkan) adalah kesadaran bahwa kaedah-kaedah takfir yang digali oleh para ulama Islam dari dalil-dalil syar’i, sesungguhnya dibuat untuk diterapkan kepada orang yang secara sah telah masuk Islam, kemudian terjatuh dalam ucapan atau perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Adapun orang-orang yang belum pernah secara sah masuk agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, maka kepada mereka tidak diperlukan kaedah-kaedah takfir. Apapun agama dan keyakinannya, selama secara sah belum pernah masuk agama Islam, maka ia dihukumi non muslim dan kafir. Baik ia seorang penganut atheisme, komunisme, animisme, dinamisme, politheisme, Hindu, Budha, Sinto, Majusi, Konghucu, aliran kebatinan, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan lain sebagainya.
Hal ini perlu dicamkan, mengingat sekelompok ulama menyamaratakan antara orang-orang kafir asli dengan orang-orang yang secara sah telah masuk Islam namun terjatuh dalam sebagian ucapan atau perbuatan pembatal keislaman. Menurut sekelompok ulama tersebut, asalkan seorang yang secara sah telah masuk Islam tersebut melakukan syirik akbar, maka ia divonis musyrik. Tanpa mau melihat rincian kondisi orang yang secara sah telah masuk Islam tersebut, jenis pembatal keislaman yang ia lakukan, kondisi waktu dan tempat ia hidup, dan faktor-faktor lain yang melingkupinya.
Sekelompok ulama tersebut berdalil dengan sejumlah ayat Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ para ulama yang berbicara tentang orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk agama Islam. Dalil-dalil tersebut menegaskan orang-orang kafir asli tersebut divonis musyrik, meskipun dakwah rasul atau ilmu kebenaran belum sampai kepada mereka. Mereka lantas membuat analogi; jika orang yang belum sampai kepadanya dakwah saja langsung divonis musyrik saat melakukan syirik akbar, apalagi orang Islam yang melakukan syirik akbar setelah zaman diutusnya Rasulullah SAW dan diturunkannya Al-Qur’an?
Di antara dalil yang mereka sebutkan adalah:
(1) Firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلَادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ لِيُرْدُوهُمْ وَلِيَلْبِسُوا عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (137)
Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am [6]: 137)
(2) Firman Allah SWT:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (6)
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 6)
(3) Firman Allah SWT:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113)
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah [9]: 113)
(4) Firman Allah SWT:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (1)
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al-Bayyinah [98]: 1)
(5) Firman Allah SWT:
وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُونَ (24)
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu setan menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. (QS. An-Naml [27]: 24)
وَصَدَّهَا مَا كَانَتْ تَعْبُدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنَّهَا كَانَتْ مِنْ قَوْمٍ كَافِرِينَ (43)
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. (QS. An-Naml [27]: 43)
(6) Firman Allah SWT:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS. Yusuf [12]: 39-40)
(7). Ayat dan hadits yang menyebutkan Ahlul Kitab melakukan syirik sekalipun hujah belum sampai kepada mereka. Allah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
”Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan pembuat aturan hukum) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Dalam hadits shahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Adi bin Hatim yang saat itu beragama Nasrani datang kepada Nabi SAW. Ia mendengar Nabi SAW membaca ayat ini, maka ia membantah, “Kami tidak beribadah kepada para pendeta dan ahli ibadah kami.”
Nabi SAW balik bertanya, “Bukankah para pendeta dan ahli ibadah kalian mengharamkan hal yang Allah halalkan maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya; dan mereka menghalalkan hal yang Allah haramkan maka kalian ikut-ikutan menghalalkannya?”
Adi bin Hatim menjawab, “Ya, begitu.” Beliau SAW bersabda, “Itulah bentuk ibadah kepada para pendeta dan ahli ibadah.” (HR. Ath-Thabari, Tirmidzi, Al-Baghawi dan lainnya)
(8) Ijma’ ulama. Syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Bahkan ahlul fatrah yang belum sampai kepada mereka risalah (dakwah rasul) dan Al-Qur’an serta meninggal di atas kejahiliyahan tidaklah disebut kaum muslimin menurut ijma’ dan tidak dimintakan ampunan Allah untuk mereka. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang apakah mereka diazab di akhirat?”(Aqidatul Muwahhidin war Raddu ‘ala adh-Dhullal wal Mubtadi’in, hlm. 171 karya Abdullah bin Sa’di al-Ghamidi al-Abdali)
***
Jika kita cermati ayat-ayat, hadits, dan ijma’ yang disebutkan di atas, kita mendapati semuanya berkenaan dengan orang-orang kafir asli yang belum pernah secara sah memeluk Islam. Dalam menghukumi mereka secara lahiriah sebagai orang-orang kafir, kita tidak perlu membahas penghalang-penghalang pengkafiran seperti kebodohan (al-jahl), ketiadaan maksud (al-khahta’), kekeliruan memahami dalil (at-ta’wil), atau ijtihad. Kekafiran mereka telah disepakati dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih telah menegaskan keimanan dan keislaman setiap hamba yang mengimani secara global rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima. Yaitu seorang hamba yang mengucapkan dua kalimat syahadat, meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang berhak disembah, meyakini tidak ada tuhan selain-Nya yang berhak disembah, meyakini Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul, mengimani Al-Qur’an dan kitab-kitab suci terdahulu, mengimani pada nabi dan rasul, mengimani hari akhir, mengimani takdir, melaksanakan ibadah hati secara global (takut kepada Allah, cinta kepada Allah, berharap kepada Allah, sabar, syukur, ridha kepada takdirnya, dan lain-lain), melakukan ibadah lisan secara global (membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdoa, mengucapkan perkataan yang baik dan lain-lain), dan mengamalkan ibadah anggota badan secara global (melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, zakat, haji, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, dan lain-lain).
Dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang hal itu antara lain adalah:
(1) Firman Allah SWT:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Baqarah [2]: 3-5)
 (2) Firman Allah SWT:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…”  (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
(3) Firman Allah SWT:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285)
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah [2]: 285)
(4) Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136)
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 136)
 (5) Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (152)
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 152)
(6) Firman Allah SWT:
هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (3)
Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (QS. An-Naml [27]: 152)

Dalil-dalil dari hadits shahih antara lain adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " «بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ» "
(7) Dari Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Islam dibangun di atas lima dasar; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8, Muslim no. 21, Tirmidzi no. 2609, dan An-Nasai no. 5001)
حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا»، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ، وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»، قَالَ: صَدَقْتَ،،
(8) Dari Umar RA berkata, “Pada suatu hari kami tengah duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak tanda bekas perjalanan jauh pada dirinya, dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Laki-laki itu duduk di hadapan Nabi SAW, merapatkan kedua lututnya kepada kedua lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua paha beliau.
Laki-laki itu berkata, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika engkau memiliki kemampuan.” Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.” Umar berkata, “Maka kami heran kepadanya. Sebab dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan jawabannya.”
Laki-laki itu berkata lagi, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Iman!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik maupun buruk.” Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim no. 8, Abu Daud no. 4695, dan An-Nasai no. 4990)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ، فَيَسْأَلَهُ، وَنَحْنُ نَسْمَعُ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ؟ قَالَ: «اللهُ»، قَالَ: فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ، وَخَلَقَ الْأَرْضَ، وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا، وَلَيْلَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ، آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا، قَالَ: «صَدَقَ»، قَالَ: ثُمَّ وَلَّى، قَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ»
(9) Dari Anas bin Malik RA berkata, “Kami dilarang menanyakan sesuatu perkara pun kepada Rasulullah SAW, sehingga kami senang apabila ada seorang Arab badui yang cerdas datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW dan kami bisa mendengarkannya. Pada suatu hari seorang Arab badui datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami dan memberitahukan kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu.” Rasulullah SAW menjawab, “Benar begitu.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menciptakan langit?” Beliau menjawab, “Allah.” Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?” Beliau menjawab, “Allah.” Laki-laki badui itu bertanya, “Siapakah yang menancapkan gunung-gunung dengan segala isinya?” Beliau menjawab, “Allah.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah menciptakan langit, bumi, dan menegakkan gunung-gunung. Benarkah Allah telah mengutusmu?” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa kami wajib melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari-semalam?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa ada kewajiban zakat dalam harta kami?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami bahwa dalam setahun, kami wajib melaksanakan shaum Ramadhan?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu bertanya, “Utusanmu memberitahukan kepada kami wajib melaksanakan haji ke baitullah jika memiliki kemampuan?” Beliau menjawab, “Benar.” Laki-laki badui itu bertanya, “Demi Allah Yang telah mengutusmu, benarkah Allah memerintahkanmu untuk melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Benar.”
Laki-laki badui itu kemudian berpaling dan berkata, “Demi Allah Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahi dari hal-hal itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka beliau bersabda, ”Jika ia berkata jujur, sungguh ia benar-benar akan masuk surga.”
(HR. Muslim no. 10 dan Tirmidzi no. 619)
Imam Bukhari meriwayatkannya dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ، فَأَنَاخَهُ فِي المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ، فَقُلْنَا: هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ المُتَّكِئُ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «قَدْ أَجَبْتُكَ». فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي المَسْأَلَةِ، فَلاَ تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ؟ فَقَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ» فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ كُلِّهِمْ؟ فَقَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ». فَقَالَ الرَّجُلُ: آمَنْتُ بِمَا جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ
Dari Anas bin Malik RA berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di dalam masjid, tiba-tiba seorang laki-laki datang dengan mengendarai seekor unta. Ia menderumkan untanya dan menambatkannya di tiang masjid. Ia lantas bertanya, “Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?” Saat itu beliau SAW sedang duduk bersandar di tengah kami, maka kami berkata, “Beliau adalah laki-laki berkulit putih yang sedang duduk bersandar ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai cucu Abdul Muthalib.” Beliau SAW menjawab, “Ya, saya jawab panggilanmu.” Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh, apakah engkau tidak akan marah kepadaku?” Beliau menjawab, “Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!”
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu dan Tuhan orang-orang sebelummu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami shalat lima kali sehari-semalam? Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum bulan (Ramadhan) ini dalam satu tahun?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu berkata, “Aku beriman kepada ajaran yang engkau bawa. Aku adalah utusan kaumku, namaku Dhimam bin Tsa’labah, saudara dari marga Sa’ad bin Bakr.” (HR. Bukhari no. 63, Ibnu Majah no. 1402, Ahmad no. 12719, dan lain-lain)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَصْحَابِهِ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ قَالَ: أَيُّكُمُ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ قَالُوا: هَذَا الْأَمْغَرُ الْمُرْتَفِقُ - قَالَ حَمْزَةُ -: الْأَمْغَرُ الْأَبْيَضُ مُشْرَبٌ حُمْرَةً، فَقَالَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشْتَدٌّ عَلَيْكَ فِي الْمَسْأَلَةِ، قَالَ: «سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ»، قَالَ: أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ، وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، وَرَبِّ مَنْ بَعْدَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تُصَلِّيَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ أَمْوَالِ أَغْنِيَائِنَا فَتَرُدَّهُ عَلَى فُقَرَائِنَا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَصُومَ هَذَا الشَّهْرَ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ يَحُجَّ هَذَا الْبَيْتَ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا؟ قَالَ: «اللَّهُمَّ نَعَمْ»، قَالَ: فَإِنِّي آمَنْتُ وَصَدَّقْتُ وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ ثَعْلَبَةَ
(10) Dari Abu Hurairah RA berkata, “Ketika Nabi SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui sambil bertanya, “Siapakah di antara kalian cucu Abdul Muthalib?” Mereka menjawab, “Inilah dia, orang yang berkulit kuning kemerah-merahan dan berbadan tegap ini.” Laki-laki itu berkata, “Aku akan bertanya kepadamu dengan sungguh-sungguh.” Beliau menjawab, “Tanyakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!”
Laki-laki itu bertanya kepada beliau, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Tuhanmu, Tuhan orang-orang sebelummu dan Tuhan orang-orang sesudahmu. Apakah Allah telah mengutusmu kepada semua manusia?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu melaksanakan shalat lima kali sehari-semalam?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau mengambil sedekah (zakat) ini dari kalangan orang-orang kaya di antara kami untuk engkau bagi-bagikan di antara orang-orang miskin di tengah kami?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu agar kami melaksanakan shaum satu bulan (Ramadhan) ini dari jumlah dua belas bulan (dalam satu tahun)?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu bertanya lagi, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Allah telah memerintahkan agar orang yang mampu menunaikan haji ke baitullah?” Beliau menjawab, “Demi Allah, benar.”
Laki-laki itu berkata, “Aku beriman kepadamu dan aku membenarkan. Aku adalah Dhimam bin Tsa’labah.” (HR. An-Nasai no. 2094 dengan sanad yang kuat)
عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِأَرْبَعٍ: حَتَّى يَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ، بَعَثَنِي بِالْحَقِّ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَحَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ "
(11) Dari Ali bin Abi Thalib RA dari Nabi SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan beriman sehingga ia mengimani empat perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, Allah mengutusku dengan kebenaran; mengimani kebangkitan setelah kematian dan mengimani takdir.” (HR. Tirmidzi no. 2145, Ibnu Majah no. 81, Ahmad no. 758 dan Al-Hakim no. 92, sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Tirmidzi, Ahmad, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi)
عَنِ الشَّرِيدِ، أَنَّ أُمَّهُ أَوْصَتْ أَنْ يُعْتِقُوا عَنْهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: عِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ نُوبِيَّةٌ، فَأُعْتِقُهَا عَنْهَا؟ فَقَالَ: " ائْتِ بِهَا ". فَدَعَوْتُهَا، فَجَاءَتْ، فَقَالَ لَهَا: " مَنْ رَبُّكِ؟ " قَالَتْ: اللهُ، قَالَ: " مَنْ أَنَا؟ " قَالَتْ: رَسُولُ اللهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
(12) Dari Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi RA bahwasanya ibunya berwasiat agar (anak-anaknya) memerdekakan seorang budak mukminah atas namanya. Syarid bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, dan ia berkata, “Saya memiliki seorang budak wanita berkulit hitam legam. Apakah aku bisa memerdekakannya atas nama ibuku?” Beliau SAW bersabda, “Bawalah budak itu kepadaku!” Syarid berkata: “Aku pun memanggil budakku, maka ia datang.” Beliau SAW bertanya kepada budak perempuan itu, “Siapa Rabbmu?” Ia menjawab, “Allah.” Beliau SAW bertanya lagi kepada budak perempuan itu, “Siapa saya ini?” Ia menjawab, “Rasulullah.” Maka beliau SAW bersabda, “Merdekakanlah budak ini, karena ia adalah seorang budak perempuan mukminah.” (HR. Abu Daud no. 3283, Ahmad no. 17945 dan 19466, Ad-Darimi no. 2393, An-Nasai, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dengan sanad hasan. Hadits yang semakna diriwayatkan juga dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA oleh Muslim, Abu Daud dan An-Nasai. Hadits yangs semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah RA oleh Abu Daud dan Ahmad).
Dalil dari ijma’:
(13) Imam Abu Bakar bin Mundzir berkata:
أجمع كل من أحفظ عنه من أهل العلم على أن الكافر إذ قال: أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، وأن كل ما جاء به محمد حق، وأبرأ إلى الله من كل دين يخالف دين الإسلام - وهو بالغ صحيح يعقل - أنه مسلم، فإن رجع بعد ذلك فأظهر الكفر كان مرتداً، يجب عليه ما يجب على المرتد.
“Seluruh ulama yang saya ketahui telah bersepakat bahwa seorang kafir jika mengucapkan asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, ia bersaksi bahwa setiap ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah kebenaran, dan ia berlepas diri kepada Allah dari setiap agama yang menyelisihi agama Islam, sedangkan ia adalah seorang yang telah berusia baligh dan berakal sehat, maka ia berstatus MUSLIM. Jika ia kembali setelah itu dengan melakukan kekafiran secara terang-terangan, maka ia berstatus murtad, wajib diperlakukan atasnya hukuman atas orang murtad.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/7 karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
(14) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وهذا مما اتفق عليه أئمة الدين، وعلماء المسلمين، فإنهم مجمعون على ما علم بالاضطرار من دين الرسول، أن كل كافر فإنه يدعى إلى الشهادتين، سواء كان معطلاً، أو مشركاً، أو كتابياً، وبذلك يصير الكافر مسلماً، ولا يصير مسلماً بدون ذلك.
Hal ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh para imam dien dan ulama kaum muslimin, karena mereka semua telah bersepakat bahwa termasuk perkara yang ma’lum min dien ar-rasul bidh-dharurah (perkara yang telah pasti menjadi bagian agama Islam, perkara yang telah diketahui oleh semua muslim, baik kalangan ulama maupun orang awam, sebagai ajaran Islam—pent) bahwa setiap orang kafir mesti diajak kepada dua kalimat syahadat, baik ia seorang atheis, musyrik, maupun ahli kitab. Dengan dua kalimat syahadat itulah seorang kafir menjadi seorang muslim, dan tanpanya ia tidak akan menjadi seorang muslim.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/7)
Beliau juga berkata:
واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً، لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa seorang anak kecil jika mencapai usia baligh (dewasa) sebagai seorang muslim, maka ia tidak wajib memperbaharui (mengulangi) pengucapan dua kalimat syahadat setelah usia baligh.” (Dar’u Ta’arudh al-Aql wan Naql, 8/8)
(15) Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلماً، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال: لا إله إلا الله، لما رفع عليه السيفَ، واشتدَّ نكيرُه عليه
Sudah termasuk perkara yang ma’lum min ad-dien bidh-dharurah bahwa Nabi SAW menerima dua kalimat syahadat semata dari setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam, melindungi darahnya (nyawanya) dengan dua kalimat syahadat tersebut dan menjadikannya sebagai seorang muslim. Beliau SAW mengingkari Usamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah saat Usamah mengangkat pedang ke arahnya, dan pengingkaran beliau SAW kepadanya sangat keras. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/239)
***
Dari dalil-dalil Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ di atas nampak jelas bahwa menyamakan begitu saja status seorang muslim yang terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik karena faktor kebodohan (al-jahl) atau ketiadaan maksud (al-khatha’ = intifa’ al-qasd), atau salah memahami dalil syar’i (at-ta’wil) dengan status kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah atau orang-orang kafir asli lainnya tidaklah tepat.
Sebagian ulama yang menyamakan status keduanya berargumen, kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah bukanlah orang kafir asli. Mereka juga berstatus muslim, karena mereka adalah anak-keturunan nabi Ibrahim dan Ismail AS dan mengklaim mengamalkan ajaran nabi Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap divonis musyrik walau belum sampai hujah kepada mereka, dan meskipun mereka masih mengamalkan sebagian syariat nabi Ibrahim seperti haji, umrah, thawaf, menyembelih korban, dan lain-lain.
Argumen sebagian ulama tersebut tidak lain adalah sebuah qiyas (analogi) yang keliru dan tidak tepat, karena menyelisihi dalil-dalil syar’i. Antara seorang muslim yang memiliki komitmen global dengan Islam dan iman namun terjatuh dalam sebagian rincian tauhid-syirik, dengan orang-orang musyrik Arab zaman jahiliyah terdapat perbedaan-perbedaan yang pokok dan mendasar. Perbedaan tersebut sudah termasuk pokok tauhid, bukan lagi rincian tauhid. Di antaranya perbedaan pokok dan mendasar tersebut adalah:
(1) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Mereka meyakini ada Tuhan-Tuhan lain selain Allah yang juga memiliki hak untuk disembah. Dalilnya antara lain adalah firman Allah: 
{إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35)}
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. Ash-Shafat [37]: 35)
{أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) }
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS. Shad [38]: 5)

(2) Orang-orang musyrik zaman jahiliyah secara sadar meyakini bahwa Allah bukanlah Tuhan Yang Maha Esa. Mereka meyakini bahwa Allah seperti makhluk, memiliki anak dan istri. Mereka bahkan meyakini bahwa Allah memiliki banyak anak perempuan. Dalilnya antara lain adalah firman Allah:
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ (57) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl [16]: 57-59)
 أَفَأَصْفَاكُمْ رَبُّكُمْ بِالْبَنِينَ وَاتَّخَذَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ إِنَاثًا إِنَّكُمْ لَتَقُولُونَ قَوْلًا عَظِيمًا
Maka apakah patut Rabb kalian memilihkan bagi kalian anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat?  Sesungguhnya kalian benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosa syiriknya). (QS. Al-Isra’ [17]: 40)
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak."
Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (QS. Maryam [19]: 88-93)
 فَاسْتَفْتِهِمْ أَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُونَ (149) أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ (150) أَلَا إِنَّهُمْ مِنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ (151) وَلَدَ اللَّهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (152) أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ (153) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (154)
Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka: "Apakah untuk Rabbmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: "Allah beranak." Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. Apakah Rabba memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi pada kalian? Bagaimana (caranya) kalian menetapkan? (QS. Ash-Shafat [37]: 149-154)
 {وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ (15) أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (18) وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)}
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kalian anak-anak laki-laki? Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira (lahirnya bayi perempuan, pent) dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan memakai perhiasan (anak perempuan, pent) sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Dan mereka berkata: "Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)." Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (QS. Az-Zukhruf [43]: 15-20)
 أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ
Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kalian anak-anak laki-laki? (QS. Ath-Thur [52]: 39)
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al- Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. (QS. An-Najm [53]: 19-23)
 {إِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى}
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. (QS. An-Najm [53]: 27)
Allah memperingatkan konskuensi dari keyakinan syirik mereka tersebut dengan firman-Nya,
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 22)
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Sekiranya ada tuhan beserta-Nya, niscaya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian tuhanyang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al-Mu’minun [23]: 91-92)

 (3) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah meyakini bahwa Allah memiliki istri dari golongan jin. Dari perkawinan Allah dan jin wanita lahirlah anak-anak perempuan yaitu para malaikat. Demikianlah keyakinan kaum musyrik Arab pada zaman jahiliyah. Naudzu billah min dzalik. Dalilnya adalah firman Allah,
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَباً وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. Dan sesungguhnya jin-jin yang jahat mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka). (QS. Ash-Shafat [37]: 158)
Di antara pendapat para ulama sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in tentang makna ayat ini adalah:
  • Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, “Musuh-musuh Allah (kaum musyrikin, pent) meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Iblis adalah dua orang bersaudara.”
  • Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, “Orang-orang Quraisy mengatakan ‘Sesungguhnya Iblis adalah saudara Ar-Rahman’.”
  • Mujahid bin Jabr, Qatadah bin Da’amah as-Sadusi, dan Abdurrahman bin Zaid berkata, “Orang-orang musyrik Quraisy mengatakan ‘Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah’. Maka Abu Bakar ash-Shidiq bertanya kepada mereka, ‘Kalau begitu siapa ibu-ibu mereka?’ Orang-orang musyrik Quraisy menjawab, “Mereka adalah anak-anak perempuan dari jin-jin wanita.”
  • Al-Kalbi berkata, “Orang-orang kafir Quraisy mengatakan ‘Allah menikah dengan jin, maka lahirlah para malaikat’.”
  • Athiyah Al-Aufi berkata, “Mereka (orang-orang musyrik, pent) mengatakan ‘Allah menikah dengan wanita mulia dari bangsa jin.” (Lihat: Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an (Tafsir ath-Thabari) 21/120-121; Tafsir Ibnu Abi Hatim, 10/3231; Bahrul ‘Ulum (Tafsir as-Samarqandi), 3/154; Tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), 5/71; Ma’alim at-Tanzil (Tafsir al-Baghawi), 7/63; dan Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), 7/42)
(4) Orang-orang musyrik Arab pada zaman jahiliyah secara sadar mengakui bahwa Allah memiliki sekutu-sekutu, meskipun sekutu-sekutu tersebut tidak memiliki kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Allah yang mutlak. Di antara dalilnya adalah hadits shahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَيْلَكُمْ، قَدْ قَدْ» فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ، يَقُولُونَ هَذَا وَهُمْ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, “Orang-orang musyrik (pada saat haji atau umrah, pent) mengumandangkan talbiyah: Labbaika laa syariika laka (Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).” Maka Rasulullah SAW berkomentar, “Celaka kalian, sudah cukup begitu saja, sudah cukup begitu saja!” Namun orang-orang musyrik melanjutkan talbiyah mereka dengan mengucapkan: illa syarikan huwa laka, tamlikuhu wa maa malaka (kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa). Mereka mengumandangkan talbiyah ini sambil berthawaf mengelilingi Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)
Talbiyah syirik ini telah mereka lakukan sejak zaman jahiliyah sebelum Rasulullah SAW dilahirkan dan diutus kepada mereka. Sebagaimana ditegaskan oleh hadits shahih,
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ بَعْدَ إِسْمَاعِيلَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَكَانَ الشَّيْطَانُ يُحَدِّثُ النَّاسَ بِالشَّيْءِ يُرِيدُ أَنْ يَرُدَّهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ حَتَّى أَدْخَلَ عَلَيْهِمْ فِي التَّلْبِيَةِ:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ... لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
إِلَّا شَرِيكٌ هُوَ لَكَ ... تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
قَالَ: فَمَا زَالَ حَتَّى أَخْرَجَهُمْ عَنِ الْإِسْلَامِ إِلَى الشِّرْكِ.
Dari Anas bin Malik RA berkata: “Masyarakat sepeninggal nabi Ismail berada dalam agama Islam. Maka setan datang kepada masyarakat membisikkan kepada mereka suatu hal dengan tujuan mengeluarkan mereka dari Islam. Sampai akhirnya setan berhasil memasukkan ucapan (syirik) dalam talbiyah mereka:
Labbaika Allahumma labbaika
Labbaika laa syariika laka
illa syarikan huwa laka
tamlikuhu wa maa malaka
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu,
aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu
kecuali sekutu yang Engkau miliki
Engkau berkuasa dan sekutu-Mu itu tidak berkuasa)
Setan senantiasa mengajarkan hal itu kepada mereka sehingga akhirnya ia bisa mengeluarkan mereka dari Islam kepada kesyirikan.
(HR. Al-Bazzar. Al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid wa Mamba’ al-Fawaid, 3/223, mengatakan: Para perawinya adalah para perawi kitab Ash-Shahih).

Para pakar sejarah telah sepakat meriwayatkan talbiyah syirik ini telah dilakukan oleh bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Imam As-Suhaili dan pakar sejarah lainnya menegaskan bahwa talbiyah syirik ini pertama kali dilakukan oleh Amru bin Luhay al-Khuza’i, pemimpin Makah dari suku Khuza’ah. Pakar sejarah imam Ibnu Ishaq menegaskan talbiyah ini diucapkan oleh suku Kinanah dan Quraisy. (Al-Bidayah wan Nihayah, 3/188 karya Ibnu Katsir)
***
Orang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam seperti ini telah menyandang nama muslim dan mukmin. Terlebih jika ia lahir dari keluarga muslim dan memasuki usia baligh sebagai seorang yang memiliki komitmen global kepada rukun iman dan rukun Islam. Maka secara nama, ia menyandang status muslim dan mukmin.
Persoalan timbul ketika ia melakukan syirik akbar atau kufur akbar pada perkara yang sifatnya perincian tauhid dan iman, bukan pokok tauhid dan iman. Pokok tauhid misalnya rukun iman yang enam dan dua rukun Islam pertama (dua kalimat syahadat dan shalat wajib lima waktu). Contoh dari cabang perincian tauhid misalnya, tatacara berdoa kepada Allah; bolehkah dengan perantaraan kemuliaan Nabi SAW dan orang shalih? Contoh lainnya adalah salah satu sifat Allah; al-hukmu (memutuskan hukum dan perundang-undangan).
Apakah ia langsung divonis musyrik tanpa meneliti faktor syarat-syarat pengkafiran dan mawani’ takfir (penghalang-penghalang pengkafiran)? Ataukah ia tidak divonis musyrik karena telah memiliki nama muslim dan mukmin, sehingga yang dilakukan terhadapnya adalah penelitian ada atau tidaknya syarat-syarat pengkafiran dan penghalang-penghalang pengkafiran; jika syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalang pengkafiran tidak ada, maka ia divonis kafir/murtad?
Hal inilah yang insya Allah akan kita bahas pada kajian selanjutnya. Wallahu a’lam bish-shawab
Bersambung, insya Allah….
Sesungguhnya sejarah Islam tidaklah ditulis melainkan dengan darah para syuhada, dengan kisah para syuhada dan dengan teladan para syuhada” (Syekh Abdullah Azzam)