1/قال شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب
فاللهِ اللهِ اخوني تمسّكوا بأصل دينكم أوله
وآخره أسه ورأسه وهو شهادة أن لا اله إلا الله وا عرفوا معناها وأحبّوا
أهلها واجعلوههم إخوانكم ولو كانوا با عدين واكفروا بالطواغيت وعادوهم
وأبغضوا من أحبهم أو جادل عنهم أولم يكفركم و قال ما علي منهم وماكلّفني
الله بهم فقد كذب هذا على الله وافترى بل كلّفه الله بهم وفرض عليه الكفر
بهم والبراءة منهم ولوا كانوا إخوته وأولاده فالله الله تمسّكوابأصل
دينكم لعلكم تلقون ربكم لا تشركون به شيئا اللّهم توفّنا مسلمين ( الدرر
السنية 2//117أو تا ريخ نجد)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdulwahhab berkata :
Demi Allah wahai saudara-saudaraku, berpegang teguhlah dengan pokok
agama kalian pada awalnya dan akhirnya, ujungnya dan pangkalnya yaitu
syahadat
لا اله الا لله , ketahui dan cintailah
penganutnya, dan jadikanlah mereka saudara kalian walaupun mereka jauh
dari kalian. Kafirlah kalian kepada para thogut dan bencilah orang yang
yang mencintai mereka (thogut), siapa saja yang membela-bela mereka,
siapa saja yang tidak mengkafirkan mereka, siapa saja yang mengatakan
’’Apa urusan saya dengan mereka’’ atau siapa saja yang mengatakan
’’Allah tidak membebani saya dengan mereka’’. Sungguh , mereka telah
berdusta atas nama Allah (dengan ucapan-ucapan itu). Bahkan, Allah telah
membebani mereka terkait dengan para thoghut itu dengan mewajibkan
mereka untuk kafir dan berlepas diri dari thoghut walaupun para
thoghut itu adalah saudara dan anak-anak mereka.
Demi Allah, berpegang teguhlah dengan pokok agama kalian supaya
kalian bertemu dengan Robb kalian dalam keadaan tidak berbuat
syirik sama sekali . Yaa Allah, wafatkanlah kami sebagai kaum muslimin
dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang sholeh (Ad-Durar As-Saniyah
2/112 dan ada juga di Tarekh Nejed dengan sedikit perubahan redaksi di
awal dan akhirnya).
2/قال شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهّاب
من قال لكن لا أعترض المشركين ولاأقول فيهم شيئا لا تظنّ أنّ
ذلك يحصل لك به الدخول في الإسلام بل لا بدّّ من بغهم و بغض من يحبهّم و
مسبتهم ومعادتهم ( ثم ذكر أية في سورة الممتحنة 4) وقال ولويقول رجل أنا
أتبع النبي صلّّى الله عليه وسلّّم و هو على الحق لكن لا أعترض أبا جهل
وأمثاله ما علي منهم لم يصحّّ إسلامه ( الدرر السنية 2 /109 )
Barang siapa mengatakan ”akan tetapi aku tidak melakukan penentangan
terhadap orang-orang musyrik tidak berkomentar miring apapun tentang
mereka maka janganlah engkau mengira bahwa yang seperti itu menetapkan
kamu masuk ke dalam islam, akan tetapi membenci orang-orang musyrik,
membenci orang yang mencintai mereka, megucilkan dan memusuhi mereka
merupakan keharusan”. Kemudian, Syaikh mengutip ayat ke 4 dari surat
Al-Mumtahanah yang artinya:
” Wahai kaum mukmin, sungguh telah ada pada diri Ibrahim dan para
pengikutnya suri tauladan yang baik ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: ”Sungguh kami berlepas dari kalian dan dari tuhan-tuhan yang
kalian sembah selain Allah. Kami ingkari perbuatan kalian. Telah jelas
permusuhan dan kebencian yang ada antara kami dengan kalian selamanya
sampai kalian beriman kepada Allah”. Namun, yang tidak boleh dicontoh
adalah perkataan Ibrahim kepada bapaknya ” wahai bapakku, sungguh aku
benar-benar akan memintakan ampunan kepada Allah untukmu akan tetapi aku
tidak punya kemampuan sedikitpun untuk melindungimu dari siksa
Allah…(Al-Mumtahanah 4).
Kemudian Syaikh melanjutkan: Seandainya ada orang yang berkata bahwa
”Aku mengikuti Nabi SAW dan meyakini bahwa beliau berada di atas
kebenaran, namun aku tidak menentang Abu jahal dan orang-orang
semisalnya karena aku tidak punya urusan dengan mereka”, maka orang
seperti ini belum sah keislamannya(Ad durar As saniyah 2/109)
3/قال شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب بعد يكفر الطواغيت والمشركون
من جادل عنهم أو أنكر على من كفرهم أو زعم أن
فعلهم هذالو كان باطلا فلا يخرجهم إلى الكفر فأقل أحوال هذاالمجا دل أنه
فاسق لا يقبل خطه ولا شهادته ولا يصلي خلفه ( الدرر 10/52-53)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata pasca pengkafiran
beliau terhadap para thoghut dan orang-orang musyrik dan menegaskan
bahwa mereka itu murtad dari Islam.
”Barang siapa yang membela-bela para thoghut dan orang-orang musyrik,
mengingkari orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa
meskipun perbuatan mereka batil namun tidak sampai menjerumuskan mereka
ke dalam kekafiran, maka aku (Syaikh) katakan bahwa status minimal para
pembela thoghut dan orang-orang musyrik ini adalah fasik sehingga tidak
dibaca tulisannya, tidak diterima persaksiannya, dan tidak boleh pula
sholat di belakangnnya (Ad-Durar 10/52-53)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العا لمين الرحمن الرحيم ما لك يوم الدين
والصلاة والسلام على خا تم الانبياء والمرسلين و على آله و أصحابه أجمعين
Pembahasan kita sekarang ini adalah tentang Ahkam Ad-Diyar.
Kapan sebuah negara itu disebut negara Islam dan kapan sebuah negara itu
disebut negara kafir,
Dalam pandangan Islam cuma ada dua negara yaitu Islam atau kafir.
Masalah ini harus dipahami terlebih dahulu, bahwa tidak ada negara jenis
ketiga dalam Islam. Oleh karena itu, ketika Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa negara Maridin adalah bukan negara Islam dan
bukan pula negara kafir tetapi jenis negara murokkabah (tumpang tindih)
yang tidak berlaku di dalamnya hukum Islam, beliau rhm mengatakan
bahwa Maridin adalah negara jenis ketiga ( lihat Majmu’ Fatawa
28/240-241). Maka, murid beliau Al-Qodhi Ibnu Muflih menulis :
’’Setiap negara yang dikuasai oleh hukum-hukum umat Islam adalah
negara Islam sedangkan setiap negara yang dikuasai hukum orang kafir
adalah negara kafir dan tidak ada jenis negara yang ketiga’’ (Al-Adab
Asy-Syar’iah 212)
Para ulama dakwah Nejed ikut berkomentar setelah menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan berkata :
والأولى هو الذي ذكره القا ضي والأصحاب
Artinya :’’Dan yang lebih utama adalah pendapat yang disebutkan oleh
Al-Qodhi dan para sahabatnya (dari kalangan ulama madzhab Hambali )
Silahkan merujuk pada Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah bab jihad 7/353 yang dihimpun oleh Ibnul Qosim
Jadi, pembagian Negara Cuma ada dua yaitu Negara islam dan Negara
kafir. Hal ini merupakan ijma’ ulama salaf maupun khalaf dan yang
namanya ijma’ itu pasti berdasarkan dalil sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 7/39 (lihat Al-Jami’ Syaikh Abdul
Qodir bin Abul ’Aziz buku ke 9 hal 89). Harus dipahami pula bahwa ijma’
adalah dalil yang ketiga setalah Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini menepis
anggapan sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Dr. Wahhab
Az-Zuhaily bahwa pembagian Negara menjadi dua bagian itu tidak
berlandaskan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah akan tetapi hanya sekedar
ijtihad para ulama setelah masa Nabi dan para sahabat. Hal ini beliau
katakan dalam kitab beliau Atsarul Harbi Fil Fiqh Al-Islami, dan
anggapan beliau ini adalah salah –wallahu a’lam-.
Syarat Sebuah Negara Dikatakan Sebagai Negara Islam
Dalam pembahasan ini -insya Allah- akan ana sebutkan
aqwal
para ulama salaf saat mereka berbicara tentang status sebuah negara
kapan disebut sebagai negara Islam dan kapan disebut sebagai negara
kafir sehingga ketika kita sudah memahami rumus yang ditentukan oleh
para ulama, maka kita akan mudah pula-dengan ijin Allah- mengetahui
status suatu negara apakah Islam ataukah kafir sekaligus mengetahui
ketentuan-ketentuan syar’ie yang terkait dengan negera itu, misalnya
status pemerintahannya, hukum mentaatinya, hukum orang kafir yang berada
di dalamnya, baik penduduk asli ataupun pendatang yang masuk ke negara
itu dengan jaminan keamanan dll.
1,Al-Imam Abu Hanifah.
قال الإمام السرخسي الحنفي رحمه الله
عند أبي حنيفة رحمه الله تعالى إنما يصير دارهم
دارالحرب بثلاث شرائط أحدها ن تكون متاخمة أرض الترك ليس بينها وبين أرض
الحرب دار المسلمين الثاني أن لا يبقي فيها مسلم امن بئيمانه ولا ذمي آمن
بإمانه والثالث أن يظهرأحكام الشرك فيها ( المبسوط السرخسي 10/114)
Al-Imam As-Sarkhasy Al-Hanafi rahimahullah berkata
’’Menurut Abu Hanifah rahimahullah, sebuah negara menjadi
darul harbi
dengan terpenuhinya tiga syarat. Pertama, negara tersebut berbatasan
langsung dengan negara kafir yang diantara kedua negera itu tidak
diselingi oleh negeri kaum muslimin. Kedua, tidak ada lagi di Negara itu
seorang muslim yang hidup aman dengan keimanannya dan ahlu dzimmah pun
tidak hidup aman dengan dzimmahnya.ketiga, penampakan hukum syirik di
dalamnya (Al-Mabsuth karya As-Sarkhsy 10/114)
Penjelasan
Perhatikanlah syarat sebuah Negara disebut sebagai Negara harbi (kafir) menurut Abu Hanifah yaitu:
1. Berbatasan langsung dengan negara kafir.
2. Orang Islam tidak hidup aman dengan keislamannya dan begitu pula ahlu dzimmah.
3. Penampakan hukum syirik di dalamnya.
Ana ambil negara Indonesia sebagai contoh untuk mempermudah
penjelasan karena kita hidup di dalamnya. Jika kita merujuk pada syarat
negara kafir menurut Abu Hanifah maka jelas Indonesia adalah negara
kafir dan sama sekali bukan negara Islam, karena :
1. Indonesia jelas berbatasan dengan negara-negara kafir seperti Singapura, Philipina, Timur Leste,dan Papua Nugini.
2.Orang mukmin yang betul-betul mau komitmen dengan keislamannya jelas hidupnya tidak aman di negara ini.
Contoh ; orang mukmin / muslim adalah orang yang mengucapkan لاإله
إلا الله, semetara syarat لاإله إلا الله adalah النفي
والاثبات (peniadaan dan penetapan).An-Nafyu dan Al-Itsbat itu
sendiri memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi yang apabila tidak
terpenuhi syaratnya, seseorang belum menjadi seorang muslim atau mukmin.
Sekiranya ada seorang muslim yang mengingkari kesyirikan di negeri ini
dengan menghanncurkan patung-patung yang disembah-sembah seperti patung
yang disembah kaum musyrikin di Bringgondani Tawangmangu Karanganyar
Jateng atau ada seorang muslim yang mencoba membubarkan acara larung
sesajen untuk setan di laut yang dilakukan banyak musyrikin di negeri
ini, apa kira-kira yang akan menimpa si muslim ini?.Padahal,
pengingkaran itu merupakan salah satu konsekwensi penafian peribadatan
kepada selain Allah. Tentu si muslim ini akan diproses dengan hukum yang
berlaku di negeri ini. Hukum apa akhi? saudaramu akan diproses dengan
hukum apa akhi??. Hukum musyrik itulah yang akan dipakai untuk mengadili
siapa saja yang mengusik kesyirikan mereka karena Negara ini tidak
mengenal hukum islam apalagi memberlakukannya. Mereka hanya mengenal
hukum syirik kafir pancasila dan UUD 45 buatan ’Jengis Khan’ Indonesia
dari kalangan arbab dan ruhban mereka. Laa haula wa laa quwwata illaa
billah.
Oleh karena itu, status Indonesia adalah negara harbi (kafir) menurut
syarat kedua yang ditentukan oleh Abu Hanifah. Apalagi jika ditinjau
dari syarat ketiga yang dikatakan Abu Hanifah, apa yang mau kita
katakan??!!. Hukum syirik tidak sekedar nampak di Indonesia akan tetapi
memang hukum yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum syirik hasil
kreasi arbab dan ruhban Indonesia. Para arbab dan ruhban ini
memilih,menetapkan , dan memaksa manusia yang tinggal di Indonesia baik
mukmin maupun kafir ketika mereka dianggap bersalah untuk diadili dengan
UU kafir itu!!.
Jika para ulama madzhab Maliki dan yang lainnya telah menvonis kafir
murtad Negara yang dikuasai oleh bani Ubaid bin Qoddah yang mengaku
sebagai ahlul bait, padahal mereka mendirikan shalat jamaah dan shalat
jumat, serta mengangkat mufti dan qodhi untuk menghukumi perkara
diantara manusia dengan syariat Islam, akan tetapi pada saat yang
bersamaan nampak dari mereka kesyirikan, bid’ah, dan penyeisihan
terhadap syariat sehingga mereka divonis murtad, maka apa gerangan yang
akan kita katakan tentang sebuah negara yang memberlakukan UU kafir
syirik secara total untuk menghukumi manusia?!.Tentu mereka lebih layak
untuk divonis musyrik kafir dan murtad (bagi mereka yang mengaku
beragama Islam) daripada kalangan Ubaidiyyin yang mengaku Fatimiyyin.
Silahkan lihat cerita tentang bani Ubaid bin Qoddah ini dalam Majmu’
Fatwa Ibnu Taimiyyah 13/178 dan lihat pula Al-Bidayah wa An-Nihayah imam
Ibnu Katsir 12/267 serta kesaksiam Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab -bagian ke 5- Ar-Rosail Asy-Syakhsiyah hal 220 cet Jamiah Al-Iman
Muhammad bin Su’ud.
Ambillah pelajaran wahai ikhwan…….!!
Jika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Ibnu Katsir
memvonis kafir dan murtad terhadap orang-orang Tartar yang telah memeluk
Islam dan menguasai banyak wilayah Islam dengan tetap memberlakukan
hukum Islam terhadap kaum muslimin, akan tetapi mereka sendiri(orang
–orang Tartar) tetap memberlakukan hukum Ilyasik di kalangan mereka
sebagai UU. Ilyasik ini adalah UU buatan nenek moyang mereka Jengis Khan
yang isinya campur aduk antara Islam, Nashroni, Yahudi, dan kumpulan
pemikiran Jengis Khan sendiri. Pada masa itu, praktek yang terjadi
adalah muslim dihukumi dengan syariat Islam, Yahudi dengan syariat
Yahudi, dan Nashrani dengan syariat Nashrani. Jika dengan kondisi
demikian saja sudah cukup bagi dua imam kita untuk menjatuhkan vonis
kafir murtad bagi orang-orang Tartar sehingga otomatis negaranya menjadi
negara kafir, apakah gerangan dengan Negara yang memberlakukan hukum
syirik dan memaksakan hukum syirik itu kepada semua warganya tanpa
memandang status agama dan lainnya?. Tentu Negara itu lebih kafir
daripada Negara yang divonis kafir oleh Ibnu Katsir.
Maka sekali lagi ambillah pelajaran wahai hamba Allah..!!
Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang kafir yang Allah gambarkan dalam firman-Nya
’’…sesunguhnya yang buta pada diri mereka bukanlah matanya, akan
tetapi hati yang ada dalam dada merekalah yang buta’’(Al Hajj 46).
Jangan sampai pula seperti orang-orang yang Allah gambarkan dalam firmannya
’’……penghuni neraka jahanam itu ketika di dunia mempunyai hati tetapi
tidak mau memahami kebenaran, mempunyai mata tapi tidak mau melihat
kebenaran, mempunyai telinga tapi tidak mau mendengar kebenaran. Mereka
itu laksana hewan ternak bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang
yang lalai mempersiapkan diri untuk kehidupan akherat (Al-A’rof 179)
Mudah-mudahkan Allah menjaga kita dari api neraka…….
Mari kita kembali kepada perkataan para ulama salaf tentang syarat sebuah Negara
2.Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (beliau berdua adalah dua murid Imam Abu Hanifah).
2/قالان إذا يظهروا أحكام الشرك
فيها فقد صارت دارهم دارالحرب لأن البقعة إنما تنسب إلينا أو إليهم
باعتبار القوة والغلبة فكل موضع ظهر فيه حكم الشرك فالقوة فيه للمشركين
فكانت دار الحرب و كل موضع كان الظاهر فيه حكم الإسلام فالقوة فيه للمسلمين
( المبسوط السرخسي 10/114) طبعة دار المعرفة
’’jika Nampak hukum syirik dalam suatu negara maka negara itu
berubah menjadi negara harbi (kafir) karena sebuah wilayah itu
dinisbatkan kepada kita kaum muslimin atau kepada mereka orang-orang
kafir berdasarkan kekuatan dan dominasi kekuasan. Maka, setiap wilayah
yang tampak dominan di dalamnya hukum syirik maka hakikatnya kekuasan
milik orang-orang musyrik sehingga negaranya menjadi negara kafir
sedangkan setiap tempat yang dominan di dalamnya hukum Islam berarti
kekuasaan milik kaum muslimin (Al-Mabsuth karya As-Sarkhasy 10 /114
cetakan Darul Ma’rifah).
Penjelasan
Al-Imam Al-Qodhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Saibani
mejadikan hukum yang berlaku dan kekuatan yang mendominasi sebagai
syarat penentuan stasus sebuah negara. Jika yang berlaku di negara itu
adalah hukum Islam maka jadilah negara itu negara islam. Sebaliknya
apabila yang berlaku adalah hukum kafir maka jadilah negara itu negara
kafir. Adapun kekuatan yang mendominasi adalah muthobiq (berkesuaian)
dengan syarat hukum yang berlaku tadi karena tidak mungkin jika
kekuatan Islam yang menguasai dan mendominasi mereka akan memberlakukan
hukum kafir, karena jika mereka melakukan hal itu niscaya mereka akan
menjadi kafir murtad sebagaimana bani Ubaid bin Qoddah dan bangsaTartar
seperti yang sudah kami sampaikan tadi. Begitu pula jika kekuatan
kafirin yang mendominasi maka tentu mereka akan memberlakukan UU kafir
karena orang kafir tidak akan pernah ridha terhadap kita kaum muslimin
sampai kita mengikuti agama mereka. Allah berfirman :
’’ Wahai Muhammad, orang-orang yahudi dan orang-orang nashrani tidak
akan senang kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka…’’ (Al-Baqoroh
120).
Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal.!! Sesungguhnya perkara ini bukan perkara ringan..
3. Al-Imam ’Alaudin Al-Kasani.
قال الإمام علاءالدين الكا سا ني
إن كل مضافة إما إلى الإسلام و إما إلى الكفر
إنما تضاف الدار إلى الإسلام إذا طبقت فيها أحكام الإسلام وتضاف إلى الكفر
إذا طبقت فيها أحكامه كما نقول الجنة دارالسلام والنار دار البوار لوجود
السلامة فى الجنة والبوار فى النار ولأن ظهورالاسلام والكفر بظهور أحكامهما
( بدائع صنا ئع للكاساني 9 / 4378) طبعة زكريا علي يسف
’’Sesunggunya kecenderungan sebuah negara entah kepada Islam
atau kepada kekafiran. Jika yang diberlakukan di dalamnya adalah hukum
Islam maka negara itu adalah negara Islam dan sebaliknya jika yang
diberlakukan adalah hukum kafir maka negara itu adalah negara kafir
sebagaimana kita katakan bahwa jannah itu adalah negeri keselamatan
karena adanya keselamatan di sana dan neraka adalah negeri kesengsaraan
karena adanya kesengsaraan di sana, dan penampakan suatu negara Islam
atau kafir adalah dengan penampakan hukum yang berlaku pada keduanya
(Badai’ Ash-Shanai’ karya Al-Kasani 9/4375) cet. Zakariya
’Ali Yusuf lihat di Al-Jami` Syaikh Abdul Qodir buku ke 9 hal 92-93.
Penjelasan:
Ikhwan fillah…lihatlah Al-Imam ’Alaudin Al-Kasani juga mengikuti para
imam pendahulunya dalam memberikan syarat status sebuah negara itu bisa
di sebut negara Islam, yang sebagai bagian dari konsekwensinya adalah
tinggal di dalamnya lebih baik dari pada hijrah (meski tidak mutlak) dan
orang kafir yang masuk ke negara itu dengan jaminan dari penguasanya
juga tidak boleh diganggu baik harta atau darahnya. Al-Kasani memberikan
syarat hukum yang diberlakukan di negara tersebut. Jika yang berlaku
adalah hukum Islam maka negara tersebut adalah negara islam, sedangkan
jika yang berlaku adalah hukum kafir berarti negara kafir. Ana ingatkan
antum sekalian bahwa UU positif bukanlah UU Islam baik itu bersumber
dari paham demokrasi, sosialisme, komunisme, kapitalisme, atau semua
bentuk yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Dan, yang lebih penting
lagi untuk antum semua ketahui adalah bahwa UUD 45 dan PANCASILA
bukanlah hukum Islam. Seperti halnya ILYASIK, UUD45 dan PANCASILA adalah
UU amburadul yang bercampur aduk isinya, sebagian warisan penjajah
kafir Belanda dan sebagian lagi hasil pemikiran otak-otak pendahulu
negara ini dari kalangan komunis yang atheis sosialis yang bersikap
oportunis. Mereka sepakati dari generasi ke generasi dan mereka warisi
secara turun temurun dari arbab dan ruhban mereka yang merupakan hasil
pilihan dan penentuan mereka sendiri untuk mereka ’ibadati’ dalam
tiap periode beberapa tahun lewat pesta syirik demokrasi (pemilu).
Kemudian, mereka paksakan Ilyasik gaya baru ini kepada manusia tanpa
memilah-milah agama mereka. Maka demi Allah yaa ikhwan… status hukum UU
ini adalah sama seperti hukum ILYASIK. Maka yang menerapkan hukum ini
juga sama statusnya dengan yang menerapkan Ilyasik. Negara tempat
berlakunya hukum ini juga statusnya sama seperti Negara tempat
diberlakukannya Ilyasik, bahkan status hukumnya lebih buruk dari hukum
Ilyasiq dan begitu pula status negaranya.
UUD45 dan PANCASILA adalah thoghut. Perancang dan pembuatnya juga
thoghut. Pelaksana UU ini juga thoghut, sedangkan penolong dan pembela
UU ini adalah anshoru at thoghut. Alloh ta’ala berfirman ”Orang-orang
beriman mereka berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir mereka
berperang di jalan thoghut maka perangilah wali-wali setan, sesungguhnya
tipu daya setan itu adalah lemah”(QS.An-Nisa76).
Maka ketahuilah..!! siapapun yang membela-bela mereka baik dengan
tangan, lisan, ataupun tulisan berarti mereka adalah anshorut thoghut
siapapun dia tanpa memandang agama, suku, bahasa, ataupun gelarnya.
Manakala dia membela-bela thoghut maka jadilah dia termasuk anshorut
thoghut.
4.Al-Imam As-Sarkhosi.
قاالإمام السرخسي:والدارتصير دار المسلمين بإ جراءأحكا م الإسلام (االسير الكبير5\2197)
”Sebuah negara berubah menjadi negara kaum muslimin dengan
di berlakukannya hukum-hukum Islam di dalamnya (Assiyaru Al-Kabiru
5/2197)
5. Al-Qodhi Abu Ya`la Al-Hanbali
قال القاضي أبو يعلي الحنبلي:
كل داركانت الغلبة فيها لأحكام الكفردون أحكام
الإسلام فهي دارالكفر(المعتمدفي اصول الدين لابي يعلي ص 276) طبعة
دارالمشورك بيروت 1974
”Setiap negara apabila yang mendominasi di dalamnya adalah
hukum kafir, bukan hukum Islam maka negara itu adalah negara kafir
(Al-Mu`tamadu fi Ushuliddien karya Abi Ya`la,hal.1276.cet Daarul Masyruk
Bairut 1974)
Penjelasan:
Setelah sebelumnya kami nukilkan pendapat para ulama madzhab Hanafi
termasuk pendapat imam Abu Hanifah sendiri tentang syarat negara Islam,
maka pada bagian ini –insya Allah- akan kami akan menukilkan pendapat
beberapa ulama madzhab Hambali. Hanya saja wahai ikhwan fillah….memang
akan sangat menjadi lebih ideal kalau bisa kita nukilkan semua pendapat
para ulama madzhab dalam hal ini,akan tetapi harus ana akui keterbatasan
referensi yang membuat hal ini sulit terealisasi. Terlebih dengan
aturan penjara yang ketat terhadap kami dan sulitnya komunikasi dengan
dunia luar menjadi sebab utama sulitnya mendapat akses untuk mencari dan
mendatangkan buku-buku rujukan. Akan tetapi, keterbatasan itu tidak
menjadi alasan untuk tidak menjelaskan perkara-perkara yang Allah swt
berikan sedikit pengetahuan tentangnya.
Mari kita kembali ke pokok bahasan…
Jadi wahai ikhwan fillah…Al-Qodhi Abu Ya`la juga menjadikan syarat
hukum yang berlaku untuk menetukan sebuah negara itu Islam atau kafir.
Maka, syarat ini menjadi utama dan bahkan paling utama untuk menilai
status sebuah negara. Adapun jika para ulama memberikan syarat lain maka
itu hanyalah syarat pelengkap dan penguat syarat berlakunya hukum tadi.
Memang terkadang para ulama memberikan syarat tambahan selain syarat
hukum yang berlaku,tapi kebanyakan dari mereka tidak melewatkan syarat
hukum yang berlaku karena memang inilah yang paling pokok dan paling
utama, dan kita akan sampai -insya Allah- pada perkataan Ibnul Qoyyim
bahwa syarat hukum yang berlaku ini adalah pendapat jumhur.
6.Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali.
قال الإمام ابن قدامة الحنبلي : ومتي ارتد أهل
بلد وجرت فيه أحكامهم صاروا دار حرب- إلي أن قال- ولنا أنها دار كفار فيها
أحكامهم فكانت دارحرب ( المغني مع الشرح
الكبير 10\95)
”Manakala penduduk sebuah negeri murtad, kemudian
memberlakukan hukum-hukum mereka (hukum kafir) maka jadilah negeri itu
negeri kafir -sampai ucapan beliau- dasar pendapat kami adalah karena
negeri itu dikuasai oleh orang kafir dan di berlakukan hukum kafir di
dalamnya sehingga negeri itu menjadi negeri harbi (Al-Mughni Ma’a Syarhi
Al-Kabir.10/95)
Penjelasan:
Perhatikanlah wahai ikhwan…apa yang dikatakan Ibnu Qudamah dalam hal
yang sedang kita perbincangkan ini. Beliau rhm, sebagaimana ulama yang
lain menjadikan standar utama berlakunya hukum sebagai acuan untuk
menilai sebuah negara kafir atau Islam.
7. Al-Imam Abdul Qodir Al-Baghdadi.
Beliau juga mengatakan persis seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Abu
Ya`la Al-Hambali yaitu ”Sebuah Negara kalau hukum yang berlaku di
dalamnya didominasi oleh hukum-hukum kafir, maka negara itu adalah
negara kafir”. Silahkan lihat Ushulud dien hal.270 cet.Darul kutub Al
Ilmiyah Beirut,cetakan ke-2.
8.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata ketika menjawab pertanyaan tentang status negeri
Maridin. Apakah Maridin termasuk negara Islam ataukah kafir dan apakah
umat islam yang tinggal di dalamnya harus hijrah atau tidak. Negeri
Maridin sekarang adalah sebuah wilayah di bagian tenggara Turki. Pada
masa khilafah bani Abasiyyah, di negeri ini berdiri daulah Urtuqiyah.
Mereka adalah bagian besar dari bangsa Turki Saljuk yang mengakui
kekhilafahan Abasiyyah. Pada masa serangan bangsa Mongol yang dipimpin
Jengis Khan dan keturunannya, negeri Maridin termasuk yang jatuh ke
dalam kekuasaan Mongol sehingga hukum kafir Ilyasik diterapkan oleh
bangsa Mongol terhadap rakyat Maridin.Kala itu, pada masa kekuasaan
daulah kedua Khaniyah yang berpusat di Baghdad yang didirikan oleh
Hulagukhan, hukum dan kekuasan sepenuhnya ada di tangan bangsa musyrik,
sekalipun sebagian besar penduduknya adalah muslimin, sementara orang
kafir hanya minoritas.(lihat Mizanul Muslim 2/385.penerbit Kordova
Mediatama cet.1 mei 2010).
Diantara ucapan beliau:
وأما كونها دارحرب أو سلم فهي مركبة فيها المعنيا ن
ليست بمنزلة دارالسلم التي تجري عليها أحكام الإسلام لكنون جندها مسلمين ولابمنزلة دارالحرب التي أهلها كفار(مجموع الفتاوى241\28)
”Adapun statusnya apakah negara Islam atau negara kafir
(harbi) maka jawabannya adalah negeri Maridin itu murokkabah (tumpang
tindih /double) tidak berstatus negara silmi (Islam yang aman) yang di
dalamnya berlaku hukum islam, di karenakan tentaranya muslimin dan tidak
berstatus negara harbi (kafir) yang penduduknya kafir (Majmu` Al-Fatawa
28/241).
Penjelasan:
Ikhwan fillah…di sini kita tidak sedang membahas ijtihad Syaikhul
Islam tentang adanya jenis negara ketiga, akan tetapi fokus pembahasan
kita di sini adalah kapan sebuah negara itu disebut negara Islam atau
kafir. Maka, coba antum perhatikan ucapan Syaikhul islam Ibnu
Taimiyah:”Tidak berstatus negara Islam yang berlaku di dalamnya hukum
islam dikarenakan tentaranya adalah muslimin” Ini adalah bukti nyata
bahwa Syaikhul Islam menjadikan hukum yang berlaku untuk menilai sebuah
negara, seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa Maridin yang
difatwakan oleh Syaikhul Islam saat itu sedang dikuasai oleh bangsa
Tartar dan mereka memberlakukun UU Ilyasik buatan moyang mereka
ditambah tentara yang memegang kendali adalah tentara Tartar yang tentu
saja berhukum kepada Ilyasik. Maka disebabkan keadaan yang seperti
itulah, Syaikhul Islam tidak menganggap Maridin sebagai negara Islam.
9.Al-Qodhi Ibnu muflih Al-Hambali.
قال: وكل دار غلب عليها أحكا م المسلمين فدارالاسلام وإن غلب عليهاأحكام الكفر فدارالكفر ولا دار غيرهما
(الآداب الشرعية 1\212 \الدررالسنية فى الاجوبة النجدية.كتاب الجهاد.ج 7 ص 353.جمع ابن قاسم)
”Setiap negara yang dikuasai oleh hukum-hukum kaum muslimin
maka statusnya adalah negara islam sedangkan jika yang menguasainya
adalah hukum-hukum kafir maka statusnya adalah negara kafir.Tidak ada
jenis negara ketiga”.(Al-Adab As-Syar`iyah 1/212/Ad-Durar As-Saniyah fil
Ajwibah An-Najdiyah kitab jihad juz 7 hal 353 yang dihimpun oleh Ibnu
Qosim).
Penjelasan:
Al-Qodhi Ibnu Muflih Al-Hambali adalah salah satu murid Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah akan tetapi dalam masalah ini tidak sepakat dengan
syaikhnya..Beliau menyepakati syaikhnya bahwa hukum yang berlaku adalah
standar untuk menilai status sebuah negara meskipun beliau tidak
menyepakati syaikhnya dalam hal pembagian negara dimana syaikhul Islam
menganggap ada negara jenis ketiga yaitu negara murokkabah, sedang
Al-Qodhi Ibnu Muflih mengatakan (ولادارغيرهما)“Tidak ada jenis Negara
lain selain keduanya”. Maksudnya, tidak ada jenis negara lain selain
negara Islam dan negara kafir. Pendapat Al-Qodhi ini adalah pendapat
jumhur yang di sepakati oleh Aimah Dakwah Nejd, sebagaimana yang sudah
kami sebutkan di awal tulisan ini dan akan kita ulang nanti –insya
Allah-.
10.Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.
قال ابن القيم :
قال الجمهور: دار الإسلام هي التى نزلها المسلمون
وجرت عليها أحكام لإسلام وما لم تجرعليه أحكام الإسلام لم يكن
دارالاسلام (أحكام أهل
الذمة لإبن قيم 1\366 ط دار العلم للمليين 1983)
”Ibnul Qoyyim berkata: jumhur ulama mengatakan bahwa negara
Islam adalah negara yang dikuasai kaum muslimin dan diberlakukan di
dalamnya hukum-hukum Islam. Apabila sebuah negara tidak berlaku di
dalamnya hukum-hukum Islam maka negara itu bukanlah negara
Islam.”(Ahkamu Ahli Dzimmah karya Ibnul Qoyyim 1/366.cet Darul Ilmi Lil
Malayin, tahun 1983 M).
Penjelasan:
Ikhwan fillah…maklum adanya bahwa Ibnul Qoyyim adalah termasuk murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti halnya Ibnu Muflih. Beliau
mengatakan bahwa sebuah negara disebut negara Islam bila dikuasai oleh
muslimin dan diberlakukan di dalamnya hukum Islam merupakan pendapat
jumhur ulama. Maka jika kita merujuk pendapat jumhur dan
pendapat-pendapat para ulama yang sudah kita sebutkan di atas, jelaslah
bagi kita bahwa Indonesia ini bukanlah negara Islam melainkan adalah
negara kafir. Mengapa??? karena Indonesia tidak berhukum dengan hukum
Islam, kekuatan yang mendominasi adalah kekuatan pelindung UU kafir, dan
Indonesia tidak dikuasai oleh kaum muslimin meskipun mayoritas
penduduknya adalah muslimin. Point penting inilah yang harus kita semua
pahami, bahwa tidak ada jenis negara ketiga di bumi ini. Jika bukan
negara Islam berarti negara kafir. Dalam hal ini ana teringat ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau mengklasifikasikan manusia
dalam masalah tauhid dan syirik. Beliau berkata:
“ولهذا كان كل من لم يعبد الله فلابد أن يكون عابدا لغيره
فيكون مشركا وليس فى بنى آدم قسم ثالث بل إما موحد أو
مشرك ((الفتاوى14\282-284
“Dengan demikian, setiap yang tidak beribadah kepada Allah
maka pasti akan menjadi ahli ibadah kepada selain Allah sehingga mereka
menjadi musyrik dan tidak ada bagi bani Adam jenis ketiga, akan tetapi
kalau bukan muwahid maka pastilah musyrik (Al-Fatawa 14/282-284).
Jadi, menurut beliau manusia itu jika bukan muwahhid maka pastilah
musyrik. Begitu pula status negara kalau bukan negara Islam maka
pastilah negara kafir dan tidak ada jenis yang ketiga.
11.Al-Imam As-Syaukani Al-Yamani.
قال الإمام الشوكانى:
الإعتبار بظهورالكلمة فإن كانت الأوامروالنواهى
فى الدارلاهل الإسلام بحيث لايستطيع من فيها من الكفارأن يتظاهربكفره إلا
لكونه مأ دونا له بذالك من أهل الإسلام فهداه دارالإسلام – الى ان قال-
وإذا الأمربالعكس فالداربالعكس (السيل الجرار4/575)
”Yang dijadikan standar penilaian adalah supermasi hukum,
apabila perintah-perintah serta larangan-larangan di dalam negara itu
milik kaum muslimin sehingga orang-orang kafir tidak bisa menampakkan
kekafirannya kecuali atas izin orang Islam maka negara model ini adalah
negara Islam -sampai ucapan beliau- dan apabila kondisinya berbalikan
dari kondisi pertama maka status negara pun menjadi
kebalikannya’’(As-Sailu Al-Jirar 4/575)
Supermasi hukum di Indonesia sementara ini milik hukum kafir.
Perintah dan larangan serta penetapan halal dan haram (baca: legal dan
illegal) juga milik mereka. Orang kafir di negeri ini juga sangat bebas
menampakkan kekafirannya karena hak menampakkan kekafiran dilindungi
oleh UU kafir itu sendiri sehingga siapapun yang mengusik kekafiran
mereka akan berhadapan dengan aparat-aparat pembela dan penegak UU kafir
itu. Jika sudah demikian keadaannya, bagaimana kita ragu bahwa negara
ini adalah negara kafir??
12. Asy-Syaikh Al-Manshur Al-Bahuti Al-Hanbali.
قال الشيخ منصور البهوتي
و تجب الهجرة على من يعجز عن إظهار دينه بدارالحرب و هي ما يغلب فيها أحكام الكفر ( كشاف القناع للشيخ منصور البهوتي3 /43 )
”Dan ada kewajiban hijrah bagi seorang muslim yang tidak
bisa menampakkan agamanya di negeri harbi (kafir) yaitu negara yang
supermasi hukumnya didominasi olah hukum kafir (Kasysyaful Qona’ 3 /43).
Penjelasan
Ikhwan fillah…di sini Syaikh Manshur Al-Hanbali mengatakan bahwa yang
disebut negara harbi (kafir) adalah negara yang supermasi hukumnya
didominasi oleh hukum kafir sehingga mafhum mukhalafahnya (pemahaman
kebalikannya) jika supermasi hukum di tangan kaum muslimin adalah negara
Islam. Mudah-mudahan pada batas ini antum semakin paham di negara apa
antum tinggal sehingga antum juga memahami sikap yang harus diambil
ketika antum tinggal di negara ini.
13.Para Ulama Dakwah Nejd.
Ketika mereka menerangkan tentang status negara, mereka menukil
ucapan Al-Qodhi Ibnu Muflih yang sudah kita sebutkan sebelumnya, dan
mereka juga menukil fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang Maridin,
setelah itu mereka mengatakan:
“
والأولى هوالذى ذكره القاضى والأصحاب(الدررالسنية فىالاجوبةالنجدية.كتاب الجهاد7.\353جمع ابن قاسم)
“Dan yang utama adalah apa yang di sebutkan Al-Qodhi (Ibnu Muflih)
dan para sahabat (madzhab Hambali). (Ad-Durar As-Saniyah fil Ajwibah
An-Najdiyah bab Jihad 7/353, yang dihimpun oleh Ibnu Qosim).
Penjelasan:
Di sini Aimah Dakwah Najdiyah menyepakati pendapat Ibnu Muflih,
sementara di atas sudah kita sebutkan pendapat beliau bahwa:”Setiap
negara bila dikuasai oleh hukum-hukum Islam maka negara itu adalah
negara Islam dan begitu juga sebaliknya sehingga tidak ada jenis negara
ketiga”. Dapat pula kita fahami bahwa berlakunya hukum di sebuah negara,
baik hukum Islam atau hukum kafir sangatlah terkait dengan kekuatan
yang mengendalikan. Jika yang memegang kekuasaan adalah orang-orang
kafir tentu mereka akan memberlakukan hukum-hukum kafir. Begitu pula
sebaliknya, jika yang berkuasa adalah kekuatan kaum muslimin tentu
sebagai konsekwesi keislaman mereka untuk merealisasikan tauhid asma was
shifat, rububiyah dan uluhiyah, mereka harus menerapkan hukum Islam.
Maka, apabila ada sebuah negara penguasanya mengaku muslim tapi dari
sisi ini mereka memberlakukan UU kafir maka pengakuan keislaman mereka
tidak sah dari pintu ini. Kondisi yang berlaku seperti ini menunjukkan
bahwa mereka tidak merealisasikan tauhid asma wa shifat dan tauhid
rububiyah karena di antara hak khusus ketuhanan Allah ta’ala adalah
Al-Hukmu wa At-Tasyri`(kekuasaan membuat hukum). Ini adalah hak khusus
Allah ta’ala yang tidak boleh diberikan kepada siapapun sebagaimana
firman Allah ta’ala:
إإن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفاصلين (الانعام 57)
Artinya:” ….Semua keputusan hukum hanya di tangan Allah,
Dia-lah yang mengabarkan kebenaran. Dia adalah sebaik-baik pembeda
antara kebenaran dan kebatilan ”(QS.Al an`am 57).
وله الحكم وإليه ترجعون (القصص:70)
Artinya:”…milik Allah-lah hak membuat keputusan hukum dan kepada Dia-lah kalian akan dikembalikan (Q.S Al-Qoshosh:70)
ألا له الخلق والأمر(الاعراف54)
Artinya:…ketahuilah bahwa semua makhluk dan semua urusan adalah milik Allah … (Al-A`rof:54)
إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوإلاإياه (يوسف:40)
Artinya :”…sesungguhnya semua ketetapan adalah milik Allah.
Dia memerintahkan supaya kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya (
Q.S Yusuf : 40 )
ولايشرك فى حكمه أحدا (الكهف:26)
Artinya:…tidak ada seorang pun yang menyertai Allah dalam menetapkan hukum-Nya (Q.S Al-Kahfi:26)
أم لهم شركؤا شرعوا لهم من الدينما لم يأذن به الله (الشورى:21)
Artinya: Apakah orang-orang musyrik itu memiliki
sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka syariat yang
tidak pernah dizinkan Allah?? (Q.S As-Syuro:21)
Ikhwan fillah…perhatikanlah ayat-ayat di atas, niscaya akan antum
dapatkan bahwa menetapkan hukum atau memberikan kewenangan kepada
makhluk untuk menetapkan hukum adalah perbuatan syirik yang otomatis
pelakunya disebut musyrik apabila dia melakukannya dengan sengaja dan
tanpa paksaan. Inilah bentuk kesyirikan yang dilakukan Fir`aun ketika
dia mengatakan:”أ
نا ربكم الأعلى (النازعات:24) yang artinya:”Akulah tuhan kalian yang paling tinggi”(Q.S An-Nazi`at:24)
Jadi ikhwan fillah…ketika Fir`aun mengatakan demikian, dia sama
sekali tidak mengklaim bahwa dirinya mampu menghidupkan dan mematikan,
tidak pula mengaku bahwa dirinya yang menciptakan langit dan bumi, akan
tetapi yang dia maksud dengan kalimat “Aku adalah Robb kalian yang
paling tinggi” adalah bahwa dia mengklaim sebagai orang yang paling
berhak untuk memerintah dan melarang…inilah yang Fir`aun maksudkan bukan
yang lain. Dialah yang berhak menetapkan UU dan inilah bentuk
kesyirikan Fir`aun. Maka silahkan antum perhatikan keadaaan di negeri
ini niscaya akan antum dapati betapa banyak orang yang mengklaim seperti
yang diklaim Fir`aun. jika hal ini sudah jelas bagi antum, maka
ketahuilah hukum mereka juga sama seperti hukum Fir`aun.
14.Syaikhul Islam Muhammad bin Abdulwahhab /As-Syaikh Hamd bin `Atiq
قال شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب\الشيخ حمدبن عتيق:
قداطلع على أن البلد اذا ظهر فيها الشرك وأعلنت فيها المحرمات وعطلت فيهامعالم الدين أنها تكون بلاد كفر(الدرر10\257)
Syaikhul islam Muhammad bin Abdilwahhab/Syaikh Hamd bin `Atiq An-Najdi berkata:
”Telah menjadi maklum status sebuah negeri apabila nampak kesyirikan
di dalamnya dan berbagai macam keharaman dipromosikan dalamnya
berbarengan dengan diabaikannya para dai maka jadilah negeri itu negeri
kafir.(Ad-Durar 10/257 cetakan lama).
Perlu ana beritahukan di sini bahwa kitab Ad-Durar cetakan ini tidak
sama dengan yang dinukil oleh Syaikh Abdul Qadir dalam Al-Jami` yang ana
nukil beberapa kali di atas. Kitab Ad-Durar cetakan ini dihimpun oleh
Ibnu Qosim dan inilah yang sekarang ada di tangan ana -insya Allah-
sedangkan sebelumnya ana menukil dari kitab Al-Jami’.
Ikwan fillah…
(ظهرفيها الشرك) Kesyirikan nampak di negeri itu.
(أعلنت فيهاالمحرومات) Berbagai macam hal-hal haram seakan dipromosikan
(عطلت فيهامعالم الدين) Para dai tauhid ditelantarkan
Inilah tiga ciri yang sangat melekat pada negeri kita hari ini.
Lihatlah kesyirikan-kesyirikan yang bisa antum jumpai di setiap daerah
di negeri ini. Lihatlah sesajen yang rutin mereka berikan untuk jin
penunggu laut. Lihatlah pepohonan, bebatuan, gua-gua, kuburan-kuburan,
berbagai candi, bahkan sapi yang mereka keramatkan dan mereka beribadah
menyekutukan Allah SWT di sana. Lihatlah gedung MPR dan DPR yang
dijadikan markaz untuk merampas hak Allah SWT dalam masalah menetapkan
hukum. Lihatlah media-media,baik cetak maupun elektronik yang tak
henti-hentinya memuat iklan atau tayangan syirik yang tentunya semua itu
dilegalkan bahkan dilindungi oleh UU syirik di negeri ini dengan apa
yang mereka istilahkan sebagai ”kebebasan pers”. Lihatlah adat istiadat
syirik yang banyak tersebar di negeri ini yang dilindungi oleh UU
syirik. Bahkan mereka lestarikan adat istiadat syirik itu dan bangga
dengannya. Mereka menyebutnya sebagai ”Keanekaragaman budaya bangsa”
yang harus dijaga.
Akan tetapi di sisi lain mereka tidak menerima sama sekali Syariat
Islam walau hanya untuk kaum muslimin. Maka, ditinjau dari sisi inilah
Ilyasik masih lebih baik (meski sama-sama syirik) daripada UU negeri
ini. Dahulu, ketika penguasa Tartar menguasai negeri Islam dan
memberlakukan Ilyasik di dalamnya, kaum muslimin masih bisa berhukum
kepada syariat Islam karena UU Ilyasik memperbolehkannya. Begitu pula
halnya pemerintah Fatimiyiin yaitu bani Ubaid bin Qoddah yang dianggap
murtad oleh para ulama kala itu dan negaranya dianggap negara harbi,
mereka masih menunjuk qodhi dan mufti sehingga kaum muslimin masih bisa
berhukum kepada Syariat Islam.
Bandingkan dengan negeri ini ikhwan fillah…yang sama sekali tidak
memberi tempat bagi Syariat Islam, masihkah kita akan melabelinya
sebagai negara Islam negara yang macam ini??? walaa haula walaa quwwata
illa billah.
15.Asy-Syaikh Hamd bin `Atiq.
قال الشيخ حمد بن عتيق:
إنه إذا ظهرفى بلد دعاء غير الله و توابع ذاك و
استمر أهلها و قاتلوا عليه تقررت عندهم عداوة أهل التوحيد و أبوا عن
الانقياد للدين فكيف لا يحكم عليها بأنها بلد كفر ( الدرر 10/263)
Asy-Syaikh Hamd bin ’Atiq berkata :
’’Sesugguhnya apabila nampak pada suatu negeri ritual doa kepada
selain Allah (syirik) dan hal itu dijadikan tuntunan hidup. Apabila
Penduduknya terus-menerus melakukan kesyirikan itu, berperang untuk
membelanya, menyatakan permusuhan kepada ahli tauhid. dan menolak untuk
tunduk kepada Islam, bagaimana mungkin negeri semacam ini tidak bisa
dihukumi sebagai negeri kafir??”(Ad-Durar 10/263).
Penjelasan:
Ikhwan fillah…mari kitaperhatikan perkataan Syaikh Hamd bin ’Atiq di atas:
- Nampak kesyirikan dalam bentuk berdoa kepada selain Allah SWT (ظهرفيهادعاءغيرالله)
Maka negeri ini adalah tempatnya yang kita tidak akan kesulitan untuk
membuktikannya, bahkan hal ini sudah menjadi hal yang maklum di negari
ini.
- Syirik itu dijadikan tuntunan (توابع ذالك)
Hal ini sudah menjadi tradisi bahkan dianggap sebagai cagar budaya bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga.
- Menjadi rutinitas (استمرأهلهاعليها)
Perhatikanlah apa yang kaum musyrikin lakukan pada hari-hari, bulam-bulan, dan pada kondisi-kondisi tertentu.
Acara larung, moment panen raya, moment satu sura, dan yang paling
besar adalah ”hajat” perlima tahun sekali dalam acara pesta syirik
Demokrasi (pemilu) yang bertujuan untuk mengangkat wakil-wakil rakyat
(baca : Arbab dan Ruhban) untuk mereka sembah dengan cara diikuti dan
ditaati dalam penetapan legal dan illegal (baca :halal dan haram).
- Berperang demi membelanya (وقاتلواعليه)
Apakah fungsi tentara dan polisi mereka??? bukankah adalah untuk
menjaga eksistensi UU syirik itu sendiri?? inilah peperangan mereka di
jalan thoghut.
- Pernyataan-pernyataan mereka tentang permusuhan terhadap ahli tauhid (تقررت عندهم عداوة أهل التوحيد)
Hal ini sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat bahwa
gembong-gembong kekafiran (Aimmatul Kufri) menyatakan untuk berdiri dan
berkomitment mendukung pelacur Amerika untuk memerangi ahli tauhid
dengan propaganda yang mereka namakan
perang melawan terorisme.
Para Aimmatul Kufri di negeri ini pun menunjukkan komitmennya dengan
membentuk berbagai detasement khusus di dalam tubuh TNI dan POLRI untuk
memerangi ahli tauhid. Maka, ada Densus Jaka di AL, Densus Bravo di AU,
Densus Jaka Lelana di AD, dan ada Densus 88 di POLRI yang mereka semua
tergabung di bawah koordinasi BNPT dalam rangka berperang di jalan
thoghut.
- Mereka enggan untuk tunduk kepada Islam ( ( أبوا عن الانقياد للدين
Mereka bukan hanya enggan, akan tetapi bahkan memusuhi dan memerangi
syariat Islam beserta para dainya. Lihatlah penjra-penjara mereka yang
tersebar di Maluku, Sulawesi, jawa, dan Sumatra.Terhitung sejak tahun
2000-2011 sudah sekitar seribu orang umat islam yang mereka tangkap atas
tuduhan terkait dengan terorisme dan dalm kurun waktu yang sama sudah
ada sekitar lima puluhan mujahid yang mereka bunuh dalam berbagai
serangan dan penggrebekan sporadis di bawah jargon penggrebekan teroris.
Semoga Allah menerima kesyahidan mereka yang telah berperang di jalan
Allah dan menghinakan mereka yang berperang di jalan thoghut.
16.Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi
Dalam sebuah syair disebutkan
إذا تولّى كافر متغلِِِّب….على دار إسلام و حلّ بها الوجل
وأجرى بها أحكام الكفرعلانيا….وأظهرها جهارا بلا مهلّ
وأوهن بها احكام شرع محمد….و لم يظهرالإسلام فيها وينتحل
فذى دار كفر عند كل محقق….كما قاله أهل الدراية باالنحل
وما كل من فيها يقال بكفره….فرب امرئ فيهم على صا لح العمل
(الجامع 9\103)
Jika orang kafir telah menguasai negara Islam…
Sementara ketakutan telah meliputi negara Islam…
Ia memberlakukan hukum kafir secara terang-terangan…
Ia menampakkannya tanpa menunnda-nunda…
Ia mencampakkan Hukum Syareat Muhammad…
Islam tidak mendominasi bahkan terpinggirkan…
Maka itulah Negara Kafir menurut para ulama peneliti…
Sebagaimana pendapat para pakar Aqidah…
Namun tidak semua penduduknya lantas disebut kafir…
Boleh jadi diantara penduduknya ada yang beramal sholeh…
(dinukil dari Al Jami’ Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz buku ke 9 hal 103 )
perlu Ana beritahukan juga bahwa pembahasan ini sebagian besarnya diambil dari buku beliau ini yaitu buku ke 9 hal 1-116.
Mari kita kembali ke pembahasan, ternyata kita dapati Indonesia sangat cocok dengan apa yang beliau gambarkan dalam syairnya.
17.Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh.
Ketika beliau ditanya tentang kewajiban hijrah dari negeri yang diberlakukan di dalamnya UU positif, beliau menjawab
البلد التي يحكم فيها بالقانون ليست بلد إسلام
تجب الهجرة منها ، و كذلك إذا ظهرت الوثنية من غير نكير ولا غيرت فتجب
الهجرة فالكفر بفشق الكفر و ظهوره، هذا بلد كفر ( فتا وى ورسائل الشيخ محمد
بن إبراهيم آل الشيخ 6/92) جمع محمد بن عبد الرحمن بن قاسم ط 1399 ه بمكة
المكرمة
’’Negara yang diberlakukan di dalamnya UU positif bukanlah
negara Islam sehingga wajib hijrah darinya. Demikian pula apabila nampak
paganisme tanpa ada pengingkaran dan usaha untuk merubahnya maka juga
wajib hijrah. Suatu Negara dikatakan negara Kafir apabila kekufuran
mendominasi dan merajalela’’( Fatawa dan Rosail Syaikh Muhammad bin
Ibrahim Alu Syaikh 6/188 ) dihimpun oleh Muhammad bin Abdurrahman bin
Qosim cet 1399 H Makkah Al-Mukarromah
Perhatikanlah wahai ikhwan…fatwa syaikh yang begitu gamblang dan
jelas sehingga tidak lagi membutuhkan penjelasan yang panjang lebar.
18 Syaikh Abdul Qodir bin Abdul ’Aziz.
Sebagaimana yang sudah ana singgung bahwa pembahasan kita ini banyak
merujuk pada buku beliau yaitu Al-Jami’ fii Tholabi Al-’Ilmi Asy-Syarif,
tepatnya pada buku yang kesembilan. Beliau, dalam buku itu, menampilkan
perkataan para ulama salaf maupun khalaf yang sebagian besarnya sudah
kita bahas sebelumnya sehingga menjadikan hukum yang berlaku pada suatu
negara menjadi patokan untuk menentukan status keislaman dan kekufuran
suatu negara juga menjadi pendapat beliau.
Maka diantara ucapan beliau adalah
إن دار الإسلام هي البلاد الخاضعة لسلطان المسلمين و حكمهم و إن دار الكفر هي البلاد الخاضعة لسلطان الكافر وحكمهم ( الجامع9 /92)
’’Negara Islam adalah negara yang tunduk pada seorang pemimpin
muslim dan hukumnya ( hukum Islam ), sedangkan negara kafir adalah
negara yang tunduk pada seorang pemimpin kafir dan hukumnya (hukum
Kafir)’’ (Al jami’9/97)
Ini adalah salah satu ucapan beliau. Beliau, dalam bukunya, berbicara
tentang kafirnya Negara yang dibelakukan di dalamnya UU positf
sebagaimana fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Beliau juga
berbicara tentang konsekwensi-konsekwensi syar’ie yang terkait dengan
Negeri Kafir.
19.Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisy
و نقول بقول الفقهاء عن الدارإذا علتها أحكام
الكفر و كانت الغلبة فيها للكفار وشرائعهم ، إنها دار كفرـ إلى أن قال ـ
فإن هذا المصطلح يطلق على الدار إذا علتها أحكام الكفر، وإن كان أكثر أهلها
مسلمين . كما يطلق مصطلح دار الإسلام على الدار التي علتها أحكام الإسلام و
إن كان أكثر أهلها كفار (من كتاب هذه عقيدتنا للشيخ أبي محمد عاصم
المقدسي ص 39 )
’’kami sepakat dengan para fuqaha tentang status suatu
negeri apabila yang memayunginya adalah hukum-hukum kafir dan
orang-orang kafir beserta aturan-aturan mereka dominan di dalamnya maka
negeri itu adalah negeri Kafir- sampai perkataan beliau-sesungguhnya
istilah ini diterapkan secara mutlak bagi suatu negeri yang dipayungi
oleh hukum kafir meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin.
Sebagaimana istilah negara Islam juga disematkan secara mutlak kepada
negara yang dipayungi oleh hukum Islam meskipun mayoritas penduduknya
adalah orang-orang kafir (kitab Hadzihi ’Aqidatuna oleh Syaikh Abu
Muhammad ’Ashim Al-Maqdisy hal 39)
Ikhwan fillah…Alhamdulillah telah selesai penukilan 19 perkataan para
ulama tentang `illat(alasan hukum) sebuah negara statusnya menjadi
Kafir atau Islam, dimana telah nampak bagi kita kesepakatan para ulama
bahwa `illat (alasan hukum) untuk menvonis status sebuah negara adalah
hukum yang berlaku di dalamnya meskipun mereka terkadang sedikit berbeda
dalam menggunakan istilahnya. Terkadang para ulama juga
mengikutsertakan kekuatan yang mendominasi atau keislaman penguasanya
yang mana semua itu terikat dengan hukum yang berlaku tadi. Jika yang
berkuasa adalah pemimpin Islam dan kekuatan yang mendominasi adalah
kekuatan Islam maka konsewensi pengakuan keislaman mereka menuntut
mereka harus menerapkan syariat Islam sebagai UU negara. Jika mereka
mengaku Islam tapi tidak menerapkan UU Islam justru menerapkan UU
positif tentu keislaman mereka jadi batal karena berhukum kepada Allah
dan Rasul-Nya adalah termasuk ibadah yang hanya boleh diberikan kepada
Allah SWT saja. Hal ini juga merupakan hak khusus Allah SWT dalam
tauhid uluhiyah,sehingga memalingkan hal ini kepada selain Allah SWT
atau menyekutukannya bersama Allah SWT adalah syirik dalam uluhiyah.
Adapun memberikan kewenangan untuk merancang, membuat, dan menetapkan UU
kepada selain Allah SWT, seperti misalnya memberikan kewenangan kepada
DPR, MPR, presiden ataupun selain mereka untuk hal-hal di atas termasuk
syirik dalam rububiyah. Hak merancang, membuat, dan menetapkan hukum
hanyalah hak Allah SWT secara mutlak sehinngga hak khusus ini tidak
boleh disandarkan kepada seorangpun dari makhluk-Nya, dipalingkan kepada
selain-Nya, ataupun dipersekutukan di dalamnya makhluk apapun bersama
Allah SWT.
Begitu juga sebaliknya, Jika hukum yang berlaku pada sebuah negara
adalah hukum Islam ini menunjukkan bahwa pemimpin dan kekuatan yang
mendominasi adalah Islam. Maka, dari sisi ini negara itu adalah negara
Islam, meskipun kekafiran bisa muncul dari sisi lain karena tidak
mungkin jika penguasanya kafir dan kekuatan kafir mendominasi mereka
akan menjadikan hukum Islam untuk mengatur negaranya. Maka, sudah sangat
tepat `illat yang disebutkan para ulama yaitu hukum yang berlaku.
Ikhwan fillah..kita mungkin pernah mendengar atau membaca
pernyataan-pernyataan dari kaum muslimin baik dari kalangan kalangan
awwam ataupun kalangan cendekiawan semisal para ustadz , kyai atau
bahkan ulama yang mereka tidak menjadikan hukum yang berlaku untuk
menilai status sebuah negara apakah kafir atau Islam. Akan tetapi, sudut
pandang penilaian mereka antara lain ;
A.Agama yang dianut oleh mayoritas warga Negara.
Terkadang ada yang menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menghukumi
status sebuah negara. Mereka mengatakan:”Bagaimana mungkin kalian
menganggap negara si fulan negara kafir padahal mayoritas penduduknya
adalah muslim?? atau mereka mengatakan:”Bagaimana mungkin kalian
menganggap negara si fulan negara Islam padahal mayoritas penduduknya
adalah kafir??” dan ucapan-ucapan semisal yang menunjukkan bahwa menurut
mereka yang menjadi `illat sebuah negara kafir/Islam adalah agama
mayoritas yang dianut oleh penduduknya.Maka, untuk menjawab syubhat
semisal ini kami katakan:
”Ketahuilah bahwa menjadikan agama mayoritas yang di anut oleh
penduduk sebagai standar dalam menentukan status sebuah negara adalah
sebuah kesalahan, minimal karena dua alasan yaitu;
- Pertama, pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan juga para aimmah lain
setelah beliau bahwa syarat penentuan status sebuah negara adalah hukum
yang berlaku di negara itu. Terkadang para ulama mengikutsertakan
syarat kekuatan yang mendominasi dan keislaman penguasa, bukan agama
yang dianut oleh mayoritas penduduknya.
- Kedua, dalil yang sangat pas untuk membantah klaim diatas adalah
wilayah Khaibar yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Khaibar
ditaklukkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat pada tahun 7 H dan
setelah ditaklukkan penduduknya tetap diizinkan untuk tinggal di sana
oleh Rasululloh saw untuk menggarap lahan pertanian yang sudah menjadi
hak kaum muslimin ( khoroj ) sebagaimana diceritakan dalam HR.Bukhori
no.4248. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus seorang shahabat anshor
untuk menjadi gubernur di Khaibar.(HR.Bukhori no 4246-4247)
Maka, dengan kondisi seperti yang dipaparkan di atas, sudah barang
tentu Khaibar termasuk wilayah negara Islam meskipun mayoritas
penduduknya adalah Yahudi sebagaimana wilayah Taima` dan Fada`. Kedua
wilayah ini juga termasuk wilayah negara Islam meskipun penduduknya
mayoritas adalah Yahudi karena daerah-daerah itu dikuasai oleh penguasa
muslim dan kekuatan yang mendominasi adalah kekuatan Islam sehingga
hukum yang berlaku di daerah itu sudah barang tentu adalah hukum Islam.
Mungkinkah shahabat anshor yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjadi
gubernur Khaibar tidak menerapkan hukum Islam di sana??
Orang Yahudi tetap tinggal di Khaibar sampai suatu masa ketika
Al-Faruq Umar Ibnul Khotob mengusir mereka dari sana pada masa
kekhilafahan beliau. Willayah yang ditinggali Bani Tsaghlab yang
beragama Nashrani dan mereka membayar Jizyah pada masa khalifah
Al-Faruq juga termasuk wilayah negara Islam meskipun mayoritas
penduduknya adalah Nashrani.
Al-Imam Ibnu Hazm ketika mengomentari hadits Rasulullah saw berkata ;
أنا برئ من كل مسلم يقيم بين أظهرالمشركين
Beliau berkata: ”Maksud Rasulullah dari hadits ini adalah darul
harbi karena sungguh beliau telah mengangkat wakil-wakil beliau di
Khaibar padahal seluruh penduduknya adalah Yahudi. Maka, jika sebuah
negara ditempati oleh ahlu dzimmah semata dimana tidak ada kaum muslimin
yang hidup bersama mereka. Kemudian, apabila ada orang Islam yang
tinggal di tempat itu dalam rangka menjalankan pemerintahan atau untuk
berniaga, maka dia tidak serta merta disebut sebagai orang kafir atau
orang yang berbuat kesalahan, melainkan dia adalah muslim yang berbuat
baik dan negara mereka adalah negara Islam bukan negara syirik karena
sebuah negara dinisbatkan terhadap pihak yang berkuasa dan memerintah.
(Al-Muhalla 11/200).
Khaibar,Taima`, Fada`dan Tsaghlab adalah contoh daerah yang mayoritas
penduduknya beragama Yahudi dan Nashrani tetapi tetap disebut sebagai
bagian dari negara Islam karena berada di bawah kekuasaan kaum muslimin
dan diberlakukan hukum Islam di sana. Adapun contoh negara yang
mayoritas penduduknya muslim tapi negaranya disebut dan dihukumi sebagai
negara harbi (kafir) adalah Mesir saat dikuasai oleh daulah bani Ubaid
ibnu Qoddah yang menamakan dirinya Fatimiyyah.
Syaikhanil Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdilwahhab menyebut ijma`
bahwa negara mereka saat itu adalah negara kafir murtad dikarenakan
penguasanya adalah orang-orang zindiq dan murtad yang menampakkan
kesyirikan serta nampak pula pada negara itu hukum-hukum yang
menyelisihi syariat.
Bani Ubaid bin Qoddah ini menguasai Mesir selama 280 tahun. Meskipun
penduduk Mesir pada rentang periode itu mayoritasnya adalah umat islam
ahlus sunnah, bani Ubaid juga masih menerapkan sebagian hukum –hukum
Islam, mereka juga mendirikan shalat jum`at dan jama’ah serta mengangkat
mufti dan qodhi, para ulama Islam tetap sepakat Mesir saat itu adalah
daarul murtad. Kesepakatan itu telah ditandatangani pada tahun 402 H
oleh para ulama Ahlus Sunnah dan ulama Syi`ah Ismailiyyah sendiri serta
telah dicatat oleh para ulama dalam kitab-kitab masyhur seperti:
1.Al-Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah 2/370-371.
2.Al-Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi dalam Siyar A`lam An-Nubala 15/154-156.
3.Ar- Ru`aini dan Al-Qodhi Iyadh dalam Tartibul Madarik 2/229-230.
4.Al-Imam Abu Syamah dalam Ar-Raudhatain fi Akhbar Ad-Daulatain 2/222.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
ولآجل ما كانواعليه من الزندقة والبدعة بقيت المصرية مدة دولتهم
تحت مائتى سنة قد انطفأ نورالإسلام والإيمان حتى قالت فيها العلماء:إنها
كانت دار ردة ونفاق كدار مسيلمة الكذاب(المجموع الفتاوى35\139)
”Oleh karena kezindiqan dan kebid`ahan mereka ketika Mesir berada
dibawah kekuasaan mereka selama lebih 200 tahun, padamlah cahaya Islam
dan iman di Mesir kala itu sehingga berkatalah para ulama:”Sesungguhnya
Mesir telah menjadi darul riddah dan nifak seperti negara Musailamah
Al-Kadzdzab”(Al-Fatawa 35/139).
Jadi ikhwan fillah…Mesir saat dikuasai bani Ubaid Ibnu Qoddah adalah
contoh nyata bahwa agama yang dianut oleh nmayoritas penduduk bukanlah
standar untuk menilai status sebuah negara akan tetapi standar penilaian
sebuah negara apakah Islam atau kafir adalah hukum yang berlaku yang
sangat identik dengan kekuatan yang mendominasi dan keislaman sang
penguasa. Oleh karena itu, Al-Imam Abu Qosim Ar-Rafi`I As-Syafi`i
berkata:
كونهافى يدالإمام وإسلامه (فتح العزيزشرح الجيزللرافعى8\14) وليس من شرط دارالإسلام أن يكون فيها مسلمون بل يكتفى
“
”Bukanlah merupakan syarat sebuah negara Islam itu bahwa yang
tinggal di dalamnya adalah kaum muslimin akan tetapi cukup dengan
statusnya yang berada dibawah kekuasaan imam dan keislamannya (dibawah
pemerintahan muslim)” (Fathul `Aziz Syarhu Al-Wajiz 8/14).
Maka batallah anggapan yang menjadikan agama mayoritas yang dianut
masyarakat di dalam sebuah negara untuk menghukumi status negara
tersebut.Akan tetapi, yang menjadi standar penentuan hukum sebuah negara
adalah hukum yang berlaku yang terkait erat dengan penguasa dan
kekuatan Islam yang memerintah-wallhu a`lam bisshowab-.
B.Adanya Penampakan Syi’ar-Syi’ar Keagamaan.
Hal ini juga bukan alasan syar’ie untuk menentukan status sebuah
negara akan tetapi sangat disayangkan hal ini sering dijadikan alasan
oleh sebagian kalangan dari kaum muslimin. Maka, terkadang kita
mendengar atau membaca ungkapan-ungkapan mereka ”Bagaimana mungkin
kalian mengkafirkan negara si fulan padahal di sana banyak berdiri
masjid-masjid yang di dalamnya disebut asma Allah
Ta’ala pagi
dan sore, siang dan malam. Kumandang adzan juga terdengar di berbagai
pelosok negeri, sholat jama`ah dan sholat jum`at serta sholat dua hari
raya juga menjadi kebiasaan yang selalu diselenggarakan. Kajian-kajian
keislaman juga marak di negeri itu baik di masjid-masjid, kampus-kampus
bahkan di media-media pun kita bisa dengan mudah mendapati acara-acara
keislaman. Maka, bagaimana mungkin kalian kafirkan negara yang seperti
ini??!!”. Begitulah kurang lebih ucapan-ucapan sebagian dari mereka yang
sampai kepada kita dimana intinya mereka menolak untuk megkafirkan
sebuah negara yang syi`ar-syi`ar Islam nampak dan nyata di negara itu.
Ikhwan fillah…kita tidak perlu silau dan ragu ketika mendengar
ucapan-ucapan di atas yang seolah-olah indah dan sesuai dengan perasaan
karena dien ini tidak dibangun di atas perasaan akan tetapi ketahuilah
bahwa dien ini dibangun di atas hujjah syar`iyah yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Maka, untuk menjawab syubhat di atas kami katakan ;
Rasululloh SAW dan para sahabat yang bersama beliau SAW di masa-masa
awal dakwah Islam di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, yang kemudian
juga dilanjutkan oleh para sahabat dan shahabiyah yang belum menyusul
hijrah ke Madinah karena alasan tertentu, mereka melaksanakan
syi`ar-syi`ar Islam yang sudah turun selama fase Makkah seperti dakwah
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat baik secara
terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka juga membaca Al-Qur`an
yang sudah turun pada fase itu dan mereka juga mendirikan shalat serta
seluruh syariat yang sudah turun. Apakah adanya penampakan syi`ar-syi`ar
Islam di Makkah kala itu, padahal yang melakukan syi`ar-syiar Islam itu
adalah Rasulullah SAW dan para sahabat utama di periode awal Islam,
menjadikan Makkah berstatus negara Islam?!… jika Antum sudah bisa
memahami persoalan pada batas ini maka Alhamdulillah. Makkah saat itu
tidak disebut negara Islam, oleh karena itu Rasulullah SAW memerintahkan
para sahabat untuk meninggalkan Makkah untuk mencari suaka dari
intimidasi kafir Quraisy sekaligus untuk mengembangkan dakwah islamiyah.
Beliau SAW sendiri juga berhijrah meninggalkan Makkah menuju ke Madinah
yang diantara tujuannya adalah dalam rangka menghindari intimidasi di
negara kafir Makkah saat itu dikuasai oleh kekuatan kafir musyrik dan
dikendalikan oleh salah satu thoghut mereka yaitu Abu Hakam alias Abu
Jahal yang berperan sebagai ahli hukum kafir saat itu.
Antum perhatikan pula sahabat Ja`far Bin Abi Thalib beserta sejumlah
sahabat dan sahabiyah ketika mereka hijrah ke Habasyah. Mereka tinggal
di sana selama kurang lebih 6 tahun dengan tentunya melaksanakan
syariat yang sudah sampaikepada mereka selama di Makkah bersama
Rasulullah SAW, mendakwahkan dan menampakkan agama mereka (idzharu dien
). Dialog antara mereka, Raja Habasyah dan Amru Bin Ash (saat itu masih
kafir) sangatlah terkenal. Apakah penampakkan syi`ar-syi`ar Islam oleh
para sahabat lantas merubah Habasyah menjadi negara Islam ??! . Ingatlah
juga keadaan Mesir saat dikuasai oleh bani Ubaid Bin Qoddah (kisah
ini sudah kita sebut diatas) yang penduduk Mesir pada saat itu
mayoritas adalah Islam Sunni yang tetap melaksanakan syi`ar-syi`ar
Islam yang mampu mereka laksanakan selama masa kekuasaan bani Ubaid
ini.Padahal, bani Ubaid menguasai Mesir selama kurang lebih 280 tahun
dan meskipun demikian para ulama telah ijma` bahwa Mesir saat itu
adalah Negara Riddah dan Nifak. Syi`ar-syi`ar Islam yang dilakukan oleh
mayoritas penduduk Mesir yang muslim sunni saat itu tidak serta merta
merubah status Mesir kala itu menjadi Negara Islam.
Ingatlah pula fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang negeri
Maridin saat dikuasai oleh bangsa Tartar. Beliau rhm mengatakan bahwa
Maridin bukan negara Islam meskipun mayoritas penduduknya muslim serta
tetap melaksanakan syi`ar-syi`ar Islam. Maka, salah satu konsekwensi
bagi penganut pendapat ini yang menetapkan keberadaan syi`ar-syi`ar
Islam adalah standar untuk menilai status keislaman sebuah negara mereka
harus ’mengatakan semua negara di dunia atau paling tidak mayoritasnya
sebagai negara Islam. Amerika, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia,
Singapura, Cina, Belanda, dan bahkan Israel pun adalah negara Islam jika
kita menerima pendapat di atas. Kenapa?! karena kaum muslimin yang
tinggal di negara-negara itu juga melaksanakan syi`ar-syi`ar Islam yang
tidak dilarang oleh pemerintah negara-negara tersebut. Inggris misalnya,
di sana Antum akan kesulitan menghitung banyaknya jumlah masjid dan
banyaknya bekas bangunan gereja dan yang lain yang kemudian diubah
menjadi masjid. Jumlah kaum muslimin juga cukup banyak dan terus
bertambah begitu pula di negara-negara lain.Syi`ar-syi`ar Islam seperti
shalat jamaah dan jum`at, dakwah dan kajian-kajian Islam nampak dan
dikerjakan terbuka selama tidak dilarang oleh UU setempat. Inggris,
konon termasuk negara yang paling longgar terhadap masyarakatnya yang
muslim akan tetapi apakah dengan demikian kita akan mengatakan bahwa
Inggris, Amerika dan Israel adalah negara Islam?!
Jangankan orang yang sehat akalnya, orang yang kurang sehat akalnya
pun barangkali akan cepat-cepat bilang tidak setuju kalau Amerika,
Inggris dan Israel dikatakan sebagai negara Islam…bahkan contoh yang
paling dekat adalah negara kita tercinta
ini, bumi nusantara yang di dalamnya terkubur ribuan bahkan mungkin jutaan syuhada
(نحسبهم كذالك والله حسابهم)
selama rentang waktu tidak kurang dari 350 tahun, dalam upaya
mempertahankan setiap jengkal tanah nusantara tercinta dari penjajahan
bangsa-bangsa musyrik dan kafir. Selama rentang waktu di atas jihad
daf`ul shail (mempertahankan diri dan ini adalah fardu `ain) di bumi
nusantara ini terus dikobarkan oleh putra-putra Islam mujahidin
nusantara sampai Allah SWT berkehendak dengan berdirinya Negara RI pada
17-8-45 di bumi nusantara tercinta. Negara ini menggunakan Pancasila dan
UUD 45 sebagai acuan dasar dalam hukum negara dan menggunakan ideologi
nasionalis demokrasi yang jelas-jelas tidak ada hubungannya sama sekali
dengan Islam. Meskipun demikian, penduduk negeri ini mayoritas adalah
muslim dan syi`ar-syi`ar Islam nampak di negeri ini. Bahkan, ada
daerah-daerah tertentu yang mendapat julukan islami seperti serambi
Makkah, daerah seribu masjid, kota santri, ataupun kota para wali. Akan
tetapi, apakah sebab-sebab di atas cukup untuk mengatakan negara ini
adalah negara Islam??!. Padahal hukum yang berlaku dan kekuatan yang
mendominasi bukanlah hukum dan kekuatan Islam!!!. Lebih-lebih
penyelenggara negeri ini saja sudah sering memberikan statement bahwa RI
ini bukan negara Islam!!!
Tapi anehnya, ada pihak-pihak dari kaum muslimin yang tetap ngotot
mengatakan bahwa RI adalah negara Islam yang kita harus sam`u wa tho`ah
kepada amirnya, haram bagi kita memberontak, bahkan tidak boleh
membicarakan kejelekannya. Mereka mengatakan bagi siapa saja yang
memberontak, tidak mentaati atau membicarakan aib-aibnya adalah
Khawarij, anjing-anjing neraka yang justru merekalah yang harus diperangi karena status mereka adalah
Bughot. Sebagian kaum muslimin itupun menghasut “Waliyatul Amri” mereka untuk membasmi kaum muslimin yang mereka anggap
Khawarij dan Bughot.
Yaa Ikhwan fillah…bukankah demikian yang terjadi???.
Bukankah mereka ada disekitar antum??? bukankah mereka memiliki
berbagai pesantren, majalah, radio dan buletin-buletin??. Terkadang
mereka mengaku paling Ahlus Sunnah dan paling salafi serta tak jarang
mereka mengembel-embeli nama-nama mereka sendiri dengan gelar-gelar
bid`ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, tidak juga
para sahabat dan tabi`in serta tabi`ut tabi`in, bahkan tidak juga oleh
para ulama muktabar yang tsiqoh dari setiap masa.
Mereka mengaku mencintai Laila…tapi Laila tak pernah mencintai mereka…
Yang mencintai mereka adalah para thoghut durjana…
Karena kerelaan dan kesetiaan mereka untuk menjadi anshornya…
Dan mereka ridha thoghut sebagai “waliyatul amrinya”…
Ana punya pengalaman”berkesan” dengan kelompok Islam yang ana sebut
di atas,sekitar bulan-bulan terakhir dari tahun 2003 di sebuah kapal
dalam satu perjalanan menuju salah satu daerah di Indonesia tengah.
Dengan takdir Allah Ta’ala, ana berjumpa dengan sekelompok dari mereka
yang juga dalam perjalanan menuju daerah Indonesia tengah. Mereka
berkumpul di sekitar mushala kapal yang berada di dek atas. Ana
perhatikan di tengah mereka ada kitab yang sedang mereka baca atau
mungkin sedang mereka hafalkan dengan penuh semangat. Ana sempat melihat
salah satu dari mereka memegang kitab “Musthalahatu Al-Hadits” maka ana
pun mendekati mereka untuk kemudian mengucapakan salam dan mereka pun
menjawab salam dengan baik dan ramah. Sejurus kemudian, kamipun duduk
bersama dan berbincang-bincang, dari perbincangan itu ana tahu bahwa
mereka adalah lulusan baru dari sebuah pesantren di Solo yang akan
mengadakan wiyata bakti sebagai ustadz-ustadz pembimbing atau
semisalnya. Salah satu topik obrolan itu sampai pada masalah jihad,
dimana salah seorang diantara mereka yang menurut pengamatan ana-
wallahu a`lam – adalah yang paling dianggap senior, menjelaskan kepada
ana syarat-syarat jihad yang salah satunya harus izin kepada waliyatul
amri (perlu diketahui saat itu presiden RI adalah Megawati) dan
merupakan kesalahan apabila Jihad yang dilakukan tanpa seizin pemimpin.
Kemudian, dia memberi contoh dengan mengatakan sesuatu yang kurang
lebih seingat ana adalah :”Seperti di Indonesia ini kalau ada diantara
kita yang mau berjihad ya harus izin dulu sama presiden sebagai
pemimpin…maka, ana katakana: Ooo..gitu ya ustadz…dia menjawab: ”iya,
itu harus!! Sekarang presiden kita siapa?? ( setelah mengatakan haal
ini dia diam agak lama) ana katakan: ”Megawati ustadz”, dia melanjutkan
:”haa…itu intinya harus izin dulu sama pemimpin”.maka ana kejar dengan
pertanyaan :”biarpun pemimpinnya wanita ustadz?? Dia katakana :
“kaidahnya harus izin pemimpin”,maka saat itu ana lihat mereka saling
berpandangan satu sama lain kemudian diantara mereka ada yang
berdiri,dan orang yang ana panggil ustadz juga berdiri dan mengatakan
kepada yang berdiri tadi (إحذ ر بهذاالرجل كأنه خارجى) ”Waspadalah dengan
laki-laki ini (maksudnya ana) sepertinya dia dari kalangan Khawarij”,
lalu dia pergi.
Begitulah kurang lebih pengalaman ana dengan mereka. Ana benar-benar
tidak habis pikir apa sebab mereka sampai kehilangan akal sehat sehingga
mengakui kepemimpinan wanita sebagai kepala negara dan mengharuskan
izin untuk pergi berjihad kepada wanita!! Jika dalam lingkup yang
paling kecil semisal rumah tangga saja kepala rumah tangga adalah suami
bukan istri, apa gerangan bagi negara?? apakah mereka tidak membaca
hadits-hadits tentang larangan menjadikan wanita sebagai pemimpin??.
mana klaim mereka yang terkadang mengaku paling ahlul hadits?? ataukah
mereka membaca tapi bacaan mereka tidak sampai melewati
kerongkongannya?? wallahu a`lam bis shawab. Yang jelas, sampai saat ini
ana teringat kitab Musthalahatu Al-Hadits yang saat itu mungkin sedang
dihafal oleh salah satu dari mereka.
Ikhwan fillah..kita tinggalkan mereka dan mari kita kembali pada
pembahasan. Jadi, penampakan syi`ar-syi`ar keagamaan pada suatu negara
bukanlah standar patokan bahwa negara tersebut disebut Islam atau kafir.
Oleh karena itu, ketika Al-Imam Al-Mawardi mengatakan:
إذاقد رعلى إظهاراالدين فى بلد من بلادالكفر فقد صارت البلد به
دارالإسلا م فالإقامة فيها أفضل من الرحلة منها لما يترجى من دخول غيره فى
الإسلام
“Jika Dinul Islam mampu ditampakkan secara terang-terangan di salah
satu negara kafir, berubahlah negara kafir itu menjadi negara Islam,
sehingga tinggal di dalamnya adalah lebih baik daripada hijrah darinya
karena diharapkan penduduk yang lainnya akan masuk Islam”.
Setelah mengutip ucapan Al-Mawardi tadi, Al-Imam Syaukani Al-Yamani mengkritiknya dengan mengucapkan:
ولايخفى مافى هذاالرأي من المصادة لأحاديث الباب القاضية بتحريم الإقامة فى دارالكفر(نيل الأوطار8\178)
“ Jelas bahwa pendapat ini bertentangan dengan hadits-hadits yang
berbicara tentang haramnya tinggal di negara kafir (Nailu Al-AuthAr
8/178).
Jadi, penampakan syi`ar-syi`ar Islam yang dijalankan oleh kaum
muslimin di negara kafir tidak lantas merubah status negara kafir itu
menjadi negara Islam. Begitu pula sebaliknya, penampakan syi`ar-syi`ar
kafir di negara Islam tidak lantas merubah status negara Islam itu
menjadi negara kafir. Khaibar,Taima`, dan Fada`merupakan wilayah yang
mayoritas penduduknya adalah Yahudi yang tentu mereka masih melakukan
syi`ar-syi`ar agamanya, meskipun barangkali tidak secara sempurna, akan
tetapi daerah-daerah itu tetap menjadi bagian negara Islam dibawah
kendali Rasulullah SAW kala itu. Begitu pula daerah bani Tsaghlab yang
mayoritas penduduknya Nashrani yang tentu mereka masih melakukan
syi`ar-syi`ar agamanya, akan tetapi meskipun demikian daerah itu tetap
menjadi wilayah negara Islam saat mereka membayar Jizyah kepada khalifah
Al-Faruq Umar Bin Khottob.
Jadi yang menjadi standar penilaian bukanlah penampakan
syi`ar-syi`ar, akan tetapi hukum yang berlaku yang sangat identik dengan
kekuatan yang menguasai dan keislaman penguasa, Al-Imam As-Syaukani
Al-Yamani mengatakan:
الإعتباربظهورالكلمة فإن كانت الأوامروالنواهى فى الدار لأهل
الإسلام بحيث لا يستطيع من فيها من الكفارأن يتظاهربكفره إلالكونه مأدذونا
له بذالك من أهل الإسلام فهذه دار الإسلام ولايضرظهورالحصال الكفرية
فيهالأنها لم تظهربقوةالكفارولابصولتهم كما هو مشاهد فى أهل الذمة من
اليهود والنصارى والمعاهدين الساكنين فى المدائن الإسلامية وإذاكان الأمر
بالعكس فالداربالعكس(السيل الجرار4\575)
“Standarnya adalah supermasi kekuasaan apabila perintah dan larangan
di negara itu dikendalikan oleh kaum muslimin, dimana orang-orang kafir
yang tinggal didalamnya tidak bisa melaksanakan ajaran-ajaran kafir
mereka kecuali atas izin kaum muslimin maka inilah yang dinamakan negara
Islam, dan tidaklah berpengaruh penampakan syi`ar-syi`ar kafir di
dalamnya karena syi`ar-syi`ar itu tidak dinampakkan oleh kekuatan dan
kekuasaan kafir, sebagaimana bisa dilihat pada diri ahlu dzimmah dari
kalangan Yahudi dan Nashrani, serta orang-orang kafir ahlul`ahdi (yang
terikat perjanjian) yang tinggal di kota-kota kaum muslimin. Apabila
kondisi yang berlaku adalah kebalikannya, maka status hukum Negara itu
pun menjadi kebalikannya (As-Sailu Al-Jaror 4/575).
C.Keamanan yang dirasakan di dalam negeri
Terkadang hal ini juga dijadikan hujjah untuk menetapkan status
sebuah negara, padahal hal ini sama sekali bukanlah hujjah. Ja`far Bin
Abi thalib beserta para sahabat yang lain berada dalam keadaan aman
ketika berada di Habasyah karena Raja Najasyi melindungi keberadaan
mereka, akan tetapi hal itu tidak lantas merubah status Habasyah menjadi
negara Islam. Sebagaimana keamanan yang diperoleh orang kafir yang
tinggal di wilayah negara Islam dengan membayar jizyah atau dengan
syarat-syarat lain sehingga mereka aman tinggal di sana, akan tetapi
tentu saja tidak lantas merubah status negara Islam tersebut menjadi
negara kafir.
Ikhwan fillah…itulah beberapa syubhat yang terkadang kita dengar
tentang standarisasi penentuan sebuah negara, sekiranya ada
syubhat-syubhat lain selain yang telah kami sebutkan, maka
syubhat-syubhat tersebut tetaplah tidak mempengaruhi ketentuan yang
sudah digariskan oleh para ulama dalam pembahasan ini.
Kemudian hal lain yang juga perlu antum ketahui adalah adanya
kemungkinan berubahnya status sebuah negara karena dari pembahasan yang
sudah berlalu, tampak dari ucapan-ucapan para ulama bahwa negara itu
bisa berubah statusnya dari negara Islam menjadi negara kafir atau pun
sebaliknya. Hal ini perlu kita sampaikan mengingat adanya pihak-pihak,
bahkan dari kalangan ulama terpercaya, yang beranggapan bahwa negara
Islam tidak bisa berubah statusnya menjadi negara kafir apapun
alasannya, dengan berdalil
الإسلام يعلوولايعلى عليه
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya” (H.R
Ad-Daruquthni dengan sanad hasan dari `Idz Bin Amru secara marfu` juga
diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu`alaq dalam kitab Janaiz).
Yang berpendapat demikian adalah Ibnu Hajar Al-Makki Al-Haitsami
As-Syafi`i dan sebagian ulama kontemporer yang mengikuti pendapat beliau
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdil Aziz dalam
Al-Jami` hanya saja beliau tidak menyebut siapa ulama konteporer yang
berpendapat demikian. Adapun pendapat Ibnu Hajar Al-Haitsami di atas
terdapat dalam buku beliau (العبرة فيما وردفى الغزو والشهادة والهجرة)
pada halaman 240 yang diterbitkan oleh Daar Al-Kutub Al- `Ilmiyah tahun
1405 H.
Kesalahan pendapat beliau nampak jelas sekali apabila kita
bandingkan dengan pendapat jumhur ulama tentang syarat penentuan status
negara itu sendiri, yaitu adanya dalil-dalil khusus yang menunjukkan
bahwa standar penilaian sebuah negara adalah hukum yang berlaku dan
sangat identik dengan kekuatan yang mendominasi dan keislaman sang
penguasa. Dalil-dalil khusus ini lebih kuat daripada dalil-dalil umum
yang dijadikan pegangan oleh Al-Imam Ibnu Hajar, sementara para ulama
telah bersepakat bahwa dalil khusus didahulukan daripada dalil umum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
فإن كون
الأرض(داركفر)أو(دارإسلام)أو(إيمان)أو(دارسلم)أو(حرب)أو(دارطاعة)أو(معصية)أو(دارالمؤمنين)أو(الفاسقين)أوصاف
عارضةلالازمة فقد تنتقل من وصفٍ إلى وصفٍ كما تننقل الرجل بنفسه من
الكفرإلى الإيمان والعلم وكذالك بالعكس(مجموع الفتاوى27\45)
“Sesungguhnya status sebuah wilayah sebagai negara kafir, negara
Islam, negara iman, negara silmi, negara harbi, negara taat, negara
maksiat, negara mukmin, ataupun negara fasiq adalah sifat yang bisa
berubah dan tidak tetap yang terkadang berubah dari satu sifat ke sifat
yang lain seperti halnya seorang laki-laki yang bisa berubah dari kafir
menjadi beriman dan berilmu, dan begitu juga sebaliknya (Majmu` Al
fatawa 27/45, dan beliau mengulangi penjelasan masalah ini pada halaman
143-144 juga ada di juz 18/282).
Penjelasan syaikhul Islam ini sangat sesuai dengan pendapat jumhur
yang sudah kita sebut diatas. Jika pendapat Ibnu Hajar adalah benar
tentu akan berkonsekwensi bahwa orang kalau sudah masuk Islam berarti
dia tidak bisa menjadi murtad meskipun melakukan amal-amal kemurtadan
karena:ا
لإسلام يعلوولايعلى عليه (Islam itu tinggi dan
tidak ada yang menandingi ketinggiannya), maka hal ini jelas
bertentangan dengan Al-Kitab,As-Sunnah, dan Al-Ijma`. Meskipun pendapat
beliau (Ibnu Hajar Al Haitsami ) ini salah, beliau tetap mendapat satu
pahala dari ijtihadnya karena kita tidak ragu bahwa beliau adalah
seorang mujtahid, akan tetapi sudah seharusnya kesalahan beliau ini
tidak lantas diikuti.- wallahu a`lam-.
Ikhwan fillah…ketahuilah bahwa negara kafir itu bermacam-macam jika
kita pandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sebagai contoh:
ð Ditinjau dari sudut pandang kekafirannya apakah terjadi sejak awal ataupun belakangan.
Nah..,ditinjau dari sisi ini Negara kafir dibagi menjadi:
a.Negara Kafir Asli
Yaitu Negara yang belum pernah sama sekali menjadi negara Islam,
misalnya: Jepang, Cina timur, negara-negara di belahan benua Amerika
utara maupun selatan, dan Australia. negara-negara ini disebut negara
kafir asli karena belum pernah menjadi negara Islam.
b.Negara Kafir Thaariy (jajahan)
Yaitu Negara yang pada satu masa pernah menjadi negara Islam lalu
dijajah dan dikuasai oleh orang kafir. Ambil contoh diantaranya antara
lain: Andalusia (Spanyol dan Portugal hari ini), Palestina, dan Eropa
timur yang dulu pernah dikuasai oleh daulah Utsmaniyah seperti Rumania,
Bulgaria,Yugoslavia (Bosnia dan Kroasia hari ini), Yunani, dan Albania.
c.Negara Murtad
Ini sebenarnya hampir serupa dengan negara kafir thariy (poin b)
hanya bedanya jika negara kafir thariy dikuasai oleh kafir asli
sedangkan negara murtad adalah negara Islam yang dikuasai oleh
orang-orang murtad, dimana hukum yang berjalan adalah hukumnya orang
murtad dan kekuatan yang menguasai adalah kekuatan murtad.
=> Ditinjau dari sudut pandang hubungannya dengan Negara islam dari sisi ini Negara kafir bisa kita bagi menjadi:
a.Darul Harbi (Negara Perang)
Yaitu negara kafir yang tidak ada ikatan perjanjian (`ahd) atau
genjatan senjata (shulh) dengan negara islam. Jika negara kafir tidak
memiliki ikatan perjanjian atau genjatan senjata dengan negara Islam,
maka negara ini disebut negara kafir harbi baik negara ini memerangi
negara Islam ataupun tidak.
b.Darul `Ahdi
Yaitu semua negara kafir yang mengikat perjanjian atau mengadakan
genjatan senjata dengan negara Islam. Di sini perlu ditegaskan bahwa
ikatan perjanjian antara kafir dengan kafir baik itu kafir asli atau
murtad tidaklah sah menurut syariat.
ð Ditinjau dari sudut pandang aman tidaknya muslim yang tinggal dinegeri itu
Dari sisi ini Negara kafir bisa kita bagi menjadi:
a.Darul Amni (Negara Aman)
Yaitu negara kafir yang kaum muslimin bisa menetap dengan aman di
dalamnya. Ambil contoh diantaranya adalah Habasyah pada masa awal Islam.
b.Darul Fitnah
Yaitu Negara kafir yang kaum muslimin tidak aman dari gangguan mereka, misalnya adalah Makkah pada awal-awal dakwah Islam.
Itulah ikhwan fillah…macam-macam negara kafir dengan tinjauan sudut
pandang yang berbeda, begitu juga dengan negara Islam terkadang
disebutkan istilah khusus berkenaan dengan cabang-cabang pembagiannya
dalam buku-buku para ulama, seperti:
- Darul Baghyi (Negara Pemberontak)
Yaitu satu wilayah dari negarta Islam yang penduduknya memberontak
kepada penguasa yang sah secara syar`ie karena alasan-alasan tertentu.
Wilayah seperti ini tetap disebut Negara islam selama penguasa daerah
itu (muslim yang memberontak) masih menerapkan syari`at islam. Adapun
statusnya sebagai pemberontak adalah permasalahan tersendiri.
- Darul Fisq ( Negara fasik )
Yaitu jika kefasikan telah merajalela di sebuah wilayah dalam darul
Islam, maka wilayah itu saja yang disebut darul fisq bukan darul Islam
keseluruhannya berubah menjadi darul fisq.
- Dar Ahludz Dzimmah
Yaitu sebuah wilayah dalam darul Islam yang dihuni oleh ahlu dzimmah
seperti wilayah yang dihuni bani Tsaghlab yang mayoritas
penduduknya(kalau tidak semuanya) beragama Nashrani. Mereka membayar
jizyah pada masa kekhilafahan khalifah Al-Faruq Umar ibnu Khottob
sehingga daerah itu bisa dikatakan sebagai Daru Ahludz Dzimmah.
Itulah ikhwan fillah…istilah-istilah lain dalam darul Islam yang
sering disebut oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, yang istilah-istilah
di atas tetap tidak merubah status pokok sebuah negara selama
syarat-syarat pokoknya tetap terpenuhi. Kemudian, jika ada kasus negara
Islam yang dijajah dan dikuasai kafir namun di beberapa wilayahnya masih
diberlakukan syariat Islam secara sempurna apa status wilayah itu?
apakah masih tetap disebut negara Islam atau negara kafir karena sedang
dijajah dan sedang dikuasai orang-orang kafir secara umum, maka kami
katakan:
“Hal itu sekiranya memang ada, tergantung di bawah kendali siapa
pelaksanaan syariat islam secara sempurna tersebut. Jika pelaksanaannya
di bawah kendali orang-orang kafir artinya (sekiranya benar-benar ada),
pelaksanaan syariat Islam itu atas ’kebaikan orang kafir’ yang
membolehkan tetap berlakunya syariat Islam bagi pemeluknya di bawah UU
dan kekuatan serta kekuasaan orang kafir sehingga wilayah itu adalah
negara kafir tanpa diragukan lagi. Barangkali, contoh kasus seperti ini
adalah Andalusia (Spanyol) setelah jatuh ketangan orang-orang kafir
tahun 1492 M dimana penguasa Islam terakhir di Granada (Maniahmar)
bersedia menyerah kepada pasukan katolik Castilla dan Aragon yang
dipimpin oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, pasca pengepungan yang
sangat ketat dalam pertempuran yang cukup lama sebagaimana diceritakan
oleh Al-Imam Muhammad bin Ja`far Al-Katani dalam kitab beliau (Nashihah
Ahli Al-Islam hal.102-103 cet Maktabah Badribirribath tahun 1409 H).
Dan apabila pelaksanaan syariat Islam secara sempurna itu atas
dukungan kekuatan umat Islam yang bertahan di wilayah itu (dan jenis
penguasa kafir yang seperti ini bisa disebut penguasa yang tidak mutlak)
maka wilayah itu tetap menjadi negara Islam, sedangkan yang bisa
dijadikan contoh dari kasus ini barangkali adalah Syam saat dijajah dan
dikuasai oleh bangsa Tartar pada akhir abad VII karena meskipun secara
umum telah dijajah dan dikuasai oleh bangsa Tartar (Daulah II Khaniyah),
masih ada beberapa wilayah dari negeri Syam yang memberlakukan syariat
Islam atas kekuatan dan kekuasaan kaum muslimin (daulah Mamalik). Maka,
wilayah-wilayah seperti ini tetap disebut wilayah Islam dan disebut
negara Islam jika syarat-syarat tegaknya sebuah negara terpenuhi di
wilayah itu. Di sini perlu dibedakan antara syarat berdirinya sebuah
negara dengan syarat sebuah negara disebut negara Islam atau kafir, dan
bahasan kita adalah yang kedua.
Barangkali – wallahu a`lam -, contoh nyata dari kasus ini pada zaman
kita hari ini adalah wilayah-wilayah yang dikuasai dan dikendalikan
oleh mujahidin dan kekuatan mereka di negara-negara yang sedang dijajah
dan kadang secara umum telah dikuasai oleh orang kafir, seperti:
1.Iraq yang dijajah oleh kafir Amerika.
2.Afghanistan yang dijajah oleh Amerika dan NATO.
3.Chechnya yang dijajah oleh Rusia.
4.Palestina yang dijajah oleh yahudi dengan dukungan Amerika.
5.Kasymir yang dijajah oleh India.
6.Somalia.
7.Beberapa wilayah di Yaman selatan.
8.Beberapa wilayah di Aljazair.
9.Mindanau dan sekitarnya di Filipina.
10.Wilayah Pattani di Thailand.
Catatan.
Di sini kita tidak sedang membahas apakah wilayah-wilayah yang
dikuasai mujahidin tersebut bisa disebut sebuah negara atau tidak,
karena hal ini perlu pembahasan tersendiri dan bukan di sini tempatnya.
Pembahasan kita di sini adalah diberlakukannya hukum-hukum Islam di
wilayah yang dikuasai mujahidin atas kehendak mujahidin dan di bawah
kendali serta kontrol kekuatan mereka, sehingga wilayah-wilayah itu bisa
disebut wilayah Islam, atau bahkan negara Islam jika memang
syarat-syarat tegaknya negara terpenuhi-wallohu a`lam-. Kami harap hal
ini diperhatikan.
Sudah maklum kita ketahui bahwa di negara-negara dan wilayah-wilayah
yang kita sebut di atas, hari ini sedang dijajah oleh orang kafir dan
sebagiannya lagi sedang berusaha membebaskan negaranya dari kekuasaan
orang-orang murtad, bahwa di sana ada kaum muslimin (mujahidin ) dengan
seluruh kekuatannya dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang bisa kita
ketahui lewat pernyataaan amir-amir, jubir-jubir, atau
komandan-komandan, atau bahkan kesaksian ikhwan-ikhwan yang pernah
disana kita mengetahui bahwa mujahidin telah memberlakukan syariat Islam
di wilayah yang mereka kuasai dan kendalikan, hal ini bukanlah rahasia
lagi dan tidaklah tersamar bagi orang yang mau memperhatikan dan jujur
terhadap kenyataan yang ada.
Maka kami meyakini bahwa wilayah-wilayah itu adalah wilayah islami
dan negara Islam jika syarat-syarat negara terpenuhi di negara itu.
Meskipun secara umum negara itu sedang dijajah dan dikuasai oleh
orang-orang kafir, akan tetapi kami meyakini tinggal di wilayah-wilayah
itu adalah lebih baik daripada tinggal di wilayah yang dikuasai oleh
orang kafir secara mutlak yang diberlakukan didalamnya hukum-hukum kafir
seperti Negara yang diperintah dengan UU positif. Kami juga meyakini
shalat di wilayah-wilayah itu (bumi-bumi jihad) adalah lebih baik dan
lebih besar pahalanya ketimbang shalat di tempat manapun di dunia ini
hatta di masjid haram (Makkah) atau masjid nabawi (Madinah) karena
wilayah-wilayah itu saat ini adalah bumi jihad dan ribath.
Ya Allah…tolonglah mujahidin dimanapun mereka berada
Ya Allah…satukanlah hati mereka dan teguhkanlah di atasnya
Ya Allah….hancurkanlah semua kekuatan yang memusuhi-Mu,memusuhi Rasul-Mu dan memusuhi mujahidin
Ya Allah…cerai beraikanlah hati mereka dan jadikanlah mereka saling bermusuhan
Ya Allah…terimalah mereka yang gugur di jalan-Mu sebagai syuhada
Ya Allah karuniakanlah kesabaran dan istiqomah di jalan-Mu mereka yang terluka dan tertawan oleh musuh
Ya Allah…janganlah Engkau kuasakan para thoghut terhadap hati mereka setelah dengan taqdirMu para thoghut itu
Menguasai jasad mereka
Ya Allah…jadikanlah kami kaum yang mengganti bukan diganti…
Ya Allah…jadikanlah kami ridha dengan taqdir-Mu
Ya Allah…matikanlah kami di atas Islam sebagaimana kami hidup di atasnya…yaa Robbul`alamin
Ikhwan fillah…bila kita sudah memahami pembahasan ini, yaitu kapan
sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam maka kita akan sampai
pada kesimpulan bahwa pada realita kita hari ini sangat sulit didapatkan
sebuah negara yang memenuhi syarat untuk disebut negara Islam di dunia
ini. Kami tidak katakan bahwa ”Tidak ada Negara islam di dunia hari ini”
karena keterbatasan pengetahuan kami akan negara-negara di dunia hari
ini yang jumlahnya ratusan. Terlebih adanya realita keberadaan
tempat-tempat yang dikuasai oleh kaum muslimin (mujahidin) yang
diberlakukan di dalamnya syariat Islam yang bisa jadi wilayah itu layak
untuk disebut negara Islam sementara kita tidak mengetahui. Oleh karena
itu, kami tidak memutlakkan hukum bahwa di dunia hari ini tidak ada
negara Islam. Cukuplah kita mengatakan bahwa ”Hari ini sulit sekali
ditemukan Negara islam didunia ini”.
Dunia hari ini diwarnai oleh tiga jenis negara kafir yang karena
perbedaan keadaan individu, tempat, dan waktu bisa mengakibatkan
pengaruh hukum dan kewajiban atas umat Islam yang tinggal di dalam
masing-masing negara kafir itu berbeda-beda. Insya Allah akan kami
sebutkan ketiga jenis negara kafir di dunia hari ini dan konsekwensi
atau alternative hukum bagi kaum muslimin yang tinggal di dalamnya.
1.Negara Kafir Asli
Yaitu negara kafir yang belum pernah sekalipun menjadi negara Islam
pada suatu masa, misalnya: negara-negara di belahan Amerika utara dan
selatan, Australia, Jepang, korea dan negara-negara lain yang belum
pernah dikuasai oleh kaum muslimin. Maka, bagi kaum muslimin yang
tinggal di negara-negara itu, syariat memberikan memberikan solusi yang
bisa ditimbang dan dipilih mana yang lebih mengandung maslahat bagi
dien dan kaum muslimin yang tinggal di sana. Tentunya timbangan juga
sesuai dengan syariat. Opsi solusi-solusi tersebut antara lain adalah:
a) Berhijrah dari negara itu menuju negara Islam (sekali lagi
jika ada) atau ke negara kafir lainnya yang relatif lebih aman dalam
menjalankan dien dan menjaga kehormatan kaum muslimin. Ibadah hijrah ini
tentunya harus didahului dengan terpenuhi syarat-syaratnya dan jelas
maslahatnya bagi kaum muslimin (lihat Al-Hijrah Masail wal Ahkam hal
28).
b) Melepaskan diri dari negara itu secara total baik dari
jaminan keamanannya atau dari status kewarganegaraannya. Salah satu
konsekwensi dari langkah ini adalah menampakkan permusuhan dan
perlepasan diri dari negara tersebut serta berjihad melawan penguasanya
( إظهار العداوة والبراءة ). Tentunya hal ini juga terikat dengan ketentuan syarat-syarat yang berlaku pada masalah ini.
c) Tetap tinggal dan mempertahankan status sebagai warga
negaranya. Salah satu konsekwensi memilih jalan ini
adalah kaum muslimin yang tinggal
di negara kafir itu akan terikat dengan aturan-aturan dan hukum-ukum
yang berlaku di sana. Solusi ini pun berlaku dengan beberapa syarat
yang terkait erat dengan islam itu sendiri antara lain:
- Mereka mampu dan harus tetap idzharud dien.
- Hanya mengambil hak dan melaksanakan kewjiban warga negara selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
- Tidak memberikan bantuan kepada negara kafir tersebut
dalam bentuk apa pun ketika mereka memerangi kaum muslimin. Solusi
ketiga ini merupakan langkah darurat yang diperbolahkan mengingat bukan
perkara mudah untuk mengharuskan puluhan juta umat islam untuk
berhijrah ditambah dengan sulitnya mencari negara Islam yang bisa
menampung jumlah imigran sebanyak itu sehingga mengharuskan adanya
solusi yang ketiga ini.
2. Negara Kafir Jajahan atau Taklukan.
Yaitu negara kafir yang pada suatu masa pernah menjadi negara Islam
kemudian dijajah dan dikuasai oleh orang-orang kafir baik secara total
maupun sebagian. Ambil contoh dari negara Islam yang kemudian dikuasai
secara total oleh orang-oramg kafir sehingga menjadi negara kafir adalah
Andalusia, Prancis bagian selatan, Italia bagian selatan, Yunani, dan
India serta masih banyak lagi negara yang semisal.
Adapun maksud dari negara Islam yang dikuasai oleh orang kafir namun
tidak secara total adalah bagian-bagian tertentu di wilayah negara itu
masih gigih melawan penjajah atau bahkan mampu menguasai dan mengontrol
wilayah-wilayah tertentu di negara itu. Ambil contoh dari negara model
ini antara lain Afghanistan, Khasmir, Palestina, Irak, Patani di
Thailand selatan, kepulaan MIindanau di Philipina selatan, dan Shomalia.
Api jihad fie sabilillah guna mengusir penjajah di negara-negara
tersebut masih terus berkobar hingga hari ini. Maka, solusi syar’ie bagi
kaum muslimin yang tinggal di negara itu antara lain:
- Jihad fie sabilillah untuk mengusir aggressor kafir yang menjajah
negeri dan umat Islam, dan jihad jenis ini adalah jihadu daf’ie (jihad
defensife) yang merupakan fardhu ’ain bagi umat Islam yang tinggal di
negeri itu dan fardhu pula bagi kaum muslimin yang lain untuk membantu
saudara mereka mujahidin dengan segala bentuk bantuan yang mereka mampui
baik berupa jiwa, harta, atau bahkan sekedar doa karena sekali lagi,
hal ini adalah wajib. Begitu pula sebaliknya, haram bagi kaum muslimin
untuk memberikan bantuan kepada aggressor kafir dalam rangka memerangi
saudaranya mujahidin meski sekecil apapun hattaa sekedar doa karena
pemberian bantuan itu termasuk pembatal keislaman. Perkara ini mestinya
sudah sangat maklum diketahui karena sudah banyak dibahas oleh para
ulama berbagai madzhab baik salaf maupun khalaf dalam kitab-kitab
mereka. Akan tetapi, tulisan ini tidak sedang bertujuan untuk membahas
masalah itu.
- Apabila tidak mampu berjihad karena alasan-alasan tertentu yang
mestinya diterima oleh syariat sebagai alasan syar’ie, maka umat islam
wajib melaksanakan I’dad lil Jihad dengan keseluruhan maknanya. Hal ini
menjadi wajib karena I’dad adalah sarana pembuka untuk melaksanakan
jihad yang fardhu ’ain tadi. Apabila jihad yang fardhu ’ain tidak bisa
dilaksanakan kecuali dengan I’dad maka I’dad pun mejadi fardhu ’ain
sebagaimana halnya jihad.
- Hijrah bagi putra-putra terbaik dan kader-kader pilihan di negara
itu adalah solusi darurat yang bersifat pengecualian dan terbatas, yaitu
hijrah menuju tempat-tempat yang sedang berkecamuk di dalamnya jihad
fie sabilillah yang salah satu tujuannya dalam mempelajari berbagai
disiplin ilmu perang dan ilmu-ilmu lainnya yang mendukung terealisasinya
jihad fie sabilillah, untuk kemudian kembali ke negaranya dan
menerapkannya sehingga diharapkan api jihad fie sabilillah dalam rangka
mengusir aggressor kafir bisa terus berkobar.
Itulah beberapa solusi syar’ie bagi kaum muslimin yang tinggal di Negara yang dijajah oleh orang kafir.
3. Negara Murtad.
Yaitu negara Islam yang dikuasai oleh orang murtad, baik orang
murtad itu mengambil alih kekuasaan dengan usahanya sendiri dengan
menggunakan cara-cara tertentu, ataupun si murtad ini berstatus sebagai
penguasa boneka yang dipasang oleh penjajah dari kalangan orang-orang
kafir asli sebagai perpanjangan tangan mereka guna memuluskan segala
kepentingan mereka di negeri jajahan. Ambil contoh diantara mereka
adalah Hamid Karzai di Afghanistan dan Nuri Al-Maliki di Irak yang
menjadi penguasa boneka amerika yang bekerja untuk kepentingan-
kepentingan Amerika. Mereka berdua tidaklah menjadi penguasa di
negaranya kecuali atas ijin dan dukungan dari tuan mereka aggressor
kafir Amerika. Negara murtad ini memiliki kesamaan status dengan negara
kafir jajahan pada point kedua yaitu sama-sama dijajah dan dikuasai oleh
orang-orang kafir, hanya saja letak perbedaanya adalah pada point kedua
negara itu langsung dijajah oleh orang kafir asli sedangkan di negara
murtad dikuasai oleh orang kafir murtad. Maka, solusi syar’ie bagi kaum
muslimin yang tinggal di negera macam ini juga sama dengan yang tinggal
di negara yang dijajah dan dikuasai oleh orang kafir asli, yaitu :
- Berjihad melawan penguasa murtad guna menggantinya dengan penguasa
muslim yang menerapkan kembali hukum-hukum Islam dalam segala aspek
kehidupan dan ini adalah ijma’ sebagaimana di katakan oleh
- Al-Qodhi Iyadh dan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 12/229
- Ibnu At-Tin dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqolani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari 13/124 dan 154.
- Bila umat Islam tidak mampu berjihad karena lemah maka kewajibannya
turun menjadi I’dad lil Jihad dan I’dad ini menjadi wajib sebagaimana
Jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
” I’dad untuk jihad fi sabilillah dengan mempersiapkan segala bentuk
kekuatan saat jihad tidak bisa dikerjakan karena lemah adalah wajib,
karena sebuah kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan
sebuah sarana maka sarana itu hukumnya menjadi wajib (Al-Fatawa 28/259)
- Hijrah terutama ke bumi-bumi Jihad bagi kader-kader pilihan yang
harus tetap disesuaikan dengan tuntutan maslahat jihad dan I’dad, karena
hijrah bukan sekedar untuk ’mengungsi’, namun sebagai sarana untuk
I’dad demi terealisasi kewajiban Jihad fi sabilillah di negerinya untuk
melawan penguasa murtad.
- Tidak kalah pentingnya adalah kewajiban dakwah harus terus berjalan
dalam rangka menerangkan kepada umat tentang kemurtadan sang penguasa
dan kewajiban untuk melengserkannya, karena kemurtadan penguasa biasanya
merupakan perkara yag samar bagi sebagian masyarakat kaum muslimin
terutama kalangan awamnya, terlebih jika sang penguasa murtad masih
menampakkan amalan-amalan Islam seperti shalat, shoum, haji dan
syi’ar-syi’ar Islam lainnya, meskipun sebenarnaya amalan-amalan itu
tidaklah bermanfaat sama sekali bagi sang murtad di hadapan Allah,
karena kemurtadannya tidak datang dari pintu meninggalkan amalan-amalan
tersebut akan tetapi datang dari pintu yang lain. Hal inilah yang sering
tidak dipahami oleh umat Islam sehingga mereka tertipu oleh si murtad.
Apalagi para penguasa murtad memilki para ’penolong-penolong’ yang
mentasbihkan ’ keislaman’ mereka dan aktif membela dengan dalil-dalil
yang digunakan tidak pada tempatnya, sehingga dakwah untuk membantah
syubhat-syubhat mereka tidak kalah penting untuk selalu ditegakkan.
Itulah ikhwan fillah, beberapa solusi syar’ie bagi kaum muslimin yang
tinggal di negara-negara kafir yang dikuasai oleh orang-orang murtad.
Ada beberapa hal dalam pembahasan ini yang perlu antum ketahui bahwa
hukum kafir murtad itu lebih berat dan lebih keras ancamannya daripada
kafir asli ditinjau dari beberapa sisi, antara lain :
- Menurut tinjauan peperangan dan pembunuhan.
Orang kafir murtad harus dibunuh dan diperangi tanpa diminta taubat
terlebih dahulu (dalam batas tertentu), yang lari dikejar dan yang luka
tidak boleh diobati, tidak boleh mengikat perjanjian keamanan dan
gencatan senjata dengan orang murtad, tidak boleh mengambil jizyah dari
mereka, dan bahkan mereka diperangi dalam segala kondisi. Sementara
bagi orang kafir asli boleh dibunuh dan diperangi namun boleh juga
mengambil perjanjian keamanan dan gencatan senjata dengan mereka. Boleh
mengambil jizyah dari mereka dan ketika berkecamuk peperanagan, yang
lari dari mereka boleh dibiarkan tidak dikejar, yang luka boleh ditawan
dan diobati. Tawanan perang dari orang kafir asli boleh dibebaskan
ataupun dijadikan budak. Semua hukum ini tentu berbeda jauh dengan hukum
yang berlaku bagi orang murtad.
- Menurut tinjauan pernikahan.
Orang murtad baik laki-laki ataupun perempuan tidak boleh menakahi
atau dinikahi muslim dan muslimah. Semantara waniata kafir asli dari
kalangan ahli kitab boleh dinikahi oleh seorang muslim. Dalam hal`ini
tentu ada perbedaan mendasar.
- Menurut tinjauan sembelihan.
Sembelihan orang murtad dalam pandangan syariat status hukumnya sama
seperti bangkai yang tidak boleh dimakan meskipun ketika menyembelih
mereka menyebut nama Allah seribu kali, sedangkan sembelihan orang kafir
dari kalangan ahli kitab halal bagi kaum muslimin.
Demikianlah ikhwan..beberapa contok hukum yang lebih berat bagi
kafir murtad ketimbang kafir asli. Maka, berangkat dari hal itu perlu
kami tegaskan keyakinan kami bahwa sesungguhnya memerangi orang-orang
murtad yang menguasai negara kaum muslimin dan memerintah Negara itu
dengan hukum-hukum kafir adalah lebih utama dan harus didahulukan
daripada memerangi orang kafir asli.
Inilah keyakinan kami dalam masalah ini, dan selain dikarenakan
alasan-alasan yang telah kami sebutkan sebelumnya, ada beberapa alasan
lain yang diantaranya:
- Kafir murtad hukumnya lebih keras dari kafir asli sebagaimana telah
lewat penjelasan dan contohnya. Permasalahan ini merupakan ijma’.
- Posisi mereka lebih dekat dengan kita sedangkan menjihadi musuh yang
dekat (terlebih murtad) adalah lebih utama dibandingkan musuh yang
jauh.
- Jihad melawan mereka adalah jenis jihad difa’I sedangkan sudah
maklum adanya bahwa jihad difa’i lebih didahulukan dari jihad tholabi.
- Adanya kaidah bahwa menjaga modal lebih didahulukan daripada mencari
keuntunagn, sedangkan mereka adalah orang-orang yang keluar dari dinul
islam.
- Adanya kenyataan bahwa tidaklah orang kafir asli itu bisa menjajah,
menguasai, dan merampas harta serta kehormatan kaum muslimin kecuali
atas bantuan orang-oarang kafir murtad. Ini adalah sebuah realita yang
tampak bagi orang-oarang yang mau berfikir.
Berangakat dari berbagai alasan di atas itulah, kami membangun
keyakinan bahwa menjihadi mereka (pemerintah murtad) lebih utama dan
didahulukan daripada kafir asli, dan di sini kami katakan pula bahwa
tidak wajib meminta pemerintah murtad itu agar bertaubat dari
kemurtadannya atau mencari kejelasan tentang adanya kemungkinan
penghalang-penghalang syar’ie dari kemurtadannya. Hal ini dikarenakan
karena mereka adalah kelompok mumtani’ (penentang) baik mumtani’nya
dengan bergabungnya mereka ke dalam negara kafir ataupun dengan kekuatan
mereka sendiri. Dua makna mumtani’ ini tergabung dalam diri mereka.
Maka, orang kafir murtad semacam ini tidak perlu dimintai bertaubat
sebelum dibunuh atau diperangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata;
و لأن المرتد لوامتنع – بأن يلحق بدارالحرب
أو بأن يكون المرتد ذي شوكة يمتنعون بها عن حكم الإسلام – فإنه يقتل قبل
الإستتلبة بلا تردد
( الصا رم المسلول ص322 ط دار الكتب العلمية 1398 )
”Dan dikarenakan orang murtad, apabila dia menentang dengan cara
bergabung ke dalam Negara kafir atau sekelompok orang murtad memiliki
kekuatan yang dengannya mereka menentang hukum Islam, maka mereka
diperangi tanpa dimintai taubat terlebih dahulu tanpa ada keraguan
(Ash-Shorimul Maslul hal 322 cet darul kutub al ’ilmiah tahun 1399 H,
yang ditahqiq oleh Dr. Rosyad Salim)
Beliau rhm juga berkata
على أن الممتنع لا يستتاب و إنما يستتاب المقدور عليه
”Sesungguhnya mumtani’ tidaklah dimintai taubat, akan tetapi yang
dimintai taubat adalah yang berada di bawah kekuasaan kaum muslimin (al
maqdur ’alaih). ( idem hal 326 ). Al Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali juga
mengatakan bahwa orang murtad yang bergabung ke negara harbi boleh
dibunuh oleh siapapun yang mampu dan hartanya boleh diambil tanpa
dimintai taubat terlebih dahulu, karena dia telah menjadi kafir harbi
maka hukumnya juga hukum harbi ( lihat Al-Mughni Ma’a Asy- Syarh
Al-Kabir 10/82 ) dan Al-Qodhi Ibnu Muflih Al-Hanbali juga mengatakan hal
senada dalam Al-Furu’ 6/175-176.
Jadi ikhwan..pemerintah murtad itu adalah kelompok mumtani’ dengan
darul harbi sekaligus dengan kekuatan mereka sehingga hukum mereka
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
murid beliau Ibnu Muflih, dan Ibnu Qudamah. Meskipun kami meyakini,
bahwa berjihad melawan pemerintah murtad adalah lebih utama, akan tetapi
kami tidak lantas menganggap bid’ah atau salah terhadap
saudara-saudara kami mujahidin fi sabilillah yang berpendapat bahwa
menjihadi Amerika yang merupakan kafir asli adalah lebih utama dan harus
didahulukan, karena kami meyakini bahwa perbedaan dalam menentukan
’target’ ini adalah masalah ijtihadi. Kami tetap sepakat tentang
masru’iyahnya memerangi dua kelompok aggressor tadi, sehingga perbedaan
ini bukanlah perbedaan yang berujung pada sunnah dan bid’ah, bukan pula
salah dan benar, akan tetapi hanya sekedar afdhol dan mafdhul – wallahu
a’lam –
Sampai di sini mungkin akan hadir sebuah pertanyaan : ” lalu
Indonesia ini masuk bagian dari Negara kafir yang mana? kafir asli,
jajahan, ataukah murtad??. Pemerintahannya sebagai penyelenggara negara
hukumnya apa?. Mengingat mereka campur aduk dimana ada yang kafir asli
dari ahli kitab, ada orang musyrik, dan ada pula yang mengaku sebagai
muslim. Maka, jika ada pertanyaan seperti ini, jawaban kami adalah..
Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) adalah negara kafir
berdasarkan definisi negara yang disebut para ulama, ini adalah fakta
yang mesti kita terima suka maupun tidak suka. Adapun statusnya apakah
kafir asli, jajahan, ataukah murtad maka kami katakan wallahu a’lam
karena kami tidak memiliki referensi-referensi sejarah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Jika yang dimaksud dengan Indonesia adalah wilayah nusantara sebelum
proklamasi kemerdekaan RI pada 17-8-1945, sudah masyhur di kalangan kita
bahwa di berbagai wilayah di nusantara pernah berdiri kerajaan-kerajaan
Islam yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, jawa, Sulawesi,
Kalimantan, bahkan Maluku. Akan tetapi, kami tidak tahu apakah
kerajaan-kerajaan itu sudah memenuhi syarat sah secara syar’ie untuk
dihukumi sebagai kerajaan Islam karena minimnya pengetahuan kami tentang
realita kerajaan-kerajaan tersebut disebabkan tiadnaya referensi sejrah
yang bisa dipertanggungjawabkan di tangan kami. Jika benar di wilayah
RI dahulu pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, maka status hukum RI
sekarang adalah berkisar antara Negara kafir jajahan atau negara kafir
murtad bukan kafir asli karena pernah menjadi negeri Islam pada suatu
masa.
Adapun jika yang dimaksud dengan Indonesia adalah RI pasca proklamasi
kemerdekaan hingga hari ini, maka hal inipun tidak cukup bagi kami
untuk memastikan bahwa Indonesia adalah negara kafir asli. Kenapa?,
karena ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ada wilayah-wilayah di
Indonesia yang juga menyatakan kemerdekaannya dan memproklamirkan diri
sebagai negara islam yang menjadikan syariat Islam sebagai UU Negara
sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosuwiryo. Menurut beberapa referensi
yang kami baca, ketika Kartosuwiryo menyatakan berdirinya negara islam
Indonesia (NII), beliau didukung oleh kekuatan militer dan memiliki
territorial yang benar-benar terbebas dari RI kala itu. Hal ini
merupakan salah satu fakta sejarah yang terjadi di bumi nusantara
terlepas dari kekuasaan NII yang relatif singkat, sehingga untuk
menentukan status RI apakah menjadi negara kafir asli, negara kafir
jajahan, ataukah negara murtad juga merupakan perkara yang pelik bagi
kami, oleh karena itu lebih baik kami katakan – wallahu a’lam –.
Adapun pemerintahan atau yang sering diistilahkan penyelenggara
negara yaitu mereka yang duduk dipemerintahan dari kepala pemerintahan
dan menteri-menterinya termasuk juga DPR dan MPR maka memang
tempat-tempat itu diisi oleh berbagai macam agama dan kepercayaan.
Diantara mereka ada yang mengaku Islam namun ada juga Nasrani, Hindu,
Katolik, Budha dan lain-lain. Inilah imbas dari ideologi kafir
demokkrasi yang dianut negara ini dimana menurut ideologi kafir ini
semua warga Negara mempunyai hak sama apapun agamanya, tidak peduli
apakah penyembah patung atau sapi, penyembah nabi atau wali mereka semua
berhak memimpin, berhak menjabat, berhak menjadi presiden, menteri,
gubernur, bupati, camat dan seterusnya asalkan mereka punya suara
didukung oleh banyak manusia mengungguli lawan-lawannya jadilah ia
penguasa tak peduli laki-laki atau wanita.
Adapun hukum mereka adalah:
Yang kafir asli baik ahlul kitab atau yang lain hukumnya adalah hukum
kafir dari segala hal yang sudah ditetapkan oleh syariat. Adapun yang
mengaku muslim dan memang pernah menjadi muslim baik secara hakiki
ataupun hukmi maka mereka menjadi kafir murtad karena beberapa alasan
diantaranya:
- Menjadikan dirinya tandingan bagi Allah SWT dalam masalah hukum baik
mengusulkan, merancang, ataupun menetapkan seperti presiden, DPR, dan
MPR. Padahal, semua itu adalah hak mutlak Allah SWT dalam hal rububiyah.
- Menyandarkan / memberikan kewenangan kepada makhluk untuk
mengusulkan, merancang, dan menetapkan UU dalam
perkara halal dan haram seperti memberikan kewenangan kepada presiden,
DPR, MPR ataupun yang lain untuk mengusulkan, merancang, dan menetapkan
UU. Ketahuilah, hal ini merupakan syirik akbar.
- Membuat dan menetapkan hukum selain dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
- Menghakimi manusia dengan selain Al-Qur`an dan As-Sunnah setelah
sebelumnya menetapkan UU itu sebagai alat yang sah untuk menghukumi.
- Berhukum kepada selain Al-Qur`an dan As-Sunnah setelah sebelumnya
hukum selain Al-Qur`an dan As-Sunnah itu ditetapkan sebagai hukum yang
sah.
- Berwali dan membantu orang-orang kafir dalam memusuhi kaum muslimin.
7.Berhukum kepada hukum kafir timur dan barat( PBB / UU internasional) ketika terjadi persengketaan antara mereka.
Itulah diantara perkara-perkara yang membuat mereka murtad yang kalau
mereka selamat dari salah satu perkara di atas mereka telah terjatuh
pada perkara yang lain. Lantas, bagaimana jika ternyata mereka terjatuh
kepada semua perkara itu??
Jadi mereka adalah Thoifah Riddah (kelompok murtad) yang mumtani`
(menentang) baik dengan bergabung di barisan negara kafir atau dengan
kekuatan mereka sehingga hukum mereka adalah hukum mumtani` seperti yang
sudah kita bahas diatas. Adapun pengikut dan anshor mereka mengikuti
hukum pemimpin-pemimpinnya seperti halnya tentara Fir`aun dan Haman
hukumnya mengikuti Fir`aun dan Haman. Begitu pula tentara Musilamah,
Mukhtar bin Abi Ubaid dan Al-Aswad Al- Ansi hukumnya juga mengikuti
ketiganya. Penolak zakat pada masa Abu bakar hukumnya juga mengikuti
pemimpin-pemimpin mereka serta tidak dibedakan satu sama lain karena
mereka semua adalah mumtani`uun -wallahu a`lam bishowab-.
Ikhwan fillah…selesai maksud tulisan ini -alhamdulillah-,
mudah-mudahan tulisan singkat dan sederhana ini bisa antum sekalian
fahami.`Afwan atas segala kekurangan dalam tulisan ini yang tentu jauh
dari kata sempurna mengingat berbagai keterbatasan yang ada pada diri
kami. Lantunan doa antum supaya kami tetap istiqomah dan tsabat di jalan
dakwah dan jihad fie sabilillah sangat kami harapkan.
فماكان فيهامن صواب فمن الله وما كان فيهامن خطاء فمنى والشيطان وهو مردود
اللهم رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطرالسموات
والأرض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوافيه تحتلفون
إهدنى فيما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدى من تشاء إلى سراط مستقيم.
لاحول ولا قوة إلا بالله العزيزالحكيم
والله أعلم بالصواب والحمد لله رب العا لمين.
الفقيرإلى الله
أبو حتاف سيف الرسول
غرفة الخلوة يوم الثلا ثاء عشرة من المحرم من 1433هجرةالنبى
Bertepatan dengan 6 desember 2011 M
[thoriquna.wordpress.com/karawangbertawhid.wordpress.com]