Berikut ini beberapa kritikan
terhadap pemikiran dan ilmu Habib Munzir tentang ilmu hadits.
PERTAMA : Habib Munzir berkata ;
"Sebagian besar hadits dhoif
adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan
berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai
hadits munkar, atau mardud, batil". (Kenalilah Akidahmu 2 hal 13)
SANGGAHAN
Istilah hadits mardud dan hadits munkar bukanlah istilah yang digunakan
oleh para ahli hadits untuk mengungkapkan hadits palsu.
Hadits Mardud : adalah hadits yang
tertolak untuk diamalkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar
al-'Asqolaaniy. Setelah menyebutkan tentang hadits maqbul yaitu hadits-hadits
yang bisa dijadikan hujah dan diterima, Ibnu Hajar berkata :
"Kemudian al-Marduud, dan penyebab tertolaknya karena ada yang terjatuh
dari sanad atau karena celaan terhadap perawi dengan berbagai model sisi
pencelaan, dan pencelaan tersebut lebih umum dari sekedar celaan yang
dikarenankan diin sang perawi atau kredibilitas hapalannya" (Nuzhatun
Nadzor syarh Nukhbah Al-Fikar hal 80)
Tatkala menjelaskan perkataan Ibnu
Hajar dalam Nukhbatul Fikar, Abdullah bin Husain Khoothir berkata :
"Perkataan Ibnu Hajr al-'Asqolaaniy "Kemudian al-Marduud dst",
telah lalu bahwasanya hadits maqbuul adalah hadits yang diamalkan, dan ada
empat macam; (1) shahih li dzaatihi, yaitu kuat dhobit nya dan tersambung
sanadnya, atau (2) shahih lighoirihi, yaitu lemah dhobit nya, dan dia adalah
(3) hasan li dzaatihi, dan jika hasannya karena banyaknya jalan-jalannya maka
dia adalah (4) hasan lighoirihi.
Perkataan Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy
"Dan penyebab tertolaknya" yaitu penyebab yang
menyebabkan konsekuensi dari hadits mardud yaitu haram untuk diamalkan"
(Haasyiah Luqoth Ad-Duror hal 71)
Dari sini jelas bahwa Habib Munzir
telah keliru tatkala menyebutkan bahwa diantara nama-nama hadits palsu adalah
hadits marduud
Hadits Munkar : Yaitu periwayatan perawi yang dhoif yang menyelisihi
periwayatan para perawi yang tsiqoh. Adapun hadits Syaadz adalah periwayatan
perawai yang tsiqoh yang menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqoh
darinya. Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy berkata ;
"Dengan demikian jelas bahwasanya antara hadits Syaadz dan hadits Munkar
ada keumuman dan kekhususan dari satu sisi, karena keduanya bersepakat pada
sisi adanya penyelisihan dan keduanya berbeda dari sisi bawhasanya hadits
Syaadz adalah periwayatan peerawi yang tsiqoh atau shoduuq, dan hadits munkar
adalah periwayatan perawi yang dhoiif. Dan telah lalai orang yang menyamakan
antara keduanya, wallahu a'lam" (Nuzhatun Nador hal 73)
Bahkan sebagian ulama hadits
–seperti Imam Ahmad bin Hanbal- menamakan periwayatan perawi yang tsiqoh yang
bersendirian dalam periwayatannya sebagai hadits yang munkar, tanpa memandang
apakah perawi terebut menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya ataukah
tidak menyelisihi (lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Hadyus Saary hal 392).
KEDUA :
Habib Munzir berkata, "Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua
hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif
karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan
tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh
seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul
saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa
yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap - siap
mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas
nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap
siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah
anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif
berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan
ucapan Rasul saw"
SANGGAHAN
Sungguh tidak ada seorangpun -yang mengerti sedikit saja ilmu hadits- lantas
mengatakan bahwa semua hadits dhoif adalah hadits palsu. Bahkan banyak ahli
hadits yang menyatakan bahwa hadits palsu tidak boleh dimasukkan dalam
klasifikasi hadits dhoif, karena hadits palsu bukanlah hadits.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pernyataan Habib Munzir "mereka
yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang
sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw".
Padahal Habib Munzir telah menjelaskan sebelumnya bahwa mendustakan ucapan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kekufuran.
Apakah Habib Munzir tidak tahu
bahwasanya banyak para ulama yang menyatakan tidak boleh mengamalkan hadits
dhoif secara mutlak??
Diantara para ulama tersebut adalah
:
Pertama ; Yahya bin
Ma'iin. Ibnu Sayyid An-Naas menjelaskan dalam bukunya 'Uyyunul Atsar bahwasanya
sebagian ulama –seperti Imam Ahmad- memberi rukhsoh/keringanan untuk
meriwayatkan hadits-hadits dhoif tentang sejarah, nasab, kondisi Arab, dan
lain-lain yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum (halal dan haram). Lalu beliau
menyebutkan bahwasanya diantara para ulama yang tidak memberi keringanan sama
sekali adalah Yahya bin Ma'iin. Ibnu Sayyid An-Naas berkata:
"Dan diantara yang diriwayatkan darinya penyamaan tentang hal ini
antara hukum-hukum dan yang lainnya (*yaitu tentang sejarah dan peperangan)
adalah Yahyaa bin Ma'iin" ('Uyuunul Atsar fi Funuun Al-Maghoozi wa
as-Syamaail wa as-Siyar 1/65)
Kedua : Imam Muslim, beliau berkata di muqoddimah shahih Muslim :
"Kemudian daripada itu –semoga Allah merahmatimu-, Maka kalau bukan
karena yang kami lihat dari buruknya sikap banyak orang yang menyatakan dirinya
sebagai muhaddits pada perkara yang mengharuskan mereka untuk membuang
hadits-hadits dhoif dan riwayat-riwayat munkar, dan membiarkan mereka untuk
mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih yang masyhuur yang telah
diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoot yang dikenal dengan kejujuran dan
amanah…" (Shahih Muslim 1/6 pada muqoddimah)
Imam Muslim juga berkata:
"Ketahuilah –semoga Allah memberi taufiiq kepadamu- sesungguhnya yang
wajib bagi setiap orang yang mampu membedakan antara riwayat-riwayat yang
shahih dengan riwayat-riwayat yang lemah, juga membedakan antara para tsiqoot
yang menukil riwayat-riwayat dengan orang-orang yang tertuduh (*tidak tsiqoot)
agar tidak meriwayatkan kecuali dari riwayat yang ia tahu shahihnya jalan-jalan
sanadnya dan ketsiqohan para perawinya, dan agar ia menjauhi riwayat-riwayat
yang diriwayatkan oleh para perawi yang tertuduh dan para penentang dari
kalangan ahlul bid'ah" (Shahih Muslim 1/6 pada muqoddimah)
Ibnu Rojab berkata :
"Dzohir dari apa yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam muqoddimah
kitabnya (*Kitab Shahih Muslim) menkonsekuensikan bahwasanya tidaklah
diriwayatkan hadits-hadits tentang targhiib wa tarhiib (*tentang fadhooil
al-a'maal) kecuali dari para perawi yang diriwayatkan dari mereka ahkaam
(*tentang halal dan haram)" (Syarh 'Ilal At-Thirimidzi 1/74)
Ketiga : Abu Zur'ah Ar-Roozi
Keempat : Abu Haatim Ar-Roozi
Kelima : Ibnu Abi Haatim, beliau berkata :
"Aku mendengar Ayahku (*yaitu Abu Haatim Ar-Roozi) dan Abu Zur'ah
mereka berdua berkata ; "Hadits-hadits mursal tidak dijadikan hujah, dan
tidaklah tegak hujah kecuali dengan sanad-sanad yang shahih yang muttasil
(bersambung)", demikian pula pendapatku" (Al-Maroosiil li Ibni
Abi Haatim hal 7)
Keenam : Ibnu Hibbaan, beliau berkata
"Dan seorang perawi jika tidak ada seorang perawi yang tsiqoh yang
meriwayatkan darinya maka ia adalah majhuul, tidak boleh berhujah dengannya,
karena riwayat perawi yang dhoif tidak mengeluarkan seorang yang tidak 'adl
dari barisan para perawi majhuul kepada barisan para perawi yang 'adl. Seakan-akan
apa yang diriwayatkan oleh parawi yang dhoif dengan apa yang tidak
diriwayatkannya hukumnya sama saja" (Al-Majruuhiin 1/327-328)
Dan dipahami dari perkataan Ibnu Hibbaan ini bahwasanya beliau menganggap
periwayatan perawi yang dhoif sama hukumnya seperti tidak ada, sehingga tidak
bisa dijadikan hujjah. Wallahu a'lam
Ketujuh : Abu Sulaimaan Al-Khottoobi (wafat tahun 388 H)
Beliau rahimahullah telah mencela para fuqohaa (ahli fikih) yang tidak
membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dhoif. Beliau berkata :
"Adapun tingkatan yang lain mereka adalah para ahli fikih, sesungguhnya
mayoritas mereka tidak menyinggung hadits kecuali sangatlah sedikit, dan
hampir-hampir mereka tidak membedakan antara hadits shahih dengan hadits
dho'if, dan mereka tidak mengetahui mana hadits yang baik dengan hadits hadits
yang buruk, dan mereka tidak perduli untuk berhujah dengan hadits dhoif yang sampai
kepada mereka –untuk mengalahkan musuh mereka- jika hadits dhoif tersebut
sesuai dengan madzhab yang mereka anut dan sesuai dengan pendapat-pendapat yang
mereka yakini. Mereka telah membuat kesepakatan diantara mereka untuk menerima
hadits dhoif dan hadits munqoti' (*terputus sanadnya) jika hadits tersebut
sudah masyhuur di sisi mereka dan sering diucapkan oleh lisan-lisan di antara
mereka, tanpa mengecek dulu atau tanpa keyakinan ilmu tentang hadits
tersebut" (Ma'aalim As-Sunan 1/3-4)
Kedelapan : Ibnu Hazm (wafat 456 H)
Tatkala beliau membantah ahlul kitab, beliau berkata tentang cara kaum muslimin
dalam penukilan khabar :
"Khobar yang dinukil –sebagaimana kami sebutkan-, yaitu dengan
penukilan penduduk timur dan barat, atau penukilan banyak orang dari banyak
orang, atau penukilan perawi tsiqoh dari perawi tsiqoh hingga sampai kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kecuali jika di sanadnya ada seorang perawi
yang majruuh (tercela) pendusta atau perawi yang lalai atau perawi yang majhuul
al-haal, maka penukilan seperti ini dijadikan hujah oleh sebagian kaum
muslimin. Dan tidak halal di sisi kami berpendapat dengan penukilan seperti ini
dan membenarkannya, dan tidak halal mengambil sedikitpun dari penukilan seperti
ini" (Al-Fishol fi al-milal wa al-Ahwaa wa an-Nihal 2/222)
Kesembilan : Abu Syaamah Al-Maqdisi As-Syafi'i (wafat
tahun 665 H)
Beliau mengingkari Al-Haafiz Abul Qoosim Ibnu 'Asaakir yang membawakan hadits "Barangsiapa
yang berpuasa pada tanggal 27 Rojab maka Allah akan mencatat baginya puasa
selama 60 bulan", beliau berkata :
"Aku sangat berharap kalau Al-Haafiz (*Ibnu 'Assakir) tidak mengatakan
demikian, karena pada perkataannya tersebut terdapat penetapan hadits-hadits
yang munkar. Sesungguhnya kedudukan beliau lebih tinggi dari untuk menyampaikan
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah hadits yang menurutnya
adalah dusta. Akan tetapi beliau dalam hal ini berjalan sesuai kebiasaan
sekelompok ahli hadits dimana mereka bermudah-mudah pada hadits-hadits fadhooil
a'maal. Dan hal ini menurut ahli tahqiiq dari kalangan ahli hadits dan juga
para ulama ushuul dan fiqh merupakan kesalahan. Dan hendaknya ia
menjelaskan perkara (*kelemahan) hadits tersebut jika ia mengetahuinya, kalau
tidak maka ia akan termasuk dalam ancaman pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam : "Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang
menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 72)
Kesepuluh : As-Syaukaaniy (wafat 1250 H)
Beliau mengkritik perkataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa para ulama
bermudah-mudah pada periwayatan hadits dhoif dalam fadhoo'il a'maal, mereka
hanyalah ketat dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.
As-Syaukaaniy berkata ;
"
Sesungguhnya hukum-hukum syari'at
sama saja (*baik masalah hukum maupun masalah fadhooil a'maal), tidak ada
perbedaan diantaranya, maka tidak halal menetapkan suatu hukum dari hukum-hukum
syari'at kecuali dengan dalil yang bisa dijadikan hujjah. Jika tidak maka ini
merupakan bentuk pengada-ngadaan apa yang tidak dikatakan oleh Allah, dan
hukuman perbuatan ini sudah jelas" (Al-Fawaaid Al-Majmuu'ah hal 254)
Kesebelas : Sidhiiq Hasan Khoon
Beliau berkata :
"Dan yang benar yang tidak ada
pilihan selainnya bahwasanya hukum-hukum syari'at sama saja, maka tidak boleh
beramal dengan suatu hadits hingga hadits tersebut shahih atau hasan lidzaatihi
atau hasan lighoirihi atau dhoifnya terangkat hingga naik menjadi hasan
lidzaatihi atau lighoirihi" (Nuzul Al-Abroor bi al-'Ilm al-Ma'tsuur min
al-Ad'iyah wa al-Adzkaar hal 7-8)
Apakah para ulama ini menurut Habib Munzir telah mendustakan hadits-hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam?? Lantas apakah selanjutnya mereka dihukum kafir
oleh Habib Munzir..??!!. Saya sampai bingung menghadapi vonis-vonis nekat dari
Habib Munzir. Membedakan antara mayat dan orang hidup dikatakan kufur dan
kesyirikan yang nyata?? (lihat kembali), menolak mengamalkan hadits-hadits
dhoif dikatakan mendustakan ucapan Nabi dan merupakan kekufuran??!!
Apakah ada satu saja ulama…atau satu saja ustadz yang berpendidikan yang
berpendapat seperti pendapat Habib Munzir ini bahwasanya menolak mengamalkan
seluruh hadits dhoif melazimkan mendustakan ucapan Nabi??? Yang hal ini
merupakan kekufuran??. Bukankah Habib Munzir memiliki sanad hingga Imam
As-Syafii, bahkan hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas apakah ada
para ulama yang sanad Habib Munzir sampai kepada mereka yang berpendapat
seperti Habib Munzir ini??!!!!
Permasalahan mengamalkan hadits dhoif dalam fadhooil a'maal merupakan
permasalah khilafiyah diantara para ulama. Hal ini telah dijelaskan oleh
As-Sakhoowiy dalam kitabnya Al-Qoul Al-Badii' fi as-Sholaat 'alaa al-Habiib
As-Syafii' hal 363-366). Mayoritas Ulama membolehkan untuk mengamalkan
hadits-hadits dho'iif dalam fadhooil a'maal dan untuk at-targhiib wa at-tarhiib
(bukan dalam hukum-hukum), akan tetapi mereka memberi persyaratan untuk
mengamalkannya.
Al-Haafizh As-Sakhoowi menyebutkan bahwasanya guru beliau –yaitu Imam Ibnu Hajr
Al-'Asqolaani- memberi 3 persayaratan untuk mengamalkan hadits dhoif.
Beliau berkata :
"Sungguh aku telah berulang kali mendengar guruku (*Ibnu Hajar
al-'Asqolaaniy) berkata, -dan ia telah menulis dengan khot (*tulisan tangan)
beliau :
"Sesungguhnya syarat mengamalkan hadits dho'if ada tiga :
Pertama : Persyaratan yang disepakati yaitu kedhoifannya tidak boleh
parah, karenanya tidak termasuk periwayatan bersendirian dari para pendusta dan
para perawi yang tertuduh dusta serta perawi yang parah kesalahannya
Kedua : Amalan yang dilakukan berada di bawah asal (*hukum) yang umum,
karenanya tidak termasuk amalan yang diada-adakan yang tidak memiliki asal
hukum sama sekali
Ketiga : Tatkala mengamalkannya hendaknya ia tidak meyakini shahihnya
hadits tersebut agar ia tidak menyandarkan (menisbahkan) kepada Nabi apa yang
tidak diucapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar berkata : Dua syarat yang terakhir dari Al-'Izz bin Abdis Salaam dan
sahabatnya Ibnu Daqiiq al-'Iid, dan adapun syarat yang pertama maka Al-'Alaai
menukilkan adalah kesepakatan akan syarat ini" (Al-Qoul al-Badii' 363-364)
Keempat : Agar orang yang mengamalkannya tidak menampak-nampakkan amalannya.
Persyaratan ini disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolaaniy dalam kitabnya Tabyiinul
'Ajab Bi Maa Waroda fi Fadhli Rojab. Beliau berkata :
"Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya membawakan hadits dhoif dalam
fadhooil a'maal) hendaknya disyaratkan agar orang yang mengamalkannya
meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia tidak
menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak
mengamalkan hadits dhoif sehingga iapun mensyari'atkan apa yang bukan
syari'at. Atau ada sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan
hadits dhoif) sehingga iapun menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang
shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu Muhammad Ibni Abdis Salaam dan
yang lainnya. Dan hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak termasuk dalam
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; "Barangsiapa yang menyampaikan
dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang
dari para pendusta", maka bagaimana lagi dengan orang yang
mengamalkannya.??
Dan tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits dalam ahkaam
(hukum-hukum) dan dalam fadhooil a'maal, karena semuanya adalah syari'at"
(Tabyiinul 'Ajab hal 11-12)
Maka apakah Habib Munzir dan demikian juga para pengikutnya tatkala mengamalkan
dan menyampaikan hadits-hadits dhoiif sudah menelaah dan mengamalkan
persyaratan-persyaratan yang dipasang oleh Ibnu Hajar di atas??!!
Bahkan dari penjelasan Ibnu Hajar
pada persyaratan yang keempat (dalam kitabnya Tabyiinul 'Ajab) nampak bahwa
beliau condong pada pendapat untuk tidak mengamalkan hadits dhoif sama sekali
baik dalam masalah hukum maupun masalah fadhooil a'maal karena kedua-duanya
merupakan syari'at, dan syari'at tidaklah dibangun di atas hadits yang dhoiif.
KETIGA : Habib Munzir berkata :
"Karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti
mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku
maka hendaknya ia bersiap - siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih
Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas
nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap
siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229)"
SANGGAHAN
Habib Munzir membawakan dua hadist sebagai dalil bahwa mendustakan ucapan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kekufuran.
Para pembaca yang budiman, ini merupakan pendalilan yang tidak pada tempatnya
bahkan pemutarbalikan fakta, hal ini jelas dari dua sisi :
Pertama : Hadits-hadits ini digunakan oleh para ulama untuk
menjelaskan bahayanya orang yang memalsukan hadits dan menyandarkannya kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah riwayat dengan lafal
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang mengatakan atas namaku apa yang tidak aku
ucapkan maka persiapkanlah tempatnya di neraka" (HR Al-Bukhari
no 109)
Maka sangatlah jelas bahwa hadits-hadits ancaman tersebut berkaitan dengan
orang yang menyampaikan suatu perkataan (hadits) yang tidak pernah diucapkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan orang yang
menolak hadits Nabi karena ragu dengan kesahihannya. Menolak hadits
berbeda dengan memalsukan hadits, dan dua hadits di atas yang habib
sebutkan serta hadits yang saya sebutkan berkaitan dengan orang yang memalsukan
hadits.
Karenanya tolong Habib Munzir untuk
menyebutkan siapakah para ulama yang berdalil dengan hadits ini untuk mengancam
orang yang menolak hadits Rasulullah ? dan juga terlebih lagi Ulama siapakah
yang telah berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang yang menolak
seluruh hadits dhoif??!!. Apakah Habib Munzir tidak membaca perkataan para
ulama tentang syarh (penjelasan) isi dalil ini??!!
Kedua : Bahkan sebagian ulama justru berdalil dengan hadits ini untuk
mengancam orang-orang yang menyampaikan hadits-hadits dho'if kemudian
menyatakan bahwa Rasulullah telah menyabdakan hadits-hadits dhoif tersebut,
tanpa menjelaskan kedhoifannya, karena hadits dhoif adalah hanya merupakan
persangkaan yang marjuuh.
Allah telah mencela persangkaan (zhon) yang tidak kuat (marjuh) dalam banyak
ayat, diantaranya : firman Allah
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ
الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran (QS
Yuunus : 36)
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka (QS Al-An'aam :
116)
Al-Qoodhi Abul Mahaasin yusuf bin Muusaa Al-Hanafi berkata dalam kitabnya
"Al-Mu'tashor", pada sub judul ; "Tentang berdusta atas Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam"
"Allah berfirman ((Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka,
Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali dengan
al-haq/yang benar)), dan perkataan dari Rasulullah adalah perkataan atas nama
Allah. Al-Haq pada ayat ini seperti al-Haq dalam firman Allah
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ
Kecuali orang yang menyaksikan dengan al-Haq/kebenaran (QS Az-Zukhruf :
86)
Maka setiap orang yang mempersaksikan dengan zhon (prasangka) maka ia telah
mempersaksikan dengan selain al-Haq, karena zhon tidaklah memberikan kebenaran
sama sekali. Maka demikian pula orang yang menyampaikan sebuah hadits
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan zhon/persangkaan maka ia telah
menyampaikan dari Nabi dengan selain al-Haq, maka hal ini merupakan kebatilan,
dan kebatilan adalah dusta. Maka jadilah ia salah seorang dari para
pendusta atas nama Nabi, dan termasuk orang-orang yang masuk dalam sabda Nabi
((Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiaplah mengambil tempatnya di
neraka)), dan kita berlindung dari hal ini" (Al-Mu'tashor min
al-Mukhtashor min Musykil al-Aatsaar 2/262)
Dan perkataan al-Qoodhi Abul Mahaasin ini merupakan ringkasan dari perkataan
Abu Ja'far At-Thowaawi Al-Hanafi (wafat 321 H) sebagaimana termaktub dalam
kitabnya "Musykil al-Aatsaar 1/373-375) silahkan para pembaca merujuk
kitab tersebut (saya tidak menukilnya di sini karena terlalu panjang untuk
diterjemahkan)
Dan paling tidak –sebagaimana menurut sebagian ulama- jika seseorang
bermudah-mudahan menyandarkan hadits dhoif kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tanpa menjelaskan kedhoifannya maka dikawatirkan ia telah terjerumus dalam
kedustaan. Telah lalu perkataan Al-Haafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy :
"Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya membawakan hadits dhoif dalam
fadhooil a'maal) hendaknya disyaratkan agar orang yang mengamalkannya
meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia tidak
menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak mengamalkan
hadits dhoif sehingga iapun mensyari'atkan apa yang bukan syari'at.
Atau ada sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan hadits dhoif)
sehingga iapun menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu Muhammad Ibni Abdis Salaam dan
yang lainnya. Dan hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak termasuk dalam
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; "Barangsiapa yang
menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah
salah seorang dari para pendusta", maka bagaimana lagi dengan orang yang
mengamalkannya.??" (Tabyiinul 'Ajab hal 11)
Al-Munaawi As-Syafii tatkala menjelaskan hadits ((Barangsiapa yang
menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia
adalah salah seorang dari para pendusta)) beliau berkata :
"(*Sabda Nabi) "Maka
ia adalah salah seorang dari para pendusta" dengan konteks jamak
(*أحد الكَاذِبِيْنَ= salah seorang dari para pendusta) yaitu ditinjau dari jumlah
banyak orang-orang yang meriwayatkan, dan dengan konteks tasniyah/dua (*أحد الكَاذِبَيْنِ
= salah seorang dari dua pendusta) yaitu ditinjau dari pendusta (pencetus
hadits palsu tersebut) dan yang menukil dari sang pendusta. Yang lebih masyhuur
adalah dengan konteks jamak sebagaimana dalam kitab Ad-Diibaaj.
Maka tidak boleh bagi seseorang yang meriwayatkan hadits untuk berkata :
"Rasulullah bersabda" kecuali jika ia mengetahui shahihnya hadits tersebut,
dan ia berkata pada hadits dhoif : "Telah diriwayatkan.." atau
"Telah sampai kepada kami…". Jika ia meriwayatkan hadits yang
ia tahu atau ia persangkakan merupakan hadits palsu lantas ia tidak menjelaskan
keadaannya maka ia termasuk dalam barisan pendusta, karena ia telah membantu
sang pemalsu hadits dalam menyebarkan kedustaannya, maka iapun ikut menanggung
dosa, seperti seseorang yang menolong orang yang dzolim. Oleh karenanya
sebagian tabi'in takut untuk menyandarkan hadits kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, akan tetapi ia menyandarkan hadits kepada sahabat dan
berkata, "Dusta atas nama shahabat lebih ringan" (Faidhul Qodiir
6/116).
Al-Imam An-Nawawi berkata
"Para ulama ahli tahqiq (*ahli peneliti) dari kalangan ahli hadits dan
yang lainnya telah berkata : Jika hadits dho'if maka tidak boleh dikatakan pada
hadits tersebut :"Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam", atau "Telah mengerjakan" atau "Telah
memerintahkan", atau "Telah melarang", atau "Rasulullah
telah berhukum", dan yang semisalnya dari shigoh al-jazm" (Al-Majmuu'
syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Beliau juga berkata :
"Mereka (*para ulama ahli tahqiq) berkata : Shigoh jazm diletakan untuk
hadits-hadits yang shahih atau hasan, dan shigoh tamriidl digunakan untuk selain
hadits-hadits shahih dan hasan. Hal ini karena shigoh jazm mengharuskan
shahihnya perkataan dari yagn disandarkan perkataan tersebut. Karenanya
tidak semestinya digunakan kecuali pada hadits yang shahih, dan jika tidak,
maka seseorang maknanya telah berdusta atas namanya. Dan adab ini telah
dilanggar oleh penulis (As-Syiroozy) dan mayoritas ahli fikih dari madzhab
syafii dan yang selainnya, bahkan dilanggar oleh mayoritas para ahli ilmu-ilmu
secara mutlak, kecuali para ahli hadits yang cerdik. Dan hal ini merupakan
sikap bermudah-mudahan yang buruk. Sering mereka berkata pada hadits yang
shahih : "Telah diriwayatkan dari Nabi", dan (sebaliknya) mereka
berkata tentang hadits dhoif, "Rasulullah telah bersabda", "Si
fulan telah meriwayatkan", dan ini merupakan bentuk penyimpangan dari
kebenaran" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Al-Baghowiy berkata, "Segolongan dari para sahabat dan para tabiin
membenci untuk terlalu banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam khawatir terjatuh dalam penambahan lafal hadits atau
pengurangan atau kesalahan. Bahkan diantara para tabiin ada yang takut
menisbahkan hadits kepada Rasulullah, lalu iapun menisbahkannya kepada sahabat
dan berkata, "Dusta atas nama seorang sahabat lebih ringan dari pada dusta
atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam…semua itu karena
penghormatan kepada hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
kekawatiran terjerumus dalam ancaman" (Syarh As-Sunnah 1/255-256)
Karenanya barangsiapa yang memilih pendapat bolehnya meriwayatkan hadits dhoif
dalam fadhoilul a'maal maka hendaknya ia menjelaskan kedhoifan hadits tersebut
dan juga memperhatikan empat persyaratan yang disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu
Hajar al-'Asqolaaniy.
Penutup
Sebagai penutup artikel ini maka
saya menyebutkan bahwasanya diantara manaqib Imam As-Syafi'i rahimahullah
–sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam An-Nawawi- bahwasanya Imam As-Syafii
sangat bersungguh-sungguh dalam menolong hadits-hadits Nabi dan mengikuti
sunnah, serta sangat berusaha mengamalkan hadits-hadits yang shahih dan
membuang hadits-hadits yang dhoif.
Imam An-Nawawi berkata :
"Dan diantara manaqib (kebaikan-kebaikan) Imam As-Syafii adalah ijtihad
(kesungguhan) beliau dalam menolong hadits-hadits Nabi dan dalam mengikuti
sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam…sampai-sampai tatkala beliau
datang ke Iraq maka beliau dijuluki dengan penolong hadits-hadits
Nabi"(Al-Majmuu' 1/27)
Imam An-Nawawi juga berkata :
"Dan diantara manaqib Imam As-Syafii rahimahullah adalah berpegang
teguhnya beliau terhadap hadits-hadits yang shahih dan berpalingnya beliau dari
hadits-hadits yang lemah dan dhoif. Dan kami tidak mengetahui seorangpun dari
para ahli fikih yang memberi perhatian dalam berhujjah dengan membedakan antara
hadits yang shahih dengan hadits yang dhoif sebagaimana perhatian Imam
As-Syafii" (Al-Majmuu' hal 28)
Di bawah ini empat pernyataan Habib
Munzir yang berkaitan dengan ilmu hadits beserta
sanggahan-sanggahan terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita memahami agamaNya dengan baik dan
benar…Allahumma aamiin.
PERNYATAAN PERTAMA :
Habib Munzir berkata :
"Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa
kini yang mengaku–ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits
mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits
adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya,
sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua
halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana
dengan yang hafal 100.000 hadits?
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul
Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya
adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat
Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits – hadits yang
teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam
Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy)"
SANGGAHAN
Pernyataan Habib Munzir diatas perlu ditinjau kembali.
Sebelumnya perlu diketahui –oleh para pembaca sekalian- bahwa kitab Hasyiah
Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar bukan karangan Hujjatul Islam Al Imam Ibn
Hajar Al Atsqalaniy.
Seseorang yang tidak pernah menelaah
kitab Hasyiah Luqathuddurar ketika membaca perkataan Habib Munzir "Hasyiah
Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al
Atsqalaniy" akan menyangka bahwa pengarang kitab ini adalah Al-Imam Ibnu
Hajar.
Akan tetapi yang benar, pengarang kitab tersebut adalah Abdullah bin Husain
Khoothir. Adapun Imam Ibnu Hajar adalah pengarang Nukhbatul Fikar dan juga
syarahnya Nuzhaton Nazhor.
Adapun pernyataan Habib Munzir :
"Seorang ahli hadits mestilah
telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang
telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya"
Pernyataan ini tidak pernah ditemukan dalam buku-buku mustholah al-hadits (ilmu
yang membahas kaedah-kaedah hadits).
Para pembaca sekalian setelah merujuk ke kitab Luqathudduror ternyata penulis
kitab tersebut tidak pernah menyatakan apa yang dinyatakan oleh Habib Munzir bahwa
seorang tidak bisa jadi ahli hadits kecuali setelah mencapai derajat Al-Hafizh
yang menghapal 100 ribu hadits.
Penulis kitab kitab Hasyiah Luqoth Ad-Duror berkata :
"Aku melihat di sebagian kitab dinukil dari Al-Munaawi bahwasanya ahli
hadits bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah At-Thoolib –dan dia
adalah pemula-, kemudian Al-Muhaddits, dan ia adalah seorang yang membawa
(menerima periwayatan) hadits dan memiliki perhatian terhadap hadits baik dari
sisi periwayatan maupun sisi dirooyah (*makna hadits). Tingkatan berikutnya
adalah Al-Haafizh, ia adalah orang yang menghafal 100 ribu hadits baik matannya
maupun isnadnya, meskipun dengan jalan-jalan periwayatan yang berbilang, serta
ia memahami apa yang ia butuhkan. Tingkatan berikutnya adalah Al-Hujjah, ia
adalah orang yang menguasai 300 ribu hadits. Tingkatan selanjutnya adalah
Al-Haakim, ia adalah orang yang ilmunya menguasai seluruh hadits-hadits yang
diriwayatkan baik matan maupun isnad, baik ilmu jarh wa ta'dilnya, serta
sejarahnya, sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ahli tahqiq" (Haasyiyah
Luqot Ad-Duror bi Syarh Matn Nukhbah Al-Fikr, karya Abdullah bin Husain
Khoothir As-Samiin, ulama abad 14 hijriyah).
Jadi dari perkataan di atas, terlihat jelas bahwa seorang ahli hadits tidak
mesti harus menjadi seorang Al Hafizh, akan tetapi seseorang telah dikatakan
sebagai muhaddits jika telah memiliki perhatian terhadap hadits baik riwayat
maupun diroyahnya.
PERNYATAAN KEDUA :
Habib Munzir berkata:
"Perlu diketahui bahwa Imam
Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada tahun 150
Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada
tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian
kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa–fatwa Imam
Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam
Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah
menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia."
SANGGAHAN
Pernyataan Habib Munzir ini merupakan pernyataan yang sangat aneh.
Apakah kalau Imam Syafii yang sudah jadi imam sebelum imam Al-Bukhari lahir ke
dunia, lantas fatwa beliau tidak boleh dikritik oleh hadits-hadits shahih yang
terdapat dalam shahih al-Bukari??!!
Pernyataan yang aneh ini melazimkan banyak kerancuan, diantaranya :
Pertama : Pernyataan bahwa fatwa-fatwa Imam As-Syafi'i
tidak boleh dikritik atau dikalahkan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari merupakan pernyataan yang SANGAT BERBAHAYA !!!!.
Karena hal ini melazimkan mengedepankan dan mendahulukan perkataan Imam
As-Syafii daripada sabda-sabda Habiibuna Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang shahih yang diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari!!, yang merupakan kitab
yang paling shahih setelah Al-Qur'an !!!.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(QS Al-Hujuroot : 1)
Kedua: Hal ini bertentangan dengan wasiat Imam
As-Syafi'i, beliau rahimahullah telah berkata
"Tidak ada seorangpun keculai ada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam yang tidak ia ketahui. Maka bagaimanapun aku berpendapat dengan suatu
perkataan atau aku membuat kaidah yang ternyata ada hadits Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka pendapat yang benar adalah
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan itulah pendapatku."
(Taariikh Dimasyq 51/389)
"Jika kalian mendapati sunnah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam yang menyelisihi perkataanku maka ambillah sunnah dan tinggalkanlah
perbuatanku, karena aku berpendapat dengan sunnah tersebut" (Taariikh
Dimasq 51/389)
"Seluruh hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka itu adalah
pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku" (Taariikh Dimasyq
51/389)
Imam An-Nawawi berkata :
"Telah sah dari Imam As-Syafii rahimahullah bahwasanya beliau berkata :
"Jika kalian mendapati dalam kitabku penyelisihan terhadap sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku".
Dan diriwayatkan dari Imam As-Syafi'i : "Jika telah shahih sebuah hadits
yang bertentangan dengan pendapatku maka amalkanlah hadits dan tinggalkanlah
pendapatku", atau Imam As-Syafii berkata, "Itulah mdzhabku", dan
telah diriwayatkan makna seperti ini dengan lafal-lafal yang bermacam-macam.
Para sahabat kami (*dari kalangan ulama besar madzhab syafi'i) telah
mengamalkan hal ini (*yaitu wasiat Imam As-Syafii untuk mengikuti hadits dan
menginggalkan pendapatnya) dalam permasalahan at-Tatswiib dan mempersyaratkan
untuk bertahallul dari ihrom karena sakit dan permasalahan-permasalahan yang
lain yang sudah ma'ruuf dalam buku-buku madzhab" (Al-Majmuu' syarh
Al-Muhadzdzab 1/104)
Imam An-Nawawi juga berkata :
"Dan kami telah meriwayatkan dari Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin
Khuzaimah yang dikenal sebagai imamnya para imam. Dan karena tingkat beliau
yang tinggi dalam hafalan haditsnya dan pengetahuan tentang sunnah-sunnah Nabi
maka beliau ditanya : "Apakah engkau tahu ada sunnah yang shahih yang
tidak dicantumkan oleh Imam As-Syafii dalam kitab-kitab beliau?", maka
beliau (*Ibnu Khuzaimah) menjawab :
Tidak ada".
Namun meskipun demikian Imam As-Syafii rahimahullah tetap berhati-hati –karena
menguasai seluruh hadits-hadits Nabi yang shahih merupakan perkara yang
mustahil bagi manusia-, maka beliaupun mengatakan wasiat beliau -yang telah
diriwayatkan dari berbagai sisi- untuk mengamalkan hadits yang shahih dan
meninggalkan pendapat beliau yang menyelisihi nas yang shahih dan jelas.
Wasiat beliau ini telah dilaksanakan oleh para sahabat kami dalam banyak permasalahan
fikih yang masyhuur. Seperti permasalahan at-tatswiib dalam adzan subuh,
mempersyaratkan untuk bertahallul dalam haji karena ada udzur, dan
masalah-masalah yang lainnya"(Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 1/28)
Ketiga: Pernyataan Habib Melazimkan bahwa orang yang sudah
menjadi imam terdahulu tidak boleh dikritik oleh orang setelahnya. Dan
kelaziman ini berarti:
- Melazimkan
Imam As-Syafi'i tidak boleh mengkritik Imam Malik, yang merupakan gurunya Imam
As-Syafi'i
- Terlebih
lagi Imam As-Syafii tidak boleh mengkritik Imam Abu Hanifah yang lebih senior
lagi daripada Imam Malik
- Bahkan para
pengikut madzhab As-Syafi'i tidak boleh menikam fatwa-fatwa Imam Malik dan Imam
Abu Hanifah karena kedua Imam tersebut lebih senior dan lebih dahulu jadi imam
daripada imam As-Syafi'i
Keempat: Apakah ada metode pentarjihan seperti ini
dalam kitab-kitab fikih? Yang lebih tua dan lebih dulu jadi imam tidak boleh
dikritik dengan perkataan yang lebih muda dan lebih terbelakang jadi imam??,
Adakah kitab ushul fiqh yang
membahas dan menyatakan metode ini…?, dalam madzhab apakah metode seperti
ini??.
Ataukah ini hanya madzhab khusus Habib Munzir –yang konon ilmunya diperoleh
dengan sanad-??.
Kelima: Pernyataan Habib Munzir ini melazimkan bahwasanya
Imam As-Syafii ma'suum (tidak mungkin bersalah).
Ingat para pembaca budiman…yang saya
sebutkan adalah sebuah kelaziman dari sebuah pernyataan Habib Munzir, jadi
jangan sampai keliru dipahami bahwa Habib Munzir yang menyatakannya, tapi ini
kelaziman dari pernyataan Habib.
Perlu untuk dipahami oleh para pembaca sekalian :
1.
Bahwa setiap Imam, siapapun dia –bahkan shahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu-
tidak maksum dari kesalahan.
2. Setiap ulama yang tidak sependapat dengan Imam
Asy Syafi'iy rahimahullah bukan berarti beliau meremehkan Imam Asy Syafi'iy,
akan tetapi ulama tersebut memilih pendapat yang menurutnya lebih dekat dengan
dalil dari Al Quran dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman para shahabat
radhiyallahu ‘anhum.
PERNYATAAN KETIGA :
Habib Munzir berkata :
"Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan
fatwa dan pendapat kepada hadits–hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?
Mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam-Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi
fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami
dari ilmu hadits? Hanya menukil-nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka
sudah berani berfatwa…"
"Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan
buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa
para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku,
namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling
lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu"
SANGGAHAN :
Pernyataan Habib Munzir: "Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak
bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk
mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh
membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini
adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu"
Pertama: Ini adalah pernyataan sangat berbahaya karena
menimbulkan keraguan terhadap buku-buku yang ada di zaman sekarang ini. Dan hal
ini tentunya akan meninggalkan keraguan terhadap agama, karena untuk
mempelajari agama di zaman sekarang ini melalui buku-buku yang ada.
Kedua: Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan kepada
Habib Munzir dan ini adalah sanggahan dengan pertanyaan:
- Jika
buku-buku agama yang digunakan untuk mengkritik fatwa-fatwa imam-imam dahulu
tidak bisa dijadikan pedoman, lantas bagaimana cara kaum muslimin belajar
agama?, apakah harus dengan sistem sanad yang digembar-gemborkan oleh para
pendukung Habib Munzir??
- Bukankah
fatwa-fatwa imam-imam tersebut juga termaktub dan terdapat dalam buku-buku?,
ataukah Habib Munzir mendapatkan fatwa-fatwa tersebut tidak melalui buku-buku?.
Jika tidak melalui buku-buku, lantas dari mana? Melalui sanad guru??!!
- Jika
ternyata fatwa-fatwa tersebut dinukil dari buku-buku lantas bukankah buku-buku
tersebut juga tidak bisa menjadi pedoman?
Ketiga : Habib sendiri menyelisihi metode yang dia
canangkan sendiri.
Bukankah Habib Munzir tatkala membolehkan beristighootsah kepada mayat juga
berpedoman kepada buku-buku zaman sekarang???!!. Demikian pula, bukankah Habib
Munzir tatkala membolehkan membangun kuburan di masjid juga berpedoman dengan
fatwa Imam Syafii yang terdapat dalam buku Faidhul Qodiir, (lihat kembali
http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183). Yang lebih parah ternyata Habib Munzir salah menukil dan
akhirnya terjerumus dalam kekeliruan. Jadi ternyata bukan bukunya yang keliru
akan tetapi Habib Munzir yang salah menukil dari buku tersebut !!!!. , atau
mungkin saja Habib Munzir menukil dari buku Faidhul Qodiir dalam cetakan lain
yang tidak diragukan, dan bukan cetakan zaman sekarang yang tidak bisa
dijadikan pedoman??!!
PERNYATAAN KEEMPAT :
Habib Munzir berkata :
"Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa
luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan
ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits - hadits yang sirna masa
kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal
dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira
kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa
juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?
Kesimpulan dari pernyataan Habib Munzir ini adalah :
- Imam Ahmad
menghapal 1 juta hadits, dan yang termaktub dalam musnad Imam Ahmad hanya
27.688 hadits, jadi ada sekitar 970.000 hadits yang tidak sempat ditulis oleh
Imam Ahmad
- Selain imam
Ahmad masih ada imam-imam hufaadz yang lainnya yang juga hapalannya banyak,
sehingga kesimpulannya berarti ada jutaan hadits yang sirna dan tidak sempat
tertuliskan.
SANGGAHAN
Sanggahan dari pernyataan Habib Munzir ini dari dua sisi ;
Pertama: Maksud dari Imam Ahmad menghafal sejuta hadits bukanlah
maksudnya beliau menghapal sejuta matan hadits dengan sejuta sanad.
Para ulama
telah menjelaskan bahwa maksud dari hafalan Imam Ahmad sejuta hadits adalah
disertai dengan pengulangan dan jalan-jalan haditsnya. Karena bisa jadi satu matan hadits memiliki banyak
jalan-jalan periwayatan. Jika satu matan (teks hadits) memiliki 10 jalur
periwayatan maka mereka menganggapnya 10 hadits. Bahkan terkadang satu hadits
memiliki seratus atau lebih jalur periwayatan.
Oleh karenanya diriwayatkan juga bahwasanya Al-Imam Al-Bukhari menghafal 100
ribu hadits shahih, dan maksudnya adalah dengan pengulangan serta jalan-jalan
hadits.
Berkata Al-Haafizh Al-'Irooqi :
"…Perkataan Imam Al-Ju'fiy (*yaitu Imam Al-Bukhari) : "Aku menghafal
dari hadits shahih 100 ribu hadits". Dan mungkin saja maksud Imam
Al-Bukhari adalah dengan pengulangan dan juga (*termasuk) atsar-atsar
mauquuf…" (Lihat Alfiyah Al-'Irooqiy)
Al-Hafizh As-Sakhoowi As-Syafii tatkala menyarah perkataan Al-'Irooqi ini
berkata :
"Maksud Imam Al-Bukhariy tercapainya bilangan tersebut (100 ribu hadits
shahih) dengan menghitung pula hadits-hadits yang berulang, dan juga menghitung
hadits-hadits mauquf dan juga atsar-atsar para sahabat dan para tabi'in
dan selain mereka, serta fatwa-fatwa mereka. Karena para salaf mereka menyebut
seluruhnya (*hadits marfu', hadits mauquf, dan atsar sahabat) dengan nama
hadits. Dan dengan demikian mudah perkaranya, karena bisa jadi satu hadits
memiliki 100 jalan atau lebih.
Lihatlah hadits "Al-A'maalu
binniyyaat" …telah dinukilkan dari Al-Haafiz Abu Ismaa'iil Al-Anshooriy
Al-Harowiy bahwasanya ia telah menulis hadits ini dari 700 para perawi yang
meriwayatkan dari Yahyaa bin Sa'iid Al-Anshooriy. Dan Al-Ismaa'iliy
mengomentari perkataan Al-Bukhari : "Hadits-hadits shahih yang aku
tinggalkan lebih banyak" dengan perkataan beliau : "Seandainya Imam
Al-Bukhariy mengeluarkan seluruh hadits yang ada padanya maka ia akan
menggumpulkan dalam satu bab hadits jama'ah (banyak orang) dari sahabat, dan
Imam Al-Bukhari akan menyebutkan jalan-jalan (*periwayatan) dari masing-masing
sahabat tersebut jika shahih"
Al-Jauzaqiy berkata bahwasanya telah dilakukan istikhrooj terhadap
hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim (*yaitu meriwayatkan
hadits-hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim akan
tetapi tidak melalui jalur Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim), maka bilangannya
mencapai 25.480 jalan"
Kemudian As-Sakhoowi menukil perkataan gurunya Ibnu Hajar, ia berkata :
"Guru kami (Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy) berkata : Jika Al-Bukhari dan
Muslim –dengan begitu ketatnya persyaratan mereka berdua- telah mencapai
bilangan tersebut (*yaitu sekitar 14 ribu hadits) dengan pengulangan, maka
hadits-hadits yang tidak dikeluarkan oleh mereka berdua berupa jalan-jalan
(riwayat) dari matan-matan hadits yang telah dikeluarkan oleh mereka berdua
bisa jadi juga mencapai jumlah bilangan tersebut atau lebih. Dan matan
hadits-hadits yang shahih yang sesuai dengan persyaratan (kriteria) Al-Bukhari
dan Muslim bisa juga mencapai jumlah bilangan tersebut, atau mendekatinya. Lalu
jika bilangan-bilangan tersebut ditambah dengan atsar para sahabat dan tabiin
maka bilangannya akan mencapai bilangan yang telah dihafal Imam Al-Bukhari
(*yaitu sekitar 100 ribu hadits shahih), dan bisa jadi lebih banyak.
Dan harus demikian penjelasannya, karena jika tidak demikian maka jika dihitung
hadits-hadits yang terdapat dalam musnad-musnad, jami'-jami', sunan-sunan,
mu'jam-mu'jam, al-fawaaid dan juz-juz, dan yang selainnya yang ada pada tangan
kita baik yang hadits-hadits shahih maupun tidak shahih maka tidak akan
mencapai bilangan tersebut (*100 ribu) jika tanpa pengulangan. Bahkan tidak
akan sampai setengahnya (*50 ribu)" (Fathul Mughiits 1/56-57)
Demikianlah penjelasan yang sangat
gamblang dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqolaaniy As-Syafi'i.
Oleh karenanya jangan sampai seseorang berfikir bahwasanya jika Imam Al-Bukhari
menghafal 100 hadits shahih padahal jumlah hadits-hadits dalam Shahih
Al-Bukhari (disertai pengulangan) adalah sekitar 7000 dan tanpa pengulangan
sekitar 4000 hadits, maka berarti masih tersisa 93.000 hadits shahih !!!, ini
tentunya pemahaman yang keliru sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr tadi.
Jadi dengan demikian maka maksud dari para imam tatkala mereka menyatakan telah
menghafal atau menulis ratusan ribu hadits maka maksudnya adalah jumlah
jalan-jalan haditsnya.
Ibnu Hajar juga berkata :
"Sa'iid bin Abi Maryam berkata : Aku mendengar Imam Malik bin Anas berkata
: "Aku menulis dengan tanganku 100 ribu hadits".
Al-Qoodhi Ibnu al-Muntaab mengomentari : "Dan seratus ribu yang didengar
oleh Imam Malik maka semakin berlipat-lipat jumlahnya hingga di masa kami dan
bercabang-cabang lebih banyak dari satu juta jalan" (An-Nukat 'alaa Ibni
as-Sholaah 1/184-185)
Berkata Imam Adz-Dzhabi As-Syafii :
"Dalam kitab "Taariikh Dimasyq" dari jalan Muhammad bin Nashr,
ia mendengar dari Yahya bin Ma'iin ia berkata : "Aku telah menulis dengan
tanganku satu juta hadits". Aku (Imam Adz-Dzahabi) berkata : "Yaitu
dengan berulang-ulang, tidakkah engkau melihatnya berkata : "Kalau kami
tidak menulis hadits 50 kali maka kami tidak mengetahui hadits tersebut"
(Siyar A'laam An-Nubalaa 11/84-85).
Kedua : Pernyataan logika Habib Munzir bahwasanya
ada jutaan hadits yang sirna…, maka ini bisa menimbulkan keraguan kepada kaum
muslimin akan kesempurnaan Islam dan penjagaan Allah Ta’ala terhadap Islam.
Karena hal ini melazimkan bahwa ada hadits-hadits tentang amalan-amalan dan
penjelasan-penjelasan Islam yang telah hilang. Kalau hadits-hadits yang ada di
buku-buku hadits seluruhnya (tanpa perulangan) tidak sampai 50 ribu hadits
-sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar tadi- padahal jumlah hadits yang sirna
menurut Habib Munzir adalah jutaan maka tentunya yang terjaga dalam islam
kurang dari 5% !!!. Tentunya hal ini sangat menimbulkan keraguan akan
kesempurnaan Islam.
Dan yang benar adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam yang shahih pasti sampai kepada kita dan terjaga, tidak ada satu
hadits shahihpun yang hilang dan sirna –tidak sebagaimana persangkaan Habib
Munzir-.
Hal ini dijelaskan dari tiga sisi pendalilan :
Pendalilan Pertama
: Kita diperintahkan oleh Allah
untuk mentadabburi dan mengamalkan al-Qur'an. Dan Allah telah menjelaskan
kepada kita bahwasanya Allah telah menyerahkan penjelasan dan praktek isi
al-Qur'an kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS
An-Nahl : 44)
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً
لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS An-Nahl : 64)
Karenanya penjagaan Allah kepada Al-Qur'an melazimkan penjagaan Allah terhadap
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan penjelasan bagi
Al-Qur'an. Dan penjagaan Al-Qur'an mencakup penjagaan terhadap lafal-lafalnya
dan juga penjelasannya melalui hadits-hadits Nabi yang shahih.
Pendalilan Kedua : Dalam banyak ayat Allah memerintahkan kita
untuk taat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
(QS An-Nisaa : 59)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ
أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
(QS An-Nisaa : 80)
Dan Allah memerintah kita untuk kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala terjadi perselisihan.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. (QS An-Nisaa : 59)
Allah memerintahkan kita untuk meneladani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzaab : 21)
Lantas bagaimana kita bisa melaksanakan perintah-perintah Allah ini jika
kemudian Allah tidak menjaga hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam??. Kalau kita meyakini ada hadits-hadits (apalagi berjuta-juta) hadits
yang hilang maka berarti Allah telah membebankan kepada kita apa yang tidak
mungkin bisa kita laksanakan !!!. Kalau berjuta-juta hadits hilang dan yang
tersisa hanya 50 ribu hadits lantas bagaimana kita bisa meneladani Nabi?,
bagaimana kita bisa merujuk kepada sunnah tatkala berselisih?, bagaimana kita
bisa menghindari larangan-larangan Nabi??!!. Oleh karenanya pengraguan akan
terjaganya hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengantarkan pada
pengraguan terhadap Al-Qur'aan !!!
Pendalilan Ketiga : Sabda-sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam merupakan wahyu dari Allah sebagaimana Al-Qur'an, karenanya
sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk adz-dzikr yang akan
dijamin oleh Allah penjagaannya.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata
"Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Dan Allah berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ
بِالْوَحْيِ
Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan
kepada kamu sekalian dengan wahyu"
(QS Al-Anbiyaa' : 45)
Allah mengabarkan –sebagaimana telah lalu- bahwasanya sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam seluruhnya adalah wahyu, dan tidak ada perselisihan
bawhasanya wahyu merupakan adz-dzikr. Dan Adz-Dzikr terjaga (oleh Allah)
berdasarkan nash dari al-Qur'an. Maka dengan demikian benarlah bahwa seluruh
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga dengan penjagaan Allah,
terjamin bagi kita bahwa tidak ada sedikitpun yang hilang, karena sesuatu yang
dijaga oleh Allah maka kita yakin bahwa tidak akan ada sedikitpun yang hilang,
seluruh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah dinukilkan kepada
kita" (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 1/98)
Ibnu Hazm rahimahullah juga berkata :
"Sesungguhnya Allah telah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya (QS
Al-Hijr : 9)
Maka telah terjamin di sisi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat bahwasanya sesuatu yang telah dipegang oleh Allah untuk menjaganya maka
selamanya tidak akan hilang. Dan tidak seorang muslimpun yang ragu akan hal
ini. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya adalah wahyu
berdasarkan firman Allah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ
هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS
An-Najm : 2-4).
Dan umat seluruhnya telah bersepakat bahwa wahyu adalah dzikr, dan adz-Dzikr
dijaga oleh Allah berdasarkan nash al-Qur'an, maka sabda-sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pasti dijaga oleh Allah, pasti seluruh sabda-sabda Nabi telah
dinukil kepada kita" (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 2/71)
Dari penjelasan di atas maka dipahami bahwasanya meskipun para ulama menghafal
ratusan ribu hadits atau bahkan sejuta hadits maka mereka memilih dari
jalan-jalan jalur periwayatan hadits-hadits shahih tersebut. Sehingga apa yang
mereka tulis telah mewakili kebanyakan apa yang tidak mereka tuliskan dari
hadits-hadits shahih.
Ibnu Hajr Al-'Asqolaaniy berkata:
"Abu Hafsh Umar bin Abdil Majiid Al-Mayaanisi dalam kitabnya "Iidhooh
ma laa yasa'u al-muhadditsa jahluhu" menyebtukan : Kandungan hadits-hadits
dalam shahih al-Bukhari yang jumlahnya 7600 sekian hadits telah dipilih oleh
Imam Al-Bukhari dari satu juta 600 ribu sekian hadits" (An-Nukat 'alaa
Ibni as-Sholaah 1/190)
Kota suci Mekah 30 Oktober 2011 (3 Dzulhijjah 1432 H)
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja